Part 16

7 3 0
                                    

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!




Run Away

👑

Kesendirian yang nyaman. Tidak ada yang mengganggu dan merecoki dirinya. Hanya ada dia di antara gelapnya malam, di bawah sinar rembulan dan bintang-bintang.

Angin malam tak membuatnya kedinginan. Justru sejuk. Dia menikmati di setiap detiknya.

Andaikan tempat tinggalnya seperti ini atau di Nacher, pasti Van akan betah dan tidak pulang semalaman. Van menghela napas panjang.

Seseorang berdiri di sampingnya. Van tahu siapa dia, tetapi Van memilih diam saja sambil menatap langit malam.

Lynne berdeham sebentar. Ia ke sini tadi kepengin menemani Van. Sejujurnya Lynne masih sedih. Namun, sebisa mungkin ia tetap ceria seperti biasa.

"Kamu tidak kedinginan memakai kaus oblong dan celana pendek begitu?" tanya Lynne menatap Van heran.

Van menggeleng pelan. "Kalau kau di sini kedinginan kenapa tidak masuk ke dalam rumah saja?"

"Kok jadi aku? Aku hanya ingin menemanimu di sini, Van. Kamu keberatan?"

"Bukan aku yang keberatan, tapi Ayahmu."

Sontak Lynne menengok ke sana ke mari. Mencari sesosok ayahnya. Rupanya Arzan berada di balik jendela sedang mengamati mereka berdua di halaman rumah.

Lynne cengar-cengir seraya melambaikan tangan pada ayahnya. Arzan membalas dengan anggukan kepala dan memberi kode bahwa ia sedang memata-matai mereka. Terlebih pada Lynne.

Lynne kembali menengok ke Van yang masih saja mendongak. Lynne jadi bertanya-tanya apakah leher Van tidak sakit mendongak terus? Lynne saja jika seperti itu selama sepuluh detik sudah pegal-pegal.

"Kamu benar." Lynne menggembungkan kedua pipinya. "Kapan kamu kembali ke sana?"

Mendengar suara kecil Lynne yang terdengar sedih membuat Van beralih memandangnya. Gadis tengil, tapi berhati sensitif itu menundukkan kepala.

"Kau ingin aku kembali secepatnya?"

Pertanyaan Van langsung diberi reaksi gelengan kepala Lynne. Lynne mendongak menatap Van yang tingginya hanya sampai pundak laki-laki itu.

"Awalnya aku merasa enggak nyaman sama kehadiranmu saat pertama kali kita bertemu. Namun, setelah tau bahwa kamu itu orang asing yang sedang tersesat aku jadi ingin membantumu, Van." Lynne menarik sudut bibirnya ke atas. "Lama-kelamaan aku merasa nyaman dan senang dengan hadirnya dirimu. Aku jadi enggak merasa kesepian lagi di rumah."

"Oke, aku sedih mendengar kamu mau pulang. Aku enggak punya hak buat mencegah kamu pergi, tapi ... aku belum siap kehilangan seorang teman." Nada di akhir kalimat Lynne membuat hati Van sedih.

Tangan kanan Van yang hendak mengelus kepala Lynne terhenti, mengambang di udara. Van menghela napas dan kembali memosisikan kedua tangannya berada di samping celana.

"Kau tidak sendiri, Lynne. Ada Ayahmu, ada rekan kerjamu, ada kedua muridmu. Mereka bisa menjadi temanmu, Lynne." Ucapan Van bikin Lynne pengin menangis.

Jadi, Lynne tahan tidak menangis di depan Van. Lagipun Lynne malu bila menangis di depan Van. Bisa-bisa Van mengejek dirinya lagi nanti.

"Kamu benar," ucap Lynne sebelum mengembuskan napas berat, "aku harap kamu enggak lupa sama aku, Van."

Nada bicara Lynne kembali seperti semula. "Nanti kalau urusan kamu sudah selesai di sana, jangan lupa mengunjungi aku dan Ayah, ya, Van. Terus ceritain aku tentang planet Laveena. Tentang kamu juga."

Van tersenyum lembut pada Lynne. Lagi-lagi jantung Lynne berdebar kencang melihat senyuman Van. Lynne berdeham singkat demi menutupi rasa gugupnya yang tiba-tiba melanda.

Van maju satu langkah besar. Mengikis jarak di antara mereka berdua. Membuat Lynne ketar-ketir di tempat.

Reaksi Arzan? Pria awet muda itu sedang menerima telepon dari rekan kerja di kantornya. Arzan pergi ke dapur guna mengambil segelas jus alpukat yang dibuat oleh Lynne tadi.

Van merendahkan sedikit tubuhnya. Menyejejarkan kepalanya dengan kepala Lynne. Van tatap kedua mata cantik Lynne.

Lynne loading di tempat. Kedua kakinya sulit digerakkan. Padahal Lynne pengin sekali melangkah mundur dan masuk ke dalam rumah menemui Arzan.

"Bagaimana bisa aku melupakan gadis tengil ini?"

Deg!

Jantung Lynne seolah berhenti memompa. Astaga, Lynne bahkan lupa caranya bernapas otomatis. Ia malah bernapas manual sekarang.

Van berbahaya buat kesehatan jantung Lynne!

Lynne memalingkan wajah ke samping. Ia mengusap ujung hidungnya seraya mencoba menetralkan detak jantungnya.

Van justru menelengkan kepala mengikuti arah kepala Lynne. Bikin Lynne ingin mengubur dirinya hidup-hidup.

"A-aku itu ...."

Payah kamu, Lynne. Kenapa juga harus terbata-bata, sih! Jerit Lynne dalam hati.

Van merasa gemas sekali pada Lynne. Jika saja Lynne adalah makanan, sudah pasti Van makan sekarang.

Lynne menggembungkan kedua pipinya lagi. Kacamata yang bertengger di hidungnya semakin membuat Lynne lucu dan imut.

Van kelepasan. Jadinya Van mengacak rambut Lynne karena sangking gemasnya seraya tertawa.

Rambut Lynne yang diacak, tapi hati Lynne yang berantakan. Pengin rasanya Lynne berteriak sekencang mungkin.

Yang terjadi malah Lynne kabur dari sana. Lari terbirit-birit seolah dikejar hantu. Lynne membawa kedua kakinya menuju kamar.

Arzan yang dilewati Lynne begitu saja saat di ruang tamu memandang heran. "Habis lihat hantu apa gimana itu anak?"

Usai Lynne mengunci pintu kamarnya, ia masuk ke dalam selimut. Membungkus semua tubuhnya dan berteriak sekencang mungkin memanggil bundanya.

"Bunda!!!"

Arzan tersedak jus alpukat saat meneguknya. "Kenapa lagi Lynne teriak malam-malam begini. Astaga, itu anak selalu bikin khawatir orang rumah."

👑

To be continue..




Salam,
Lana

Run Away (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang