Part 6

18 4 2
                                    

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!




Run Away

👑

Lynne melambaikan tangan kanan dan tak lupa tersenyum melihat kedua muridnya pulang. Ia menghela napas lega. Akhirnya semua pekerjaan hari ini selesai.

"Oh, iya, aku harus menuntaskan baca novel itu malam ini." Lantas Lynne masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Lynne menyapa ayahnya yang hendak menuju ke dapur.

"Hati-hati, Lynne, nanti ja-"

Bruk!

"Kan, apa Ayah bilang."

Lynne merasakan pantatnya begitu sakit. Berdenyut hingga Lynne hampir saja menangis bila Arzan tidak segera menenangkannya. Lynne terpeleset karena sandal selop karetnya tergelincir.

Arzan langsung menggendong Lynne dari depan. Mendudukkan Lynne dengan perlahan di sofa ruang tamu. Ketika Lynne mendongak sambil mengucapkan terima kasih pada ayahnya, Arzan justru tertawa.

"Ayah, jangan ketawa!" Lynne memalingkan wajah ke samping. Cemberut.

"Mangkanya kamu, tuh kalau sekali diberitahu diingat, dijalani. Jangan kayak anak kecil apa-apa harus diberitahu bolak-balik. Ngerti Anak Cantik Ayah?" Arzan memberi wejangan seraya menghapus air mata Lynne yang lolos tanpa diminta.

Lynne mengangguk lemah.

"Kamu mau di sini dulu apa ke kamar?"

"Di sini dulu, Yah."

"Ya sudah, Ayah pergi dulu. Bisa jalan sendiri?"

Lynne mengerucutkan bibirnya. "Bisalah, Ayah. Lynne sudah baik-baik aja, kok."

Arzan melenggang pergi meninggalkan Lynne meng-aduh diam-diam. Dia malu memperlihatkan betapa menderitanya ia akibat jatuh barusan.

Van menghampiri Lynne. Duduk di sofa seberang usai memberikan novel yang dipinjamnya tanpa izin pada Lynne. Lynne melototkan mata pada Van yang dibalas permintaan maaf.

"Tau gitu tadi aku nggak lari-larian." Lynne mendengkus sebal seraya membuka novel.

"Tidak ada yang menyuruhmu berlarian."

"Stt, diam kamu, Van."

Van bungkam. Ia memandangi Lynne baca novel dengan dahi berkerut. Hal itu Van lakukan selama beberapa menit untuk melihat reaksi Lynne atas cerita di buku.

Van menyenderkan badan di punggung sofa. Menutup mata, membayangkan orang-orang di seluruh kerajaan mencarinya. Van seketika membuka mata saat baru teringat ada misi lain mengapa ia memilih planet Bumi sebagai pelarian.

Van mengacak rambut gondrongnya yang tergerai bebas. Di sini yang bisa ia minta bantuan hanyalah Lynne. Bisakah Lynne membantunya?

Ia sudah cukup banyak merepotkan Lynne dan Arzan. Suatu saat bila ia telah berhasil menuntaskan misinya, Van akan membalas budi pada mereka berdua.

"Lynne, bolehkah aku pinjam ponselmu?" tanya Van.

"Boleh. Ambil saja di meja dapur. Kutinggalkan di sana tadi." Lynne menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari buku.

Di dapur, Van bertemu Arzan yang sedang membuat kopi. Arzan menawarkan Van kopi, tetapi ditolak halus oleh Van sebab ia tak suka kafein.

Van berniat pergi ke ruang tamu lagi sehabis mengambil gawai Lynne. Namun, Arzan memanggil dirinya untuk duduk bersama sebentar di sana. Van menurut.

Arzan hanya pengin mengobrol berdua pada Van. Tentu saja ini menyangkut putrinya juga, tak hanya tentang Van. Dua laki-laki itu pun mengobrol dengan serius tanpa hambatan.

Hampir setengah jam obrolan itu telah selesai. Van kembali menemani Lynne di ruang tamu. Sedangkan, Arzan kembali ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaan kantor.

Terjadi keheningan di ruang tamu. Lynne fokus membaca novel, sementara Van fokus mencari berbagai informasi di internet. Namun, fokus Lynne terbelah jadi dua sebab ekor matanya menangkap sesuatu di sofa seberang.

Entah Lynne salah lihat atau matanya bermasalah sebab tak memakai kacamata. Lynne menangkap vas bunga di atas meja bergeser sedikit. Ia amati sejenak vas bunga tersebut, tetapi tak ada pergerakan.

Duh, ini pasti gara-gara minus mataku semakin bertambah. Lynne mengembuskan napas gusar sambil membatin. Kembali ia membaca novel. Mencoba tak memedulikan hal tadi.

Usai Lynne menghabiskan setengah novel yang dibacanya barusan, ia jadi tahu permasalahannya. Lynne memutuskan melanjutkan membaca nanti di kamar. Sekarang ia akan mewawancarai Van.

"Tuan Van," panggil Lynne.

Van mendongak. Meletakkan gawai Lynne di sampingnya. Balas menatap Lynne.

Lynne sedikit memajukan badan ke depan dan menyipitkan mata menatap Van. Sang empu yang ditatap menaikkan sebelah alis.

"Van, kamu tokoh antagonis dalam novel ini, kan?" Lynne bertanya dengan jantung yang bergemuruh.

Van tak langsung bersuara. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jari tangan. "Ya."

Seketika Lynne menggebrak meja di depannya. Lagi dan lagi Lynne dibuat terkejut akan fakta dari Van. Lynne mengusap wajah kasarnya.

"Wah, Van, kamu benar-benar seorang penjahat," tuding Lynne tak habis pikir.

Van tersenyum miring, sedikit memajukan badan. "Kau belum membacanya secara keseluruhan, Lynne. Jangan pernah membuat kesimpulan yang belum jelas kepastiannya."

Usai mengatakan deretan kalimat itu, Van beranjak pergi ke kamarnya eh-maksudnya kamar tamu. Tak lupa juga ucapan terima kasih karena sudah dipinjami handphone.

Lynne mengkerut. Yang dikatakan Van benar adanya. Lynne memijit keningnya pusing.

Ia butuh tidur sekarang. Namun, Lynne malas pergi ke kamarnya.

Tidur di sini aja kali, ya, nggak apa-apa. Pantatku juga masih nyut-nyutan. Sebelum Lynne merebahkan diri di karpet bulu samping sofa, ia mematikan semua lampu di ruang tamu.

👑

Di kamar tamu, Van memandang ke luar jendela yang terbuka. Terpampang pemandangan hamparan bunga berbeda spesies serta langit malam yang cerah. Van memandang kosong ke langit malam.

Dia melamun. Lalu, Van menggerakkan tangan kanannya ke atas. Tidak, dia tidak sedang ingin meraih bulan separuh yang bersinar terang.

Van tertawa kecil. Ia lupa sedang tidak di planet Laveena. Kebiasaan selama di penjara terbawa sampai sekarang.

"Di mana aku harus menemukan orang itu?" gumam Van gusar.

👑

To be continue..




Salam,
Lana

Run Away (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang