Part 7

10 3 0
                                    

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading!




Run Away

👑

Terhitung sudah empat hari Van tinggal di rumah Lynne. Tentu saja Van tidak berleha-leha di sana. Ia selalu membantu pekerjaan apapun itu.

Selama itu pula Van akhirnya mendapat informasi tentang keberadaan sang penulis novel yang mengisahkan sepenggal kehidupannya. Karena Van di sana diceritakan sebagai tokoh antagonis.

Jika dalam pandangan sang tokoh protagonis, Van memang tokoh antagonis. Namun, tokoh antagonis mempunyai alasan tersendiri mengapa bisa disebut demikian. Kisah dari novel yang berjudul "Winter" karya "Kayu Manis" itu memiliki ending yang menggantung.

Memang tidak sepenuhnya cerita itu murni kejadian aslinya. Ada beberapa bagian yang ditambahkan dan dikurangi. Van jadi tahu pandangan orang ketika membaca novel tersebut.

Tentunya lebih memihak ke toko protagonis. Contoh paling dekat yaitu Lynne. Tak ada habisnya ia memuji tokoh utama protagonis dan mencibir tokoh antagonis.

Van tidak masalah. Sebab Lynne belum tahu cerita aslinya. Dan akhirnya hari ini ia akan bertemu dengan si penulis cerita itu.

Van pengin tahu bagaimana bisa si penulis membuat cerita tersebut seolah memang terinspirasi dari kisah nyata. Apakah si penulis pernah singgah di planet Laveena?

Kebetulan hari ini Lynne tidak sedang mengajar muridnya karena mereka izin tidak masuk. Mereka berdua adalah sepasang kakak adik yang les privat di rumah Lynne.

Jadi, pukul tujuh malam Van dan Lynne mendatangi alamat rumah si penulis novel "Winter". Van mendapatkannya dari mana? Dari internet tentu saja. Dari semua sosial media. Meskipun membutuhkan waktu lama untuk mencarinya.

Nama "Kayu Manis" bukanlah nama asli sang penulis, tetapi nama pena. Nama aslinya ialah Pree. Berkelamin laki-laki.

"Kamu tau letak rumahnya?" tanya Lynne melirik Van dari spion.

"Tidak. Tapi nama daerahnya aku tau." Van di jok belakang menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari gawai Lynne.

"Terus kita tanya ke orang satu per satu gitu?"

"Betul."

"Huft, oke, tidak masalah."

Di balik helm yang dipakai Lynne, seutas senyum tipis menghias wajahnya. Dengan begini, hati Lynne merasa tidak terbebani. Dia berusaha membantu Van semampunya.

Sebelum berangkat, mereka berdua juga sudah makan terlebih dahulu. Tak lupa wejangan dari Arzan untuk tidak saling bersentuhan fisik antara Lynne dan Van.

Mereka telah tiba di daerah yang dituju. Menit demi menit mereka habiskan untuk bertanya-tanya pada rumah-rumah di sana. Jujur Lynne capek, tapi ia tekadkan sekali lagi bahwa ia sedang membantu Van.

Tidak boleh ada kata mengeluh.

"Kita istirahat saja dulu, Lynne," kata Van sebelum mereka naik motor.

"Eh? Enggak apa-apa?"

Van mengangguk.

Terbesit di pikiran Lynne daerah sini dekat dengan toko buku novel bekas yang kapan hari lalu ia beli. Lynne berniat beli novel bekas lagi.

"Aku mau ke toko buku dulu. Boleh?"

"Boleh saja. Kenapa harus minta izin?"

"Karena aku sedang membantumu. Tidak sopan rasanya bila aku malah mementingkan kepentingan pribadi."

Penjelasan dari Lynne membuat Van bingung. "Kau tidak mementingkan kepentinganmu, Lynne. Kau ingin pergi ke toko buku, silakan. Aku tak ada hak untuk kau minta izin."

"Tetap saja aku butuh izin padamu, karena aku sedang bersamamu." Lynne menatap tepat di pupil warna hazel Van.

Sesaat Lynne terpaku menatap pupil indah milik Van. Benar-benar indah saat terkena cahaya dari lampu jalanan. Lynne terpesona.

"Baiklah. Terima kasih sudah melibatkan diriku," ucap Van seraya mengulas senyum.

Kedua mata Lynne langsung melebar. Tampan sekali. Batin Lynne kembali terpesona.

Bahkan Lynne tidak berkedip menatap wajah Van. Baru kali ini ia mendapat senyum tulus dari seorang Van. Biasanya Lynne hanya akan disuguhi muka triplek dan senyum miring Van.

Namanya memang Van. Tidak ada nama panjang. Hanya tiga huruf.

Penduduk di planet Laveena memiliki nama tiga huruf saja. Tidak lebih. Namun, mungkin ada sebagian orang yang hanya terdiri dari dua huruf.

Van menjentikkan jarinya di depan muka Lynne kala Lynne lama tak berkedip. Seketika Lynne menahan malu sambil berkedip cepat. Ia bingung harus apa setelah kepergok menatap penuh kagum pada Van.

Jadinya Lynne memasang helm sedikit gelagapan. Van yang melihat itu menahan senyum.

"Ki-kita ke toko buku sekarang." Lynne menyerahkan helm satunya pada Van tanpa melihat sang empu.

Bocah tengil bisa lucu juga. Van lantas naik ke jok belakang usai Lynne menyalakan motornya.

Van belum bisa lancar mengendarai motor. Ia masih takut mengendarainya bila nanti malah merusak motor Lynne. Van harus ganti rugi dan ia sekarang sedang tidak memiliki harta berharga untuk dijadikan balas budi.

Sesampainya di toko buku, mereka berdua langsung masuk. Apalagi senyuman Lynne semakin melebar.

Ketika masuk ke toko, mereka berdua disambut ramah oleh Kakek si pemilik toko. Lynne bahkan berbincang pada sang kakek tentang novel "Winter".

"Anda tau siapa penulisnya?" tanya Lynne teringat akan Van.

Van sudah menyiapkan telinganya mendengar jawaban si pemilik toko. Namun, melihat wajah kakek, Van merasa familier.

"Tentu saja aku tau siapa penulisnya."

👑

To be continue..




Salam,
Lana

Run Away (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang