04. Rumah Adalah Neraka.

177 40 4
                                    

"Makasih sudah bertahan..." — Yufi, 2005.

Jika rumah adalah sebuah tempat dimana orang orang merasa aman dan nyaman, tidak dengan Yufi.

Bagi Yufi, rumah adalah neraka yang telah disiapkan untuk kehidupannya.

Manik obsidian Yufi memindai setiap rusak yang ada dirumahnya. Vas bunga yang diberikan oleh neneknya pecah bekeping keping — yang sialnya diinjak oleh Yufi.

Telapak kaki Yufi mengeluarkan darah yang bercucuran, si jantan tak meringis sedikit pun. Ia hanya diam, menatap kosong kekacauan yang ada dirumahnya. Tubuhnya tak lagi merespon rasa sakit yanh terkuak kuak. Dan untuk kesekian kalinya, Yufi menangis.

Hati nya penuh dengan rasa laif yang memuakkan jiwa. Ia lelah dengan semua ini, lara nya pun rasanya sudah terlalu sering untuk muncul.

"Mama.." Ia terisak isak, membanting tas sekolahnya dengan asal dan pergi berjalan dengan kakinya yang berdarah darah darah itu ke kamar Ibundanya.

Ia menangis tersedu sedu dengan sangat mengenaskan. Langkah kakinya terasa kian melemas saat melihat kamar Ibundanya yang tampak seperti kapal pecah—nyaris terlihat tidak layak ditinggali lagi.

Pecahan pecahan kaca dari cermin terlihat berserakkan dilantai kamar tua itu. Kasur tampak berantakan yang dihiasi bercak bercak kemerahan yang diduga adalah darah Ibundanya.

Yufi masuk dengan tenaga yang tersisa. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah merengkuh tubuh sang Ibunda yang lebih kecil darinya dengan erat, ia menangis kencang tanpa kepalang—mengelus ngelus pucuk kepala Ibundanya yang tampak tersenyum tipis.

Yufi benar benar berucap syukur kepada Tuhan karna telah memberikan kesempatan baru untuk Ibundanya.

"Mama..." Yufi menangis terisak isak, cairan berupa butiran air mata itu turun dengan derasnya hingga baju Ibundanya basah dibagian tertentu.

Ibundanya terkekeh kecil tanpa tenaga—bibirmya pucat "Udah udah, jangan nangis..."

Yufi tak mendengarkan, ia semakin terisak kala mendengar suara Ibundanya yang tampak melemah.

"Mama gapapa," Lanjut Ibundanya, berusaha menenangkan putra tunggal kesayangannya itu.

Yufi akhirnya berhenti terisak, ia beralih menghapus jejak air matanya dan menatap legam obsidian Ibundanya yang tampak percis seperti miliknya. Yufi menghela nafas, membasahi bibirnya dan menunduk dalam dalam.

"Ma, maaf..." Yufi bergumam, ia tampak menyesal seakan akan semua kekacauan ini adalah ulahnya.

Ibundanya terheran heran, beliau yang awalnya tengah terduduk didekat nakas beralih mengusap pucuk kepala anaknya, "Maaf buat apa, Bim.."

Bim atau Bima adalah panggilan khusus dari Ibundanya untuk Yufi. Tak seorang pun telah memanggil Yufi dengan sebutan Bima itu—selain Ibundanya.

"Gara gara mama lahirin Yufi, mama jadi—"

"Kamu jangan asal asalan kalau ngomong," Ibundanya menghela nafas lesu, ia kembali merengkuh anaknya dalam pelukan yang erat, seakan akan hari esok tak akan pernah hadir untuk mereka berdua. "Mama ga akan pernah menyesal karna sudah melahirkan anak laki laki kaya kamu, Bim... Mama bangga punya anak kaya kamu. Kamu satu satunya pelita bagi kegelapan hidup mama.." Ibundanya berucap sungguh pelan dengan suara yang racau, tampak tak bertenaga.

Fated, Han Yujin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang