03. Biarkan aku memanggilmu Nana.

212 46 8
                                    

"Tuhan memberimu dalam hidupku untuk membuatku percaya; bahwa hari esok itu memang ada." - Yufi, 2005.


Hujan mengguyur kota Bandung saat itu. Wangi khas tanah yang berkecamuk dengan derasnya hujan menusuk indra penciuman. Disaat seperti ini, masih ada seorang pemuda yang berjuang melawan pasukan nyamuk dan hawa dingin yang mencuat. Ah, siapa lagi kalau bukan Yufi Abima?

Kaki jenjang itu tampak meringkuk dengan sungguh menyedihkan. Lantai keras nan dingin kelas masih menjadi satu satunya alas yang ia andalkan; tubuhnya terasa ditusuk oleh dingin dan keras. Tubuhnya linu-berharap sebuah keajaiban akan datang menjemputnya.

Namun, apa yang perlu diharapkan dari keajaiban itu?

Harapan yang sekecil apapun itu memang tak pernah ia impikan sejak masih cilik. Ia tahu diri-bagaimana bisa seorang seperti ia berharap tentang 'keajaiban'.

Diselang selang pertarungannya dengan hawa dingin itu, ia mulai memukuli kepalanya dengan pelan, merutuki dirinya sendiri yang telah bersikap konyol pada pertemuan keduanya dengan Seanna.

Memori itu jelas melekat di otak Yufi, bagaimana ekspresi wajah Seanna setelah mendengar kalimat paling klise yang pernah Yufi lontarkan pada orang lain. Dan masih teringat jelas bagaimana senyuman Seanna merekah setelah tertawa kecil mendengar lontaran aneh itu.

"Ini mungkin terlalu cepat buat diungkapin. Tapi, tolong tetap berada disisiku"

Ah, dia malu.

Yufi hanya sedikit berharap bahwa Seanna tidak akan menceritakan hal ini kepada orang lain. Ia takut digunjing dan ditertawakan seisi sekolah karna telah berbuat hal konyol kepada seorang gadis dara yang cant- baik.

Sebenarnya, ada apa dengan pikiran Yufi sejak tadi pagi? Itu benar benar buyar! Menganggu segala kegiatan yang harusnya ia jalani dengan benar tanpa kendala.

Waktu terus berputar. Dan sekarang, jarum tebal dan pendek itu mengarah keangka 3.

Keadaan luar sekolah masih sepi dan gelap gulita. Suara jangkrik pun kerap terdengar, bersamaan dengan hujan yang mulai berdamai dengan dirinya sendiri-menghasilkan suara rintisan kecil nan anggun dari gerimis itu sendiri.

Dingin tak lagi terlalu menyentuh tubuh Yufi. Ia akhirnya berhasil terlelap dalam tidurnya, bertemu dengan bunga tidur yang tak pernah ia impikan secara langsung.















Tiba tiba, cahaya lampu kelasnya membuat Yufi terbangun dari mimpinya. Tampaknya, seseorang telah mengusik tidur nyenyak Yufi.

Sebentar.

Mengusik?

Yufi buru buru bangun dari baringnya. Ia beralih melihat sekelilingnya, mencari sang empu yang telah menghidupkan lampu kelas kala itu.

"Eh, kebangun ya? Sorry sorry, gua ga liat lo disitu. Maaf ya, Yuf."

Suara berat itu membuat Yufi membola kaget, ia reflek berdiri dari posisinya, kemudian menggeleng geleng panik-kemudian bersemu merah saat mengingat bagaimana rupa Yufi sekarang. Huft, lagi lagi dia marah.

"Mau gua matiin lagi lampunya? Masih jam 5 lewat 45, nih. Masih sepi. Lo tid-"

"Engga, Kenzo. Makasih ya." Yufi menggaruk tekuknya yang tak gatal, kemudian mulai membereskan selimutnya dengan gusar.

Hal berikut yang ia lakukan adalah bergerak membuka tas ranselnya. Mencari cari keberadaan baju seragam yang harus ia pakai hari ini.

Sementara Kenzo-laki laki yang tadi menjadi lawan bicara nya itu merasa tidak enak, namun ia memilih untuk berjalan kearah kursi posisinya duduk.

Fated, Han Yujin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang