"Aku harus ngebuka lembaran buku baru yang aku penuhi dengan suka cita di hari yang baru" — Yufi, 2005.
Pulang dengan senyum yang sungguh lebar adalah kegiatan yang tengah Yufi lakukan sedari tadi.
Senyumnya tak kunjung luntur lantaran habis bertemu dengan si gadis dara yang nan anindita.
Tungkai jenjangnya menyusuri jalanan kota yang menggenang air. Gerimis turun kecil, namun Yufi tetap berjalan dengan santai — memikirkan betapa senang hatinya setelah melihat Seanna.
Ya, walaupun Seanna memang sakit, Yufi tetap bahagia karna akhirnya bisa menatap kedua manik obisidian indah milih si hawa secara langsung. Senyuman pucat dari Seanna pun tetap tampak rupawan dibayangan Yufi.
Apa dia.... jatuh cinta?
Yufi tak mengenal apa itu cinta. Tak pernah ada yang menceritakan sesuatu mengenai cinta kepadanya.
Bahkan, kelahirannya pun tak dipenuhi dengan cinta. Suka cita pun minim jumlahnya. Tak heran jika Yufi masih saja menolak fakta bahwa ia tengah di fase — menyukai seseorang.
Mengenal Seanna seminggu lebih sudah membuat Yufi jatuh hati. Semua kelakuan lucu dari Seanna membuat hatinya terus bergetar hingga desiran darahnya mulai membalap.
Rintikan hujan itu sesekali mengenai bagian pucuk kepala Yufi. Membasahi sebagian seragam sekolah yang laki laki itu kenakan sedari tadi pagi.
Entah sudah berapa lama ia tersenyum seperti itu. Layaknya sebuah adegan film, Yufi bersiul kecil — menikmati hujan yang terus terusan mengguyur tubuhnya. Tak memperdulikan betapa dingin dan lembap dirinya sekarang. Ia... sibuk dengan kebahagiaannya.
Aneh. Yufi tak pernah seperti ini. Ia bahkan membenci hujan. Air yang memercik itu membuat dia muak. Namun, sekarang ia malah memuja muja hujan itu dengan banyak kata kata indah.
Ia jadi memiliki ide untuk sajaknya. Mungkin hanya mengenai cinta dan hujan, namun dalam bahasa yang akan ia buat indah. Sangat indah.
"Mama?" Yufi membuka pintu utama rumahnya, menelisik keadaan didalam — mengernyit dalam diam sementara netranya mencari keberadaan Ibunda kesayangannya.
Rumah itu tampak sangat berantakan dan gelap gulita. Vas bunga tampak pecah dilantai, bersama tanah dan tangkai bunga yang berserakkan dimana mana.
Yufi menghela nafasnya, mulai masuk dan menutup pintu rumahnya setelah melepas alas kakinya.
Ia berjalan dengan keadaan basah, rambutnya meneteskan air air yang terperangkap dari hujan dijalan tadi.
"Mamaa, Yufi pulang iniii," Yufi berseru cukup keras. Dengan hawa yang kian menggelap, Yufi mulai menutup pintu utama rumahnya dan menelusuri labirin tempat ia berteduh itu.
Ia terus melirik kanan kirinya, membuka setiap bilik pintu yang ia temukan disana dengan sekuat tenaga.
Matanya terus bergulir, dan jantungnya kian berdetak hingga terasa hingga ke ubun ubun.
Ia tak kunjung menemukan sosok ibunda yang sedari tadi ia cari.
Yufi terduduk diatas lantai dingin itu, ia melepas semua tenaganya dan mulai bersandar di dinding dekat kamar Ibundanya. Perjaka ini terdiam ditempat, menggigit bibir bagian bawahnya.
Kemudian, menangis.
Ia terisak isak, suara yang ia timbulkan sungguh memecahkan keheningan rumah bernuansa coklat itu. Tatapan nya tampak penuh dengan kesedihan dan kekhawatiran.
Ia seharusnya tidak pergi kemana mana. Seharusnya, ia terus berada disisi induknya yang telah hampir berkepala 4 itu. Seharusnya... Seharusnya.. Dan seharusnya.
Yufi penuh dengan penyesalan, sesak di dadanya memuakkan jiwa raga si empu. Ia terus menangis hingga matanya memerah, dilengkapi dengan bibirnya yang memucat dan tenaganya yang telah habis.
Yufi lelah.
Laki laki berumur tanggung itu akhirnya mulai memutuskan untuk terlelap dalam tidurnya. Menutup mata dengan secerca kertas lusuh ditangan kanannya.
Kertas tulisan ibundanya.
Bima, mama pergi sebentar ya?
Mama janji bakal pulang cepet dan bawa banyak uang buat Bima. Nanti kita pergi beli baju bareng, ya?Tungguin mama ya, Bim. Mama bakal pulang.
Jangan nangis, dan jaga diri ya.
Mama sayang Bima.Yufi terus berharap, bahwa ia dapat memutar waktu dan memilih untuk tidak hadir ke dunia ini.
Anak laki laki itu mulai mengerjap ngerjapkan matanya perlahan, kemudian mulai mengusak ngusak aset terindahnya itu dengan kasar.
Cahaya yang diterbitkan oleh sang mentari mulai menusuk nusuk kulit dari jendela bilik kamar dihadapannya.
Lagi lagi, Yufi menghela nafas.
Mengapa ia ditakdirkan untuk bangun pada hari itu? Mengapa ia diperintah oleh seluruh anggota tubuhnya untuk bergerak — dan berjalan dengan lirih kearah kamar mandi kumuh rumahnya?
Kertas yang semalaman ia pegang itu telah ia lempar ke sembarang arah. Ia memilih untuk membasuh wajahnya dan mulai membersihkan diri lalu pergi ke sekolah dengan jalan kaki.
Persetan dengan menyarap. Ia akan langsung pergi ke sekolahnya dan belajar dengan sungguh sungguh.
Ah, belajar... atau menantikan Seanna?
Jangan berbohong, tuan dan nyonya. Semua orang yang tengah dicerca cinta akan terus memikirkan sang pemilik hati kapan pun dan saat apa pun.
Dan mengenai alur kemarin... Tolong, lupakan saja. Secepatnya.
Karna Yufi telah belajar mengenai hal ini. Saat tengah mel, ia bergumam kecil "Kemarin adalah anugrah, hari ini adalah berkat dan esok adalah misteri. Semua yang terjadi kemarin cukup berakhir sampai disana. Aku harus ngebuka lembaran buku baru yang aku penuhi dengan suka cita di hari yang baru."
Hari baru? Ya, Yufi akan menantikan segala hal baik yang akan menghampirinya hari ini.
Lantas, akankah dunia bercerita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated, Han Yujin.
FanficTentang sebuah takdir yang merengkuh kita dalam hangatnya asmara. highest rank: #9 at seowon #1 at hyj #3 at hyj #2 at hanyujin #1 at tt #8 at seowon #8 at ciipher #2 at yuehua #1 at yuehua #4 at terazonokeita April 2023, ©atmabana