14. Tentang Impian Mereka.

131 12 1
                                    

"Ah, ini benar benar rahasia. Kau harus menjaga rahasia ini, ya?" — atmabana, 2005.

Malam ini, hujan kembali mendatangi Bandung. Harum khas dari perpaduan air dan tanah yang bersentuhan itu menyoroti sekeliling kota. Dengan payung yang Yufi gunakan kala itu, ia duduk dihalte yang sepi. Hanya ditemani dengan orang orang yang berlalu lalang.

Ia duduk disana, menatap hujan yang turun deras sembari menghela nafas sesekali.

Ibunda nya belum pulang. Ia masih kesepian saat dirumah. Rumahnya memang bersih dan hangat, namun, tanpa kehadiran sang induk, ia merasa hampa. Perasaan sedih itu kembali lagi seperti biasa.

Pukul 7 malam tepat, ia masih tak kunjung beranjak dari tempatnya. Jika kau bertanya, mengapa Yufi duduk di sana sendirian, jawabannya ada dua.

Jawaban pertama, itu karna ia merindukan ibunda nya. Ia menunggu kehadiran ibunda nya disana. Kepalanya terus berpikir, bahwa bisa saja ibundanya akan muncul disampingnya tiba tiba.

Dan jawaban kedua, sekaligus terakhir. Itu karna ia merindukan kehadiran Seanna juga. Senyum manis nan jelita yang dipancarkan dari bibir tipis gadis itu sungguh memabukkan bagi Yufi. Dan, bukankah sudah biasa, jika Seanna muncul disampingnya saat hujan turun di dekat halte?

Ia juga berpikir, bahwa Seanna akan datang dan duduk disebelahnya lagi. Sebab, pagi ini, Yufi tak sempat bertemu mata dengan sang gadis. Yufi pulang lebih cepat dari Seanna, juga tak berani untuk menunjukkan diri didepan rumah Seanna.

Ini adalah satu satu nya jalan baginya. Duduk dihalte dengan payung hadiah dipegangannya, juga dengan hujan yang menuruni kota dengan deras tanpa ampun.

Berharap bertemu tanpa janji, dan berharap bersama tanpa kata. Hanya mengandalkan harapan semata. Apa itu cukup?

Yufi menyandarkan punggungnya yang kaku pada tempat duduk halte yang dingin dan terkena rintik hujan kecil. Ia menghela nafas, mengedip ngedipkan kedua obsidian legam indahnya dengan parau.

Yufi tidak mengerti mengapa ia selalu merasa lelah. Merasa ingin berhenti. Ataupun merasa tak layak untuk menginjakkan diri dibumi. Ia sungguh tidak mengerti mengapa hipnotis kalimat itu selalu menghantui dirinya.

Ia pernah berpikir, apa ia tak seberharga itu dimata dunia? Apa ia memang tak layak untuk menghirup udara bersama orang orang lainnya?

Apa ia tak layak untuk bermimpi seperti anak anak remaja lainnya?

Ah, aku lupa menceritakan mengenai mimpi Yufi kepada kalian. Jika kalian ingin tahu, biarkan aku memberitahu sedikit mengenai mimpi Yufi.

Lahir dan besar dikeluarga yang bisa dikatakan kurang mampu membuat Yufi tumbuh sebagai laki laki sederhana dan dewasa. Ia tidak pernah mengharapkan sesuatu yang luar biasa dari atma atma dihidupnya. Termasuk kepada ibunda nya.

Ia selalu menjadi laki laki yang tak menyukai hal besar, dan memilih untuk menjalani kehidupan kecilnya. Namun, dibalik itu semua, Yufi juga mempunyai mimpi luar biasa. Mimpi yang ingin sekali ia capai.

Bisa kau tebak itu apa?

Ya, jawabannya adalah penulis.

Yufi ingin menjadi penulis yang berhasil. Penulis yang dikenal seantero Bandung karna kemahirannya dalam mengekspresikan emosi melalui tulisan kecil. Penulis yang dikagumi karna ketulusan kata katanya. Itulah mimpi Yufi.

Fated, Han Yujin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang