15. Mama kembali, Dunia berseri.

150 9 1
                                    

"Mama pulang, Bim." — Mama, 2005.

Yufi membuka matanya, melirik langit yang tampaknya sudah tidak menangis. Dengan senyum tipis, ia mulai berdiri, menutup payungnya yang tadi melebar dengan perlahan.

Tungkai panjangnya ikut berdiri, dan sesekali direnggangkannya dengan lembut. Dunia Bandung telah menunjukkan pukul sembilan lewat enam menit  — sudah dua jam ia duduk dihalte itu.

Jalanan masih lumayan ramai. Dipenuhi dengan penjual penjual makanan kaki lima yang tampak berburu pelanggan. Salah satunya ada nasi goreng, juga sate madura.

Jika kau penasaran apa makanan kesukaan Yufi, jawabannya adalah sate. Iya, sate.

Sate adalah makanan terbaik, juga termahal yang pernah ia makan seumur ia hidup. Ia paling suka saat bumbu kacang itu dipenuhi dengan kecap manis.

Pernah, dulu, tetangganya yang tinggal sekitar 500 meter dari rumahnya memberi ia sebungkus sate sisa dari hari raya. Yufi saat itu berusia 7 tahun. Masih sekolah dasar.

Yufi menerima sate itu, dan memberikannya kepada Ibunda. Kemudian, mereka berdua makan bersama. Walau duduk lesehan, Yufi kala itu tetap bahagia.

"Ma, ini apa? Enak!" Yufi kecil berseru dengan mata berbinar, juga dengan pipi nya yang cemong akan bumbu kacang sate. Ibunda nya terkekeh kecil, mengelap pipi anak semata wayangnya dengan ibu jari lentik miliknya.

"Namanya sate, Bim. Enak kan?"

Yufi mengangguk ceria, memakan sate itu dengan lahap. Bahkan, saat daging daging sate itu telah habis, Yufi mengambil lagi secentong nasi — dan memakannya hanya dengan bumbu kacang yang tersisa.

Yufi ingat sekali masa masa itu. Makan makanan paling sederhana dilantai dingin ruang tamu bersama Ibunda nya kala itu adalah hal paling menyenangkan bagi Yufi.

Senyuman laki laki itu merekah jelas, entah apa yang ia senyumi — memori mengenai Ibundanya atau apa — namun, laki laki itu kemudian memilih untuk menggerakkan tungkai panjangnya. Ia berjalan dengan perlahan, tangan kanannya memegang payung yang sudah ia tutup. Ia pulang.

Diperjalanan, itu benar benar terasa sejuk. Nyaris dingin, namun lebih mengasrikan. Udara setelah hujan di kota Bandung benar benar romantis, membuat tubuh Yufi mampu bergidik saat menyadarinya.

Yufi hanya berjalan lurus, tanpa memikirkan apapun dikepalanya. Tanpa materi. Tanpa jawaban. Ia hanya diam sambil berjalan, layaknya orang yang tak memiliki jiwa didalamnya.

Entah berapa lama ia menjalani kegiatannya itu. Sampai akhirnya ia benar benar hadir dirumahnya lagi — gelap karna lampu teras lupa ia nyalakan.

Ia memegang kenop pintu rumah itu, berniat membuka nya dengan kunci. Namun, saat tak sengaja menekannya, pintu itu langsung terbuka. Menimbulkan kernyitan dahi kebingungan bagi Yufi.

Yufi berani bersumpah, bahwa ia sudah mengunci pintu rumahnya sebelum ia berkeliaran di dunia Bandung.

Mengapa bisa dibuka? Tanpa kunci?

Apa rumahnya dirampok?

Yufi membasahi bibirnya dengan gagap, mendorong pintu itu, dan kemudian masuk perlahan lahan. Air wajah nya menunjukan kewas - wasan nya. Takut, jika saja suatu hal buruk terjadi dirumahnya.

"Bima..."

"Mama?"

Yufi terdiam ditempat, bibirnya kelu — nyaris tak dapat bicara. Matanya menatap lurus, membidik seorang wanita dewasa yang tengah berpakaian rumahan dan tersenyum manis kearahnya.

"Mama.." Yufi berlari kecil, memeluk sang ibunda dengan erat. Seakan akan, tak akan membiarkan siapapun menyentuh ibundanya lagi. Tak membiarkan dunia kembali memisahkan ia dengan sang induk dengan jarak dan waktu.

Yufi senang.

"Mama pulang, Bim." Ibundanya memeluk balik, senyuman nya tak kunjung luntur. Namun, kali ini, ditemani oleh sedikit air mata yang turun dari manik obsidian legamnya. "Mama rindu Bima.."

Yufi menangis. Terngaung ngaung dirinya dipelukan sang mama. Ia hanya mengangguk, tanpa melepas sistem membuang jarak itu. Air mata nya turun deras, melewati pipinya yang tirus dan putih.

"Bima juga. Bima rindu mama."

Catat tanggalnya. 18 Maret 2005, ibu dari pejantan kuat kesayangan kita telah kembali ke kediaman nya. Merengkuh Yufi, dan tak akan membiarkan siapapun melepas ia dengan buah hatinya lagi. Tidak akan.

























Sabtu, 19 Maret 2005. Hari ini, seharusnya, Yufi masih pergi kesekolah dan beraktifitas layaknya seorang siswa. Namun, bisakah kau tebak apa yang ia lakukan hari ini?

Ya, dia memilih izin sekolah. Dengan alasan, ia sakit sebab terkena hujan Bandung kemarin. Gurunya tentu percaya percaya saja, dan membiarkan Yufi mengambil libur sehari.

Yufi tadi mengirimkan pesan pada gurunya melalui ponsel nokia nya. Kira kira, begini:

Selamat pagi, pak. Ini saya, Yufi Abima absen 32. Saya hari ini sepertinya belum bisa ke sekolah dan belajar seperti biasa, pak. Karena, saya sakit demam. Gara gara hujan kemarin. Mohon maklumnya, pak. Terima kasih.

Dan langsung disambut hangat oleh wali kelasnya:

Ya, baik. Cepat sembuh ya Yufi...😁

Begitu saja, sih. Kemudian, setelah mengirim pesan seperti itu, Yufi memilih bangun dari kasurnya, dan berjalan ke kamar ibunda nya.

Membuka pintu itu, dan melirik kedalam — memastikan bahwa ibunda nya benar benar masih ada disana, dan tak meninggalkan Yufi lagi.

Dan benar saja. Saat ia melirik, mama masih ada disana. Terlelap, dengan wajah yang tenang. Melihat itu, Yufi tersenyum kecil, "Pagi, ma." Ujarnya walau tak dibalas.

Detik berikutnya, ia memilih kembali menutup pintu kamar ibunda nya dan berjalan ke arah dapur. Ia akan memasak sedikit untuk ibunda nya, dan berniat sarapan bersama di ruang makan yang bercampur dengan dapur ini.

Entah apa yang Yufi masak didapur sana. Tidak ada yang tahu. Yufi memasaknya dengan sangat tenang, hampir tanpa suara yang menganggu. Ia juga mencuci piring kotor sembari menunggu makanannya matang.

Saat makanan yang ia olah itu dikiranya sudah dapat dikonsumsi, ia memilih mematikan kompor itu dan mentiriskan hasil kerja kerasnya ke atas piring bersih. Setelahnya, ia meletakkan piring itu diatas meja makan.

Ia tersenyum puas. Layaknya seorang anak remaja yang bangga akan kerja keras yang ia lakukan.

Yufi sebenarnya sering diolok olok oleh temannya dahulu. Diejek banci — seperti perempuan saja. Karna, Yufi ketahuan memasak dan melakukan kegiatan rumah lainnya dengan lihai.

Tapi, Yufi tidak peduli. Ia merasa apa yang ia lakukan sudah baik, dan membantu ibunda nya. Lalu, mengapa pula ia harus malu?

Namun, tiba tiba saja, senyuman Yufi luntur. Ia menatap sajian yang ada diatas meja itu dengan datar, otaknya berputar.

"Sena juga mikir aku banci ga, ya? Aku kan suka masak..." Gumamnya, nyaris seperti bisikan batin.

"Kalo dia tau, dia menjauh ga ya?" Sambungnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fated, Han Yujin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang