Satu jam di perjalanan. Azka dan Acha sudah sampai di rumah baru yang akan mereka tempati.
Dirumahnya Azka hanya mengambil beberapa baju dan memilih pamit kepada bundanya. Sedangkan sang ayah tengah bekerja.
Bunda Azka menangis karena di tinggal oleh sang anak satu satunya.
Berharap Azka tetap tinggal di rumahnya saja dengan Acha, tapi tidak mungkin. Mereka sudah menikah, sudah seharusnya hidup mandiri.
Acha menatap rumah bergaya modern di depannya dengan tingkat tiga. Ia tidak menyangka bahwa mahar pernikahannya rumah sebesar dan semewah ini. Acha fikir hanya rumah minimalis. Ternyata dugaannya salah
"Azka apa ini nggak terlalu besar?!" Tanya Acha menatap sang suami yang tengah berdiri di sampingnya.
Azka mengangkat bahunya acuh. Bagi Azka ini tidak seberapa.
"Kenapa emangnya? Lo nggak suka ya?" Bukannya menjawab Azka malah melemparkan pertanyaan kembali kepada Acha.
Acha menggeleng pelan. "Bukan nggak suka. Aku suka kok, hanya saja ini terlalu besar buat kita yang tinggal cuma berdua." Ungkap Acha mengutarakan isi pikirannya.
Azka mendekatkan mulutnya dengan telinga Acha. "Engga akan besar kok, nanti kan disini kita tinggal bareng anak anak kita." Bisiknya dengan nada menggoda.
Blussh... Debaran di dada Acha menggebu tidak beraturan.
Acha merona mendengar kata anak anak kita yang dilontarkan oleh Azka. Apa yang Acha pikirkan.
"Apaan sih!" Ucap Acha yang tengah salah tingkah.
Azka tertawa ngakak sedangkan Acha sudah berjalan duluan meninggalkannya.
Hati Acha tak henti hentinya mengucapkan rasa syukur dan melontarkan kata kata pujian terhadap rumah barunya dan Azka.
Lima kamar di bagian bawah dan ruangan demi ruangan kosong yang juga ada banyak di lantai utama.
Di lantai dua hanya ada tiga kamar serta ruangan keluarga yang hendak Acha dan Azka gunakan untuk bersantai.
Sedangkan di lantai tiga, hanya dan dua kamar dengan tiga ruangan kosong yang luas. Mungkin suatu saat Acha akan menggunakan ruangan itu untuk area bermain anak anaknya. Serta juga terdapat rooftop di atasnya.
Acha menatap Azka yang sudah ada di dalam kamar.
"Loh? Kita sekamar?" Tanya Azka memberhentikan tatapan Acha terhadapnya.
Acha mengernyit bingung. Bukankah sudah seharusnya mereka satu kamar? Satu ranjang? Dan ah, satu hati juga diperlukan.
"Maksud kamu kita pisah kamar?" Tanya Acha berhati hati.
Pertanyaan Azka sempat membuat Acha panas dingin.
Apa Azka tidak mau sekamar dengan Acha?
Atau karena Azka sudah ada Santi?
Ck, jadi Acha ini siapanya Azka?
Bagaimana pun Acha lebih berhak atas diri Azka dibandingkan dengan Santi.
Azka menggeleng cepat. "Kalau mau sekamar juga nggak apa apa." Serunya kemudian.
Acha mengangguk. Ia juga tidak mau pindah kamar. Lebih baik dirinya sekamar dengan Azka.
Acha yakin dirinya sudah jatuh terhadap pesona Azka. Dan, Acha takut jika nanti cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Ia harus bisa membuat Azka juga jatuh kepadanya bukan kepada Santi ataupun wanita lain di luaran sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINIKAHI BAD BOY MANJA
Random-HARAP BIJAK DALAM MEMBACA- Menikah dengan lelaki badboy? Sama sekali tidak pernah terbayangkan di benak Acha bahwa ia akan dijodohkan dengan anak sahabat snag ayah. Padahal mereka berdua sama-sama belum tamat sekolah.