16: Terima Kasih Janu

1K 104 12
                                    

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam meskipun bintang-bintang diatas sana masih tampak malu-malu untuk menyinarkan cahayanya. Dari jendela kamarnya Hiresh sedang menatap langit berharap setidaknya dia menemukan satu atau dua bintang yang biasa di lihatnya setiap malam. Namun kali ini sepertinya mereka masih malu untuk keluar, Hiresh tidak melihat apapun diatas sana selain langit yang gelap. Sepertinya nanti malam hujan akan kembali turun. Padahal malam ini Hiresh ingin sekali melihat bintang.

'Ibu lagi enggak mau ketemu Hiresh ya?' Gumamnya dalam hati.

Dulu Javier pernah berkata, jika Hiresh merindukan Ibu dia bisa melihat bintang yang paling terang di langit. Tapi sudah 3 hari ini hujan terus turun sehingga dia tidak bisa melihat bintang. Terkadang Hiresh merasa sedih, dia belum sempat bertemu sang Ibu sebelum wanita cantik itu harus meninggalkan dunia. Hiresh hanya bisa menatap langit berharap Ibu akan datang walaupun dia tau, yang dia lihat hanyalah sebuah cahaya yang terpancar dari benda di ruang angkasa bukan sosok manusia yang dia rindukan.

"Heii..." Atha yang melihat Adik bungsunya sedang melamun menepuk bahunya, "Mau ini enggak?"

Hiresh sudah tidak takut lagi, tadi setelah selesai makan malam Atha menjelaskan bahwa dia tidak marah kepadanya. "Boleh gitu? Kata Kakak jangan makan makanan manis kalo mau tidur."

"Boleh, cuma bola-bola susu. Bukan cokelat. Abis ini gosok gigi aja."

"Aku udah gosok gigi tau." Hiresh merengut, tapi meskipun begitu dia tetap merebut 1 toples bola-bola susu dari tangan sang Kakak.

"Lagi ngelamunin apasih kamu?"

"Aku lagi enggak ngelamun. Tadinya mau liat bintang. Cuma mendung deh kayaknya."

"Kangen Ibu?"

"Sedikit..."

Atha mengusap rambut Hiresh. Adiknya ini padahal tidak melakukan perawatan apapun pada rambutnya, tapi saat dia menyentuh rambut Hiresh benar-benar terasa lembut sekali. "Mau ke makam Ibu?"

"Gak usah mengada-ngada ya Abang. Makam Ibu ada di Malang, kita harus sekolah loh."

"Siapa tau mau kesana." Atha mengedikan bahunya lalu berbaring di atas kasur.

"Dasar aneh... ini apasih dari tadi berisik banget tung tang ting ting hpku."

Atha tertawa, melihat bibir Hiresh yang merengut sebal adalah hal favoritnya. Memang sejak dia datang ponsel Hiresh terus berbunyi. Dengan sebal Hiresh membuka ponselnya, banyak sekali pesan yang masuk yang entah apa isinya. Yang jelas Javin dan Janu berada di jajaran paling atas dengan isi pesan lebih dari 10 gelembung. Matanya membulat begitu dia melihat isi pesan yang di kirim dua sahabatnya, belum lagi grup kelasnya ikut ramai dengan pembahasan yang sama. Hiresh melompat dari kursi meja belajarnya, kemudian menghampiri Atha yang sedang bermain games. Dia bahkan mengabikan bola-bola susu buatan Maven sekarang.

"Abang... Abang... Abang... liat... liat... liat..." Ucapnya heboh, "Abanggg liat dulu ihhh."

"Apaa Adiikkk?" Atha meletakkan ninetendonya.

"Ini bener? Papanya Kak Galih katanya menyelundupkan uang."

"Mana Abang tau, iya kali." Jawab Atha terlihat acuh.

"Abang gimana sih? Emang gak buka grup sekolah atau kelas apa? Mereka lagi heboh ngomongin ini tau."

"Gak penting banget. Kalo iya enggak akan ngerugiin kita, kalo bener juga gak akan bikin untung. Udah biarin aja. Baru katanya kan?"

Hiresh mengangguk lucu. "Tapi ini udah ada di berita 'Seorang direktur Bank diduga melakukan penyelundupan uang' gitu katanya."

"Baru diduga, belum bener-bener jadi tersangka. Udah ah enggak usah ikut campur. Gak penting tau."

4 BROTHERS || J-Line TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang