[42] Bazar dan Festival

25 3 1
                                    

"Saat aku dan ayah ke rumahmu waktu itu adalah untuk meluruskan semuanya. Mengetahui kamu sakit dan aku adalah dokter yang akan menangani pengobatanmu aku merasa sangat tersiksa sepanjang hari. Aku tidak nyaman saat tertidur, semua pikiran tertuju padamu. Sebelum itu, sebenarnya aku lebih ingin mengajak kamu untuk memulai kehidupan baru dari awal. Meski terdengar sangat kurang ajar, aku sangat menyukai kamu dan masih mengharapkan kamu." Daren menarik napas.

"Beberapa kali melihatmu masuk rumah sakit dan menjalani kehidupan yang seharusnya tidak kamu jalani aku sadar. Pasti kedatanganku kembali akan sebagai duri. Lalu aku memutuskannya untuk membantumu sebagai doktermu, tapi bahkan itu belum dimulai aku sudah ketahuan. Andai aku lebih berhati-hati pasti kamu tidak akan merasakan kesakitan sampai pada hari kamu masuk ICU dan harus menjalani operasi."

Daren. Apakah dia sebenarnya sebaik itu? Gue tak percaya tapi untuk meragukannya gue lebih 'tak bisa.

--------

Ucapan Daren terlintas kembali di otak gue. Sungguh banyak sekali plot twistnya. Semua manusia melakukan kesalahan dan semua manusia berhak untuk menebusnya. Gue bukan Tuhan meski gue merasa 'tak adil, tapi setelah dilihat dari sudut pandang yang menyeluruh, mungkin kondisi gue sama dengan Daren hanya saja ditempatkan pada permasalahan yang berbeda.

"Rey?"

"Heem?"

"Kita sudah sampai," ucap Krey setelah memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit.

Ini yang gue naiki adalah mobil Krey, gue terkejut saat di halaman rumah dia mengatakan bahwa dia memiliki mobil setelah lulus SMA. Jadi kemarin gue salah karena mengatakan akan berangkat menggunakan taksi tapi ternyata Krey menggunakan mobilnya yang mana masih terasa dan terlihat baru.

"Oh, iya." Gue tersadar dari monolog, kemudian Krey dan gue keluar dari mobil menuju ke dalam rumah sakit untuk melakukan check up.

"Janji check up, sus," ucap Krey kepada perawat dan mengeluarkan catatan mengenai janji check up-nya.

"Silakan masuk ke ruangan sebelah timur, ada ruangan dengan pintu hitam, Anda bisa melakukan check up di sana," terang perawat. Kemudian gue dan Krey bergegas menuju ketempat tersebut.

Setelah mengalami hal panjang yang 'tak mudah di kehidupan ini, gue merasa harus menjadi manusia yang lebih bersyukur lagi. Nyatanya di balik gue yang sendiri di masa lalu masih memiliki sosok yang selalu support dan menemani gue. Ketika semuanya pergi dan gue sendiri tetap akan ada dia, satu orang yang selalu mengulurkan tangannya. Padahal sebenarnya secara keseharian gue dan dia bukanlah orang yang selalu berbicara dengan baik, banyak perselisihan-perselisihan yang gue dan dia selalu saja ciptakan. Namun setelah satu tahun terakhir, mungkin kedewasaan mulai tumbuh antar gue dan dia sehingga banyak sekali perubahan dan perselisihan-perselisihan itu hilang dengan keperdulian.

Melihat sosoknya lagi setelah hampir lima tahun 'tak bertemu itu adalah sebuah hal yang 'tak terduga. Di sinilah kisah gue dan dia dimulai kembali. Namun versinya lebih ke baik dari yang suka menjahili satu sama lain.

Agaknya, waktu itu gue sempat kesal, karena dalam hidup gue selalu bertemu kepada seseorang yang akhirnya meninggalkan gue.

Apa benar? Adanya perpisahan karena adanya pertemuan, lalu apakah jika sudah bertemu sudah pasti berpisah? Maksud gue berpisah selamanya bukan berpisah untuk menunggu bertemu kembali.

"Krey."

"Hu'um?"

"Udah, gue bisa motong sendiri," ucap gue. Kurang enak sejak tadi Krey memotongkan steak untuk gue.

"Sebentar lagi, sisa satu. Gue potong dulu," jawabnya. Tepat selesai kemudian dia memberikan piring berisi steak daging itu di depan gue.

"Thanks you," ucap gue.

"No problem." Krey meletakkan garpu di atas piring gue.

"Selamat menikmati, Rey," ucap Krey setelah selesai disibukkan dengan steak gue.

"Selamat menikmati juga, Krey," balas gue. Kamu mulai menyantap makanan masing-masing.

Check up selesai, makan siang selesai, saatnya kembali pulang ke rumah.

"Lo masih inget kata dokter 'kan, Rey?" tanya Krey setelah masuk ke mobil.

"Minum obat tepat waktu dan jangan lupa check up setiap hari Rabu," ucap gue serempak dengan Krey.

"Pinter," ucapnya sambil mengelus acak rambut gue.

"CK! Berantakan Krey," keluh gue, langsung merapikan rambut yang tadinya berantakan.

"Mau berantakan pun tetep cantik," ucap Krey, lirih.

"Apa?" Gue merasa salah dengar.

"Gaak," jawab Krey.

"Apa Krey?" ulang gue penasaran.

"Gak ada, Rey," jawab Krey menatap lurus ke depan. Fokus dengan jalanan.

"Ah, lo gaa--"

"Cantik!" potong Krey. Laki-laki itu 'tak menoleh.

Gue merasa sedikit salah tingkah, "apa kata lo?" tanya gue lirih. Memastikan.

"Lo cantik," jawab Krey. Kemudian dia menoleh dan menangkap basah gue yang sedang senyum-senyum seperti orang bodoh.

"Yang bener aja lo," ucap gue langsung mengalihkan pandangan darinya. Rasanya, sumpah, malu sekali.

"Ya emang bener. Kapan si lo jelek," ucap Krey. Perkataannya itu semakin membuat gue salah tingkah.

Tunggu-tunggu, kenapa juga dengan jantung gue ini. Aelah, jadi panas--dingin.

"Pas dioperasi aja lo--"

"Stop!" Gue menatap Krey. Dia menatap balik gue.

Settttp!

"Ada apa Krey?" tanya gue. Terkejut.

"Maksud lo?" Krey balik bertanya.

"Ngapain lo berhentin mobilnya?" tanya gue masih cukup terkejut dengan Krey yang tiba-tiba rem mendadak di bawah pohon dekat jalan raya.

"Kan lo yang bilang, stop!" jawab Krey meniru gaya ucapan gue.

Ah. Gue langsung memegang kening gue. Laki-laki ini benar-benar ....

"Maksud gue berhenti ngomong, Krey. Bukan berhenti mobilnya," terang gue dengan kening melebar.

Krey berpikir sejenak kemudian mengangguk.

"Karena udah berhenti, yuk turun," ucap Krey.

Laki-laki itu bukannya merasa bersalah malah mengajak turun.

"Mau ngapain?" Gue memicingkan mata.

"Udah turun aja," jawab Krey.

"Di sini?" Gue merasa Krey jadi aneh.

"Iya. Mumpung kita berhenti di sini," jawab Krey. "Turun dulu coba," lanjutnya.

Malas untuk mengotot akhirnya gue turun dari mobil.

Kok rame? Ternyata mobil Krey 'tak sendiri di bawah pohon mangga ini. Ada sekitar empat mobil di belakangnya.

"Tuh lihat. Hari keberuntungan kita ini," ucap Krey. Dia memegang kepala gue menggunakan kedua tangannya dan mengarahkan ke satu titik. Itu adalah bazar makanan dan konser keanekaragaman budaya.

"Gimana? Cocok, 'kan?" tanya Krey. Dia berkata tepat di samping telinga gue. Dia berdiri sejajar di dekat gue dengan mendekatkan kepala di samping gue, setengah membungkuk setelah melepaskan tangannya dari kepala gue.

Deg deg deg deg.

"Yuk masuk!" ajak Krey, tangannya langsung turun dan menggenggam tangan gue.

Dia berjalan sedikit berlari ke depan menuju bazar digelar. Gue mengikuti langkahnya dari belakang. Krey, laki-laki itu sengaja membuat langkah-langkah kecil yang pas dengan langkah gue. Tiba-tiba bibir gue terangkat membentuk sebuah senyuman.

--------

Jangan lupa tinggalkan komentar dan votenya, ya!

Happy reading di part selanjutnya! 🤗

 My Long Feeling [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang