[41] Berdamai

19 3 0
                                    

Restoran Bitta.

Karena ini pergi atas permintaan Papa rasanya lebih berkesan dari pergi bersama siapa pun. Walaupun canggung tapi rasanya gue senang.

Sebelum keluar dari mobil Papa memegang lengan gue.

"Ada apa, Pa?" tanya gue.

"Sebelum masuk ke dalam. Papa minta kamu tidak gegabah mengambil keputusan saat nanti sudah berada di sana," ucap Papa, ada raut khawatir dari wajahnya.

Gue menautkan kedua alis. "Tenang saja, Pa."

Papa mengangguk, kemudian kami turun dan berjalan masuk ke dalam restoran.

Ini adalah pertama kalinya gue datang ke restoran Bitta. Di Jakarta, gue jarang keluar apalagi makan di restoran. Karena perdana, gue sempatkan untuk melihat sekeliling. Ramai sekali.

Bukan di lantai satu, melainkan di lantai dua. Gue dan Papa naik eskalator menuju ke atas. Selama perjalanan menuju lantai dua, gue dan Papa diam 'tak membuka obrolan sama sekali.

Tap tap tap.

Gue dan Papa berhenti tepat di meja yang sudah ada orangnya. Dia, orang tersebut gue mengenalnya.

Jangan gegabah

Kalimat itu terlintas di dalam otak gue.

"Silakan duduk, Om, Rey," ucap laki-laki di depan Papa.

"Terima kasih. Kamu sudah lama menunggu?" tanya Papa setelah duduk.

"Sekitar 10 menitan, belum lama, Om," jawabnya.

"Sudah pesan makanan?"

"Belum, Om." Laki-laki di depan Papa menatap gue sekilas.

"Rey, mau pesan apa?" tanya Papa pada gue.

"Reyna pesan yang sama kaya Papa," jawab gue sambil menarik kursi dan duduk di samping Papa.

Sebaik apa prasangka manusia, tetap ada buruk sangkanya.

Menarik ingatan masa lalu, sakit hati mengembang hendak meledak, namun beberapa hari ini setelah operasi ada banyak hal-hal yang akhirnya gue sadari,

Jangan, jangan lagi memendam rasa yang membuat diri sendiri sakit, jangan, jangan lagi menghindari walaupun sakit sekali. Berjalan dan dilalui, akhir-akhir ini gue belajar yang semestinya Tuhan telah takdirkan.

Papa menatap gue dan dia secara bergantian. Beberapa menit setelahnya Papa memegang tangan gue.

"Papa tinggal dulu ya. Kalian bisa mulai mengobrol," ucap Papa. Kemudian benar-benar pergi meninggalkan gue bersama Daren.

Flashback

"Daren tidak seburuk apa yang kamu kira, Rey," ucap Mama

"Dia yang mengoperasi kamu, dia yang merawat kamu sampai kamu sembuh," lanjutnya.

"Tapi, bukankah dokter Fas yang menangani Reyna waktu pertama kali Reyna siuman," ucap gue kurang percaya.

"Daren sengaja melakukannya." Mama berkata jujur.

"Mama, papa, dan orang-orang yang tahu tentang hubungan kamu dan Daren sebenarnya juga merasa sakit, kesal kepada dirinya. Namun kalau dipikir-pikir kembali, setelah tahu alasannya melakukan semua itu mama jadi merasa kasihan sendiri. Mama bingung harus kasihan kepada kamu atau dirinya," mama menatap kosong di luar jendela bangsal.

"Apa yang terjadi, Ma?" tanya gue merasa ingin tahu.

"Kalau kamu sudah sembuh, kamu bisa tanyakan langsung kepadanya. Ingat Rey, kamu harus melepaskan rasa sakitmu mulai hari itu, setelah bertemu dengan Daren," jawab mama.

 My Long Feeling [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang