28 (pesantren kilat)

6K 412 2
                                        

Aku baru saja tiba di sekolah untuk menghadiri kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh sekolahku. Namun, ada sosok yang cukup menyebalkan yang tengah menghalangi jalan kami. Dia berusaha menarik tangan Aditya yang sudah berlindung di belakang punggungku. Ya, Aditya akhirnya kembali bersekolah setelah terus memohon kepada Catra.

"Paman, aku bukan anakmu," ujar Aditya dengan berani kepada Satria.

"Kau putraku!" tegas Satria.

"Tes DNA menyatakan aku anak papi dan mami," sahut Aditya.

"Mereka bukan orangtuamu! Aku adalah ayahmu! Kau harus kembali padaku!" Satria tampak semakin kesal.

"Kau hanya seorang penculik, Satria Pratama," timpalku dengan tenang.

"Tidak ada bukti atas tuduhanmu, bocah. Sejak kecil Aditya tinggal bersamaku, berarti dia adalah anakku!" desis Satria.

"Ikatan darah tidak bisa berbohong, Satria. Kau iri dengan segala pencapaian ayahnya Aditya. Karena itu, dengan niat busuk, kau menculik bayi yang tidak berdosa tepat setelah dia dimasukkan ke dalam inkubator," ujarku tegas.

"Heh, kau kira kejadian itu terekam di CCTV?" Satria meremehkan.

"Kau terlalu sombong, tuan," sahut seseorang yang terdengar familiar.

Aku tersenyum miring melihat kehadiran Catra yang tiba-tiba muncul di belakang tubuh Satria. Aditya langsung tersenyum dan memeluk tubuh Catra. Catra membalas dengan mencium puncak kepala Aditya dan mengelus rambutnya.

"Abang, bawa Aditya ke dalam sekolah. Masalah dengan pria ini serahkan kepada papi," ujar Catra dengan suara yang tenang, namun penuh wibawa.

"Laksanakan, papi," sahutku, memberi hormat pada Catra.

"Papi, aku sekolah dulu ya," pamit Aditya dengan ceria.

"Uang jajannya kurang? Minta sama abang, ya," ujar Catra, mengingatkan.

"Hehehe, iya, papi," jawab Aditya dengan tawa kecil.

Kami berdua bergantian mencium tangan kanan Catra sebelum melangkah menuju pintu gerbang sekolah. Saat melewati Satria, kulihat Aditya juga mencium tangan kanan Satria. Hati Aditya memang baik, ia bisa memaafkan orang yang telah menyakiti mental dan fisiknya.

Aku menarik tangan Aditya untuk menjauh dari kedua pria dewasa itu. Catra tetap diam, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali.

"Kau tunggu saja di pengadilan. Dan ingat satu hal, jauhi putraku. Dia adalah anak biologisku dan istriku. Kau urus saja anakmu yang lain," ujar Catra dengan nada yang tegas namun tenang.

"Kenapa kau selalu menang sementara aku terus menerima kekalahan, Catra?" desis Satria dengan penuh kebencian.

"Sikap tidak adil dari kedua orangtuamu seharusnya bisa membuatmu berpikir lebih dewasa, Satria. Menyakiti putraku sejak kecil tidak akan mengubah takdir yang sudah terjadi," ujar Catra, tetap dengan ketenangan yang luar biasa.

"Aku akan tetap membalas dendam padamu, Catra Zayan," ucap Satria dengan tatapan penuh dendam.

"Terserah dirimu," jawab Catra acuh, seolah tidak terpengaruh dengan ancaman itu.

Catra kemudian menarik Satria keluar dari kawasan sekolah. Dia tidak ingin Satria mengganggu putranya yang tengah berinteraksi dengan teman-temannya, melindungi Aditya dari segala potensi gangguan yang mungkin timbul.

Di aula sekolah, aku duduk bersebelahan dengan Aditya. Dia tampak tidak nyaman, sering melirik ke sekeliling karena ada beberapa siswi yang terus menatapnya. Aku menepuk pundaknya, berusaha membuatnya merasa lebih tenang.

"Santai saja," ujarku pelan.

"Biasanya mereka menghinaku, bang. Kok sekarang tatapan mereka beda ya?" tanya Aditya, tampak bingung.

"Kau dilihat terus karena tampan," jawabku dengan nada santai.

"Aku biasa saja, bang," sahut Aditya.

"Wajahmu mirip opa Korea gitu. Ditambah kulitmu putih bersih, persis seperti mendiang mami kamu," sahutku sambil tersenyum, mencoba menghibur.

"Dulu nggak begini, bang. Aku jadi nggak nyaman," ucap Aditya dengan sedikit gelisah, merasa terintimidasi dengan tatapan para siswi.

"Kan dulu kau nggak dirawat dengan baik. Sekarang kau tinggal bersama kami, semuanya jauh berbeda. Papi bahkan sampai memberikan perawatan untuk wajahmu yang dulu kusam," ujarku.

Aditya hanya mengangguk, sepertinya mulai merasa sedikit lebih baik.

Beberapa siswa dan siswi menatapku. Mungkin mereka terkejut karena aku baru saja mengeluarkan kalimat panjang. Di sekolah, biasanya aku tidak lebih dari lima kata dalam sekali berbicara.

Acara pesantren kilat berlangsung cukup damai. Aku merasa aneh melihat salah satu siswa yang memakai seragam biasa, tetapi aku tidak terlalu peduli dan lebih fokus pada tausiah dari ustadz.

Tiba-tiba, Aditya mengulurkan tangannya ke siswa yang tadi memakai seragam biasa.

"Hey, boleh berteman?" tanya Aditya dengan senyuman kecil.

Siswa tersebut membalas uluran tangan Aditya, dan aku merasa senang karena akhirnya Aditya memiliki teman.

"Nama gua Vincent Siregar, salam kenal," kata Vincent dengan senyum tipis.

"Nama gua Aditya Putra Catra Zayan," jawab Aditya dengan percaya diri.

"Lu murid baru ya?" tanya Vincent.

"Bukan, aku murid lama," jawab Aditya.

"Gua baru ngeliat wajah lu," kata Vincent, agak heran.

"Aku dulu dibuli, makanya orang-orang nggak terlalu kenal," ucap Aditya, sedikit malu.

"Aditya Pratama itu?" tanya Vincent, memastikan.

"Benar," sahut Aditya, merasa sedikit canggung.

"Gak nyangka deh, lu bisa beda banget sekarang," kata Vincent, terkejut.

"Yah gitu deh," jawab Aditya sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Lu deket banget sama batu es itu ya?" tanya Vincent.

"Dia kakak sepupuku," jawab Aditya.

"Oh, gitu ya," sahut Vincent, mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Vincent tiba-tiba berteriak keras, seolah baru sadar. Aku yang duduk di dekat mereka hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Aku senang Aditya akhirnya punya teman.

"Gua seharusnya libur hari ini," kata Vincent.

"Kok bisa?" tanya Aditya bingung.

"Gua Kristen. Makanya gua pakai seragam putih abu-abu, bukan baju koko kayak kalian," jawab Vincent, sedikit kesal.

Sisa percakapan mereka aku biarkan saja, tidak terlalu penting. Acara pesantren kilat selesai, dan Vincent bertukar nomor telepon dengan Aditya. Kami berdua menunggu jemputan, sementara aku lebih memilih untuk tidak mengendarai mobil hari ini.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Maaf lama ya dan juga pendek aku usahakan minggu depan double update

Selasa 11 April 2023

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang