3. Imajinasimu tentang hantu akan muncul jika sedang sendiri.
Sendiri?
Sendirian?!
Oke, aku memang selalu sendirian kalau di rumah. Kak Auston baru akan pulang kalau matahari sudah bersembunyi. Paling cepat juga sekitar jam tujuh malam. Sedangkan Mia, belakangan ini bocah itu sering sekali kerja kelompok. Dan aku akan terus sendirian sampai mereka berdua pulang. Lalu bagaimana kalau hantu itu benar-benar muncul saat aku sendirian?
Tapi bukankah dia selalu muncul di manapun dan kapanpun. Bahkan aku pernah melihatnya muncul saat ada Mia tempo hari. Mataku kembali menelusuri lanjutan tulisan itu.
Agar bayangan hantu itu tidak membuat bulu kudukmu berdiri, kunjungi tempat yang ramai. Sebisa mungkin, jangan sampai kamu sedang dalam posisi sendirian.
Tempat ramai? Pasarkah maksudnya?
Kriing!!
Aku mengalihkan pandang saat menangkap bunyi itu. Kemudian disusul dengan aktivitas teman-teman sekelas yang mulai grasak-grusuk. Tadi memang bunyi bel pelajaran berakhir. Dan kebetulannya, guru yang mengajar sedang ada urusan mendadak. Dan ya, kelas jadi rusuh begini.
Aku harus mencari tempat ramai. Mungkin maksud dari kalimat tadi bukan tempat ramai sejenis pasar. Tadi kalimatnya, ‘sebisa mungkin jangan sampai kamu sedang dalam posisi sendirian.’
Sendirian.
Mendadak mataku menatap Stevia yang masih duduk di sebelahku. Dia sedang sibuk memasukkan alat-alat tulis ke dalam tas. “Ng..., Stev,”
Stevia berhenti dari aktivitasnya dan menatapku bingung. “Kenapa?”
Sejenak aku ragu untuk mengatakannya. Tapi kalau tidak bilang, hadeh, aku bingung.
“Kenapa, Mon?”
Aku spontan tersadar dari lamunanku. “Oh! Anu...,”
“Apaan?” Stevia tampak menunggu.
“Aku boleh main ke rumahmu?”
Stevia mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Cuma itu? Kirain apa.” Tangannya kembali sibuk mengemasi tasnya.
“Jadi boleh?”
“Heem.” Dia lalu menatapku. “Aku malah seneng ada temennya.”
Mataku berbinar terang. Namun senyumku mendadak luntur saat mendengar kata-kata Stevia selanjutnya.
“Tapi jangan minta aku main ke rumahmu, ya?”
“Kok?”
“Aku takut, tau.” Stevia meringis kecil. “Ada hantunya, sih.”
Aku jadi ikutan meringis mendengarnya.
“Hantu apaan?”
“Si Casper itu, loh.”
Aku menganga. Ingin sekali aku menyemburkan tawa membahana. Casper lagi? Hem..., dia belum lihat saja bagaimana hantu itu, kalau sudah lihat, aku berani jamin dia pasti klepek-klepek.
“Ei, jadi main gak?”
“Jadi, dong!”
***
Aku duduk di kasur bersprei merah muda milik Stevia. Begitu sampai di rumahnya, dia langsung mengajakku ke kamarnya di lantai dua. Omong-omong rumah Stevia juga sama sepinya dengan rumahku. Hanya saja, ada dua orang ART dan tukang kebun di sini. Orang tua Stevia adalah pebisnis yang jarang sekali ada di rumah. Bahkan di hari libur sekalipun, begitu kata Stevia. Stevia datang dengan dua gelas es jeruk di tangan lalu menyodorkan salah satunya padaku.
“Rumahku sepi, ya?”
Kurasa itu bukan pertanyaan. Pernyataan lebih tepat saat dia sendiri sudah tahu bagaimana kondisi rumah ini. Aku hanya mengangguk. Kalau aku, jelas sudah terbiasa dengan keadaan sunyi di rumah.
“Ah ya, Mon. Kalo menurut kamu, rumahmu itu beneran ada hantunya gak sih?”
Aku mengedikkan bahu. “Auk, ya.” Es jeruk di tangan kembali kuminum. Aku tak berminat membahas hantu itu sekarang.
“Tapi kata, Agrav ada hantunya.”
Uhuk! Aku tersedak es jeruk. Kualihkan mata menatap Stevia yang balik menatap penasaran. “Kata siapa?”
Gadis itu justru memutar bola mata malas. “Kata Agrav, 'kan barusan aku ngomong.” Ada nada gemas dalam suaranya.
Aku hanya bisa menyeringai kikuk. “Gak tau juga.”
“Kalo misalnya emang bener Si Casper itu ada di sana, kamu takut gak?”
Takut? Itu sudah pasti! Tapi entah kenapa, lama-lama aku justru terbiasa dengan keberadaan hantu itu, yaah..., meski terkadang aku juga masih suka senam jantung saat dia muncul.
Kalau dilihat baik-baik, sebenarnya hantu bule itu tidak seram sama sekali. Mungkin hanya wajah pucatnya saja yang menjelaskan kalau dia memang hantu. Selebihnya, kurasa hantu itu malah menarik. Dia tampan dan ramah. Buktinya, dia tidak pernah membuat keributan di rumah ataupun membuat kami kelimpungan karena memindahkan barang-barang seenak jidat, misalnya. Hanya saja, dia memang menyebalkan karena sering menggangguku.
“Mon, liat, deh.” Stevia memperlihatkan ponselnya yang menyala. Keningku mengerut saat melihat gambar kartun yang terlihat di sana. Oh, rupanya komik online.
“Aku kasian, deh sama mereka.”
Alisku otomatis naik sebelah mendengar komentar Stevia tentang salah satu cerita dalam komik itu.
“Ya ampun, lagian kenapa, sih ceweknya suka sama hantu gitu? Kayak udah gak ada cowok hidup aja di bumi ini.”
“Hah?”
Stevia menatapku sendu. Dia baru saja menangisi ending dari komik yang memang kisahnya menyedihkan ini. “Coba bayangkan,” dia menarik nafas panjang lalu kembali melanjutkan. “LDR beda kota aja udah kelimpungan, apalagi LDR beda alam.”
Aku mengangguk kecil menyetujui. Menunggu komentar selanjutnya.
“Bisa-bisa dia gantung diri, terus malah nambahin populasi hantu.”
Aku mengangguk lagi. Agak setuju dengan komentar Stevia barusan. “Bukannya bagus, ya? Kan mereka jadi bisa ketemu di dunia yang sama.” Dan selesai kalimatku, Stevia langsung melotot tajam. Oke, sepertinya aku salah bicara.
“Kamu tuh ya,” Stevia menarik nafas panjang lalu berkacak pinggang. Astaga sepertinya aku akan dapat ceramah panjang siang ini. “Bunuh diri itu salah! Kalau arwahnya gak tenang dan malah gentayangan gimana? Kalau misalnya nanti..........,”
La la la dan seterusnya. Akhirnya aku menghabiskan siang ini dengan mendengarkan ceramah Stevia. Yah, tak apa. Setidaknya aku tak sendirian di rumah. Bisa saja hantu itu tiba-tiba muncul lagi. Aku jadi mendadak parno kalau sendirian di rumah, bahkan Mbah Google itu tidak bisa membantuku.
My Friendly Ghost

KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orangtuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo, apalagi memiliki kemampuan semacam sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat 'dia', hant...