🍁 Adegan Kesebelas

816 137 69
                                    

Sering kali seseorang terlalu menaruh harapan tinggi terhadap sesuatu yang belum pasti, lalu tak jarang dia dijatuhkan sejatuh-jatuhnya oleh ekspetasi yang dibangunnya sendiri.

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada kenyataan yang menyakitkan.

***


Rasanya sangat aneh, berdebar-debar, adrenalinnya terpacu begitu kuat hanya dengan melihat punggung orang yang menjadi obsesinya beberapa tahun belakangan ini. Rasanya masih seperti mimpi.

Padahal awalnya dia mengira tidak akan pernah lagi bertemu dengannya, tapi sekarang ... malam ini ... dia tiba-tiba saja malah berdiri di depannya, namun sayangnya sosok yang dirindukannya itu justru seakan-akan tak mengenalinya. Apakah ini benar-benar bukan mimpi?

Padahal beberapa tahun sebelumnya, bukankah keduanya cukup memiliki hubungan dekat? Atau kah itu hanya sekadar asumsinya semata?

“Yedam dari mana saja kau —Wa-Wang Zihao?” Keita hampir jantungan ketika melihat orang yang membuka pintu kamar yang ditempatinya ternyata bukan suaminya melainkan Zihao. Seseorang yang dulu — bahkan sekarang pun masih dan akan selalu — pernah menjadi mimpi buruknya.

Mengabaikan bermacam pertanyaan yang berseliweran dikepalanya dan wajah penuh tanda tanya Keita, Wang Zihao mengunci pintu kamar tersebut sebelum akhirnya berjalan menghampiri Keita dengan seulas senyum.

“Hai, lama tak jumpa, aku merindukanmu.” Ketika mengatakannya, rasanya ... seperti beban yang semula berjubel dipundak Zihao semua terangkat, meletus menjadi kelopak-kelopak bunga harum.

Ketika dulu akhirnya keduanya tak pernah bertemu lagi, ada seseorang yang mati-matian bersembunyi dari seseorang, sementara yang lainnya mati-matian mencari orang tersebut.

Keita segera berdiri dari tempatnya, mungkin jika saat itu dia bukan sedang di dalam ruangan dia akan segera lari menjauh sejauh mungkin dari hadapan Zihao, sejak hari di mana Zihao tahu bahwa dia mengandung buah hatinya, Keita sama sekali tak pernah siap untuk bertatap muka kembali dengan laki-laki berdarah Tionghoa tersebut.

Malam itu adalah takdir yang tidak pernah dia harapan akan tiba, lagipula siapa yang menyangka bahwa calon kakak ipar suaminya saat ini adalah laki-laki yang dulu menghamilinya?!

Keita tidak tahu harus merespons apa ketika Zihao menyapanya dengan senyum seperti itu, yang dia rasakan hanyalah rasa takut, terkejut, dan bingung.

“Keita, bagaimana kabarmu?” Entah sejak kapan, Zihao sudah berdiri begitu dekat dengan Keita.

Tangan kanan Zihao hendak menyentuh dagu Keita namun dengan cepat laki-laki tepis. Alih-alih tersinggung Zihao justru tertawa pelan.

“Masih manis seperti dulu,” komentarnya.

Keita mundur selangkah. “Mau apa ke sini?” tanyanya to the poin setelah mengumpulkan keberanian.

Senyum diwajah Zihao hilang, dia menatap Keita begitu lama sebelum menjawab pertanyaan sederhana tersebut. “Aku merindukanmu,” dia mengulangi lagi kata-katanya, terdengar sendu, sampai Keita tidak berani menjawab. “Keita aku —”

“Wang Zihao, lebih baik kamu pergi sebelum ada seseorang yang masuk ke kamar ini dan berasumsi yang tidak-tidak jika melihat kita,” usir Keita tegas.

Senyum diwajah Zihao kembali, namun kali ini terlihat dipaksakan. “Apa tidak ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan setelah bertemu denganku kembali?” katanya sambil agak menundukkan kepala. “Aku sudah lama menunggumu, aku, aku mencari mu ke mana-mana.”

Keita tahu apa yang Zihao maksud, tapi dia enggan—tidak mau melakukannya. “Aku tidak mengerti apa maksudmu, Zihao lebih baik kamu cepat pergi sebelum Yedam da—”

LAST SCENE | Wang Zihao x KeitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang