Tidak semua orang percaya adanya karma, sementara sebagian orang lainnya mengantungkan dendamnya pada karma.
***
Hidup itu tidak ada yang benar-benar mudah, tidak ada juga yang benar-benar sulit. Tergantung ... siapa orang-orang yang ada di belakangmu? Orang-orang yang tetap mendukungmu dalam keadaan tersulitmu, orang-orang yang selalu ada untukmu sekali pun kamu sendiri sebenarnya sudah ingin menyerah.
Sosok yang bagai malaikat tak bersayap seperti itu ... tidak semua orang beruntung memilikinya.
"Aku hanya pernah melakukannya denganmu," suara itu keluar begitu lirih, terendam dalam hangat pelukan yang mendekapnya. "Orang tuaku tak tahu siapa ayah dari janin yang aku kandung karena aku takut, karena aku tidak memiliki keberanian untuk memberitahu mereka,” ungkap Keita. Zihao mendengarkannya dengan baik.
Zihao mengelus pundak Keita pelan, berusaha memahami posisi laki-laki itu meski sebenarnya dia sendiri juga masih bingung dengan keputusan selanjutnya yang harus dia ambil. Apa Zihao harus menikahi Keita? Tapi mereka berdua masih sekolah? Lalu bagaimana dengan reaksi keluarga besarnya nanti? Ini adalah aib, dia pasti akan dihukum.
Kepala Zihao mendadak pusing.
“Kenapa tidak berkata jujur aja? Kalau bicara jujur kan kau bisa menuntut ku dan mendapatkan uang ganti rugi?” tanya Zihao, “kalau begini sih cuma dapat sengsaranya aja.”
Keita mendongak. “Memangnya kau akan membiarkan itu terjadi? Seseorang menginjak-injak harga dirimu dan keluargamu dengan berita yang aku bawa?”
Zihao mendadak berpikir, lalu dia menggeleng sambil tersenyum kecut setelah sadar perkataan Keita ada benarnya.
Keita mendengus. “Lagi pula orang tuaku sudah merencanakan masa depan untuk anak ini agar dewasa nanti dia tidak digunjing oleh teman-temannya karena memiliki ibu seorang laki-laki dan tidak memiliki ayah, karena aku yang ingin mempertahankannya begitu egois."
Zihao menahan napas. "Bukan, bukan itu maksudku." Pelukan itu semakin mengerat, Zihao sedang berpikir keras. "Kau, Terazono Keita, sama sekali tidak egois kok, apa yang kau lakukan sudah benar. Sudah benar." Zihao berusaha menyakinkan dirinya sendiri.
“Wang Zihao,” panggil Keita.
“Iya?” jawab Zihao.
“Kenapa tiba-tiba kau datang mencariku begini?” tanyanya, agak sedikit mengabaikan kerumunan di depannya yang sedang menonton mereka. “Rasanya aneh, biasanya kan kau kasar padaku?”
Zihao mengerutkan dahinya. “Aku tidak cuma kasar padamu, kok. Sama yang lain juga sering kasar, kalau tidak percaya tanya teman-temanku.”
Keita terbatuk kecil karena debu. “Aku benci teman-temanmu,” katanya, “dan kau juga.”
Zihao meringis. “Bukan masalah, benci aku aja kalau memang sebenci itu.”
Ibu dan ayah Keita datang dengan motor mereka, terlihat syok dengan keadaan rumah mereka yang rusak parah. Yang lebih mengejutkan lagi adalah keberadaan laki-laki asing dalam penglihatan mereka —yang adalah Zihao —yang sedang memeluk putra mereka, di depan para tetangga di mana mereka selama ini menyembunyikan keberadaan Keita, dengan keadaan fisik Keita yang tak bisa dikatakan normal sekarang.
Keita diam, menghirup wangi tubuh Zihao diam-diam. Nyaman.
"Jadi, janin yang sedang kau kandung itu ... gara-gara ulahku, ya, 'kan?" Zihao benar-benar ingin memastikan kalimat itu keluar langsung dari mulut Keita. Sejak tadi dia menunggu.
Awalnya Keita bingung apalagi kosakata yang Zihao gunakan agak kurang ajar, tapi akhirnya sambil memukul dada Zihao pelan kalimat itu keluar dari mulutnya, "I-iya."
Meski diselimuti keraguan, Keita akhirnya lebih memilih kejujuran. Zihao berhak tahu tentang anaknya, karena anaknya kelak belum tentu tahu tentang ayahnya, jadi setidaknya Zihao tahu tentang darah dagingnya.
Entah bagaimana, dunia Zihao seakan runtuh, dia mendadak pusing dengan tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Padahal sebelumnya, bukankah ini yang dia inginkan? Kejujuran Keita?
"Kenapa ketika janin itu masih kecil, kau tidak jujur dulu padaku?" tuntut Zihao, suaranya agak sedikit mengeras dibandingkan tadi.
Tubuh Keita menegang, jantungnya berdetak kencang, seakan apa yang dia takutkan akan terjadi setelah Zihao mengetahui tentang keberadaan janin itu. Membuatnya tanpa sadar mendorong dada Zihao agar menjauh darinya. "Apa kau menyuruhku untuk menggugurkannya, Zihao?" Suaranya bergetar takut.
Zihao awalnya kaget, tapi akhirnya dia menjawab yang menurutnya realitas, "Usia segini mana bisa digugurkan?"
Itu hanya bercanda ketika Keita justru menanggapinya sebaliknya.
Zihao mengelus kepala Keita lagi. "Aku cuma bercanda. Dengar ya, mau dia masih seumur jagung atau sudah tua sekali pun, aku tak akan memintamu membunuhnya. Karena entah sejak kapan perasaan itu muncul ...,” Zihao mengantung kata-katanya, berpikir apa perasaannya sudah cukup jelas untuk diungkapkan? Apa dia juga sudah siap menanggung semua risikonya nanti? “Aku ... aku mungkin, sudah jatuh terperosok dalam pesonamu."
Sejak kejadian minumannya tumpah mengenai pakaian Zihao hingga menjadi bulan-bulanan bullying laki-laki itu, Keita tidak pernah berpikir laki-laki itu justru akan jatuh cinta padanya.
“Keita, ternyata aku jatuh cinta padamu.” Zihao itu cuma anak sekolahan yang emosinya masih sama labilnya dengan Keita. “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kenapa bertanya padaku?” Keita hampir menangis.
“Aku tidak boleh membiarkanmu menanggung semuanya sendirian, 'kan?” Zihao mengusap air mata Keita. “Kita kan melakukannya bersama-sama, masa hanya kamu yang menanggung bebannya?”
Keita hampir mencubit pinggang Zihao ketika tiba-tiba justru ditarik oleh seseorang hingga pelukan keduanya terlepas.
Keita melihat Zihao tersungkur di lantai dengan ayahnya yang berdiri garang, sementara itu ibu Keita sudah lebih dulu menarik Keita agar masuk ke dalam kamarnya, sama sekali tidak membiarkan putranya itu membela diri atas apa yang baru saja terjadi.
"Siapa kau?" tegas ayah Keita sambil menyeret Zihao mendekati mobilnya. "Mobil brengsek ini milikmu? Kau yang telah menghancurkan rumahku?! Berani-beraninya!"
Zihao memberontak ketika pandangannya sudah tak mendapati Keita di mana pun. "Tolong, di mana wanita tadi membawa Keita pergi?"
"Aku tidak tahu kau siapa dan untuk apa kau menemui anakku, tapi ku bilang sekarang kau pergi dari rumahku!" usir laki-laki berkepala empat itu dengan mata melotot.
Zihao berdiri, dia merapikan bajunya yang kusut, memperhatikan ke sekelilingnya lalu mengangguk pelan, sekarang dia mengerti dengan apa yang terjadi. Orang ini adalah orang tua Keita. Mereka pasti syok melihat anak dan rumahnya seperti habis dijarah.
“Anda calon mertua ku, ya?” kata Zihao sambil menilai penampilan ayah Keita.
Laki-laki itu tidak terima dengan sikap kurang ajar Zihao. “Apa barusan kau bilang?! Bicaralah dengan sopan kepada orang yang lebih tua!”
Zihao mengembuskan napas pelan. "Aku ke sini karena ingin menikahi anak Anda," ucapnya santai. "Aku teman sekolah Keita, ayah dari anak yang dikandung putra Anda itu. Dan aku kaya."
🍁🍁🍁
Notes. Satu kata untuk chapter ini ...?
05.04.23 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST SCENE | Wang Zihao x Keita
FanfictionWarning: bxb 18+, m-preg (?) Tag: Boysplanet, Ciipher *** Bagai bintang di langit yang tak kan pernah bisa diraih, penyesalan selalu datang diakhir. Begitulah kira-kira penyesalan seorang pria bernama Wang Zihao yang kini hanya dapat memandang Teraz...