“Tentu saja aku bahagia.”
Meski menyedihkan, tapi Wang Zihao tahu bahwa Keita pasti akan menjawab seperti itu.
“Aku selalu dikelilingi orang-orang yang aku cintai dan mencinta ku, bagaimana mungkin aku tidak bahagia?”
Kita bisa menipu orang lain, tapi tidak bisa menipu diri sendiri.
“Kalau bersamaku bagaimana? Apa kamu juga akan merasa bahagia?”
Sekarang Keita merasa seperti, Zihao lebih baik menanyakan tentang anak mereka yang saat ini tinggal di Jepang daripada menanyakan pertanyaan membingungkan seperti sekarang ini.
Padahal jawabannya sudah jelas, Keita mungkin tidak akan bahagia jika hidup bersama sifat posesif dan seenaknya milik Zihao ini, tapi kenapa dia justru berat untuk menjawab? Tatapan yang sekarang Keita lihat itu membuatnya tidak tega untuk berkata jujur, padahal seharusnya dia bisa dengan mudah membencinya, 'kan?
Keita tertawa pelan. “Pertanyaan macam apa ini? Cobalah waras sedikit.”
Zihao menyukai senyum itu. “Kamu tinggal menjawabnya saja, iya atau tidak?”
“Kamu harusnya sudah tahu apa jawabanku,” desak Keita.
Zihao menggeleng pelan. “Aku sudah memikirkannya selama bertahun-tahun,” jawabnya, “aku ... tidak tahu jawabannya.”
Bohong. Zihao tahu pasti apa jawabannya —Keita tidak akan bahagia bersamanya sekali pun dia begitu mencintainya dan rela memberikan seisi dunia untuknya— tapi dia tidak ingin mengakuinya, tidak pernah ingin.
Karena Zihao berkata demikian, entah kenapa Keita malah membalas, “Aku mencintai Bang Yedam, kami saling mencintai.”
“Aku juga mencintaimu,” ucap Zihao. Rasanya mungkin seperti gudang buku berisikan surat-surat cinta yang kemudian dilalap api sampai tinggal tersisa debu.
“Aku tidak mencintaimu.” Terazono Keita tidak pernah berani memberikan hatinya kepada laki-laki yang saat ini berada di atasnya itu, lagipula cuma orang bodoh yang mencintai orang yang sudah menyakitinya.
Tatapan mata Zihao seperti tengah menerawang, kosong. “Padahal kalau kita saling mencintai kita pasti akan hidup bahagia selamanya.”
“Dasar bodoh,” maki Keita. Dia tidak pernah ingin membayangkan hal seperti itu dengan Zihao.
Zihao tersenyum sekilas, dia menyentuh pipi Keita dengan satu tangannya. “Makasih pujiannya.”
“Otakmu memang benar-benar sudah rusak,” tambah Keita dongkol.
“Oh, ya?”
Berikutnya Keita benar-benar menyesali telah memaki Zihao dengan posisi keduanya saat ini karena Zihao tiba-tiba saja memegang rahangnya dan mencium bibirnya secara paksa.
“Wang—Zi—hmpphh!”
Zihao tahu Keita pasti akan menolak, tapi dia tidak peduli. Kedua tangan Keita terus memukuli dan mencubit tubuhnya, kedua kakinya juga tidak bisa diam dan terus memberontak dan menolak cumbuannya, jadi lutut kiri Zihao menekan sebelah paha Keita sementara satu tangannya mencengkram kedua pergelangan Keita sekaligus sementara satu tangannya yang lain memegang ragang Keita agar tidak bisa menolak ciumannya.
Tiba-tiba pikiran Keita blank, apakah kejadian bertahun-tahun silam di mana Zihao memperkosanya akan kembali terulang? Hanya karena berhasil menghilang dari jangkauan Zihao selama beberapa tahun, dia pikir saat-saat menyedihkan seperti ini tidak akan pernah kembali terulang.
Zihao mengigit pelan bibir bawah Keita sebelum ciumannya perlahan turun ke leher mulus laki-laki itu.
“Zihao! Lepas—ah! Menjauh dari hadapanku!”
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST SCENE | Wang Zihao x Keita
FanfictionWarning: bxb 18+, m-preg (?) Tag: Boysplanet, Ciipher *** Bagai bintang di langit yang tak kan pernah bisa diraih, penyesalan selalu datang diakhir. Begitulah kira-kira penyesalan seorang pria bernama Wang Zihao yang kini hanya dapat memandang Teraz...