8. 00.00

37 34 6
                                    

Pagi itu matahari menyinari Jakarta seperti biasanya. Samuel hari ini bepergian menggunakan motornya. Hal itu membuat dirinya tidak dapat pergi bersama Vina, gadis tunadaksa tersebut.

Rasa gelisah, kesal, amarah dan lain-lain yang tidak dapat diungkapkannya mulai menyelimuti hatinya.

Boleh gak si gue sebagai cowo ngeluh? apalagi sama cewe yang notabenenya gue yang lebih sempurna dari dia.
Samuel menghela nafasnya dalam-dalam lalu termenung sejenak. Bukan nasib yang ia ratapi melainkan Vina.

Samuel meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju sekolah. Macet di Jakarta sudah menjadi hal lumrah bagi dirinya. Ia menggunakan motor beatnya. Matanya tak henti mencari celah dari antara ratusan mobil yang memiliki tujuan berbeda darinya.

Samuel tiba di parkiran sekolah. Dia menyaksikan anggota genknya yang sedang bercanda gurau di parkiran tersebut. Tidak hanya bercanda gurau, mereka juga kerap kali menggoda siswi ataupun guru muda. Bukan ajaran Samuel melainkan ajaran Aaron.

Sudah menjadi tradisi Bramsel gank ketika bertemu mereka memiliki cara salaman yang berbeda. Entah siapa yang duluan menciptakan itu yang pasti bukan Samuel. Bukan urusannya untuk aktivitas yang dilakukan anak sd pada umumnya.

"Ehemmm ... tumben bawa motor nih," cibir Fajar.

Samuel turun dari motornya dan melepas jacket jeans yang ia kenakan. Lalu ia menempatkan helmnya di kaca spionnya.

Mendengar perkataan Fajar yang seperti menghina, ia ingin sekali menabok orang itu sampai-sampai ia ikut koma. Samuel mengernyitkan keningnya seakan tidak senang.

"Apa lo? gak seneng?" Samuel melirik Fajar dengan tajam. Hinaan itu dijawabnya dengan ketus.

Bramsel gank biasanya takut dengan lirikan maut Samuel. Bukan takut dihajar tapi takut kalau-kalau ketua mereka tersebut memiliki kelainan sexual.

Mereka tertawa bersama. Melihat senyuman yang terukir di bibir mereka sudah cukup membuat Samuel merasa terhibur. Untuk apa ia memiliki rumah layaknya neraka jika ia sudah memiliki surganya bersama teman-teman yang ia cintai? Samuel hanya menggelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di bibirnya.

Mereka berlima berjalan menelusuri koridor sekolah dengan wajah yang angkuh. Bramsel sangat disegani disekolah bahkan para guru tidak berani menyinggung genk tersebut.

Dari kejauhan, Samuel tak sengaja melihat Vina di kursi koridor yang tengah membaca buku novel yang baru saja Samuel hadiahkan untuknya semalam.

Duh senyumannya ... pake pelet apa sih lo buat hati gue cenat-cenut
Risaunya dalam hati. Perasaan salting Samuel tidak bisa hilang dalam hatinya yang berkecamuk. Rasanya dunia berhenti sejenak dari masalah yang menimpa dirinya.

"Pagi, cantiknya El. Pasti kamu sarapannya gula. Soalnya di bibirmu ada gula," sapa Samuel seraya tertawa kecil.

Vina terkejut, bagaimana ia bisa tahu dengan makanan kesukaannya? Bukan gula tapi makanan yang mengandung gula. Ia sempat memaut sekitaran bibirnya dengan tangan untuk mencari 'gula' yang dimaksud Samuel.

"Bukan, bukan gula beneran. Tapi senyum Vina yang manis. Kayak jadi candu buat El." Samuel melengkungkan bibirnya membentuk senyuman. Ia mengelus kepala yang berambut halus tersebut dengan penuh kasih sayang.

Vina tersipu, pipinya memerah. Seketika bibirnya bergetar. Matanya membelalak tanpa menatap Samuel sedikitpun.

"Memangnya Vina cantik?" Vina melirik Samuel dengan ekspresi wajahnya yang menegang.

Seketika wajah Samuel menjadi kosong. Tampak secara jelas ekspresi wajah pria itu menegang. Baru kali ini terucap pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Laut dan RahasianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang