Saat pulang sekolah, Samuel terlebih dahulu menjemput Vina di depan kelasnya. Sebetulnya Samuel mengkhawatirkan Vina yang belakangan ini terlihat melahirkan perasaan sedih. Dirinya ingin bertanya namun tidak ingin mengusik gadis tersebut lebih dalam lagi.
"Vina." Samuel menghela tangan kanan Vina.
Gadis itu menoleh sejenak dan tersenyum datar, "Kali ini pulang bareng El ya," ajak Samuel. Vina mengangguk setuju dan mereka berdua berjalan ke area lapang yang disebut parkiran.
Secara mendadak, Dhio mendepak Samuel dari belakang. Samuel sontak terhempas ke belakang. Dadanya merasa sakit tak karuan akibat tendangan Dhio secara mendadak dan riwayat penyakitnya. Samuel berusaha untuk bangun namun Dhio meninju pelipisnya dengan keras.
"Jangan usik pacar gue," titah Dhio.
Samuel memicingkan matanya sejenak. Ia merasakan nyeri dan memar di wajahnya. Dadanya terasa nyeri saat ia mencoba menyentuhnya. Ia menyipitkan matanya untuk menangkap keberadaan Vina.
Dhio melangkahkan kakinya dengan cepat menuju Vina yang berjalan mundur karena takut. Wajahnya tampak membeku dengan tangan yang menutupi mulutnya.
Tidak tinggal diam, Samuel ikut berlari dengan dadanya yang semakin nyeri dan wajahnya yang memar. Tidak ada jalan lain, ia harus bertarung. Samuel mengepalkan tangannya. Tinjunya mendarat tepat di kepala bagian belakang Dhio.
"Pacar lo? Najis," balas Samuel dengan sisipan tendangan di pinggang Dhio. Dhio terkulai lemas tak berdaya.
Samuel menggendong Vina dengan gaya bridal masuk ke dalam mobilnya. Ia kemudian menjalankan mobilnya pergi dari sana. Memar di wajah Samuel dia pegang dan sesekali ia mendesah kesakitan.
"El gapapa? Kenapa El sama Dhio tadi berantem?" tanya Vina yang masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
Samuel mendesah keras mendapati bibirnya terdapat lebam. Vina kemudian meraih kotak p3k dalam tasnya. Ia membalut luka memar di sekujur tubuh Samuel.
"Awww," Samuel mendesah kesakitan. Ia memicingkan matanya untuk menikmati setiap kalut goresan tangan Vina.
Vina tersenyum kecil. Matanya menyipit melihat laki-laki itu seperti bayi, "Sudah kelar," pinta Vina melepaskan jari-jemarinya dari wajah Samuel.
"Yahh masih kurang," tutur Samuel.
"Kan udah semua Vina balut luka El. Memangnya kurang apa lagi?" tanya Vina seraya mencubit hidung pria itu.
"Soalnya tangan kamu halus banget, El jadi candu deh," goda Samuel.
Vina tersipu. Wajahnya memerah tidak tahan dengan godaan Samuel. Samuel melingkarkan senyuman di wajahnya.
"Vina tadi kenapa nangis? Coba cerita sama El," titah Samuel.
Vina membelalak. Nafasnya tidak teratur sangat cepat. "Emm ceritanya panjang, El," jawab Vina.
"Sepanjang apapun ceritanya, kalau Vina yang cerita bakalan El jabani." Samuel tersenyum miring.
Vina hanya termenung memandangi jalanan depan yang bisa ia pandangi. Pertanyaan Samuel baru saja membuatnya harus berpikir keras untuk menjawabnya. Ia menimbang-nimbang waktu yang menyelang dua saat haruskah dia lurus hati atau berdusta.
Lantaran tidak ingin membuat Vina terus berpikir, Samuel menentukan untuk tidak terlibat lebih jauh lagi. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Vina.
"Na, udah sampai nih." Samuel menyadarkan Vina dari lamunannya yang memang sepanjang perjalanan Vina tampak terus melamun.
Vina sontak membuyarkan lamunannya. Ia sedikit memiringkan kepalanya dan tersentak, "Sorry, Vina duluan ya," pamit Vina dengan refleks. Ia lalu beranjak dari mobil Samuel menuju rumahnya.
"Hati-hati!!!" teriak Samuel dari dalam mobilnya.
****
Sore itu Samuel kembali ke markas Bramsel tempat dimana hal yang dia sebut 'rumah'. Samuel menekukkan lehernya ke kiri dan ke kanan seraya memandangi halaman Bramsel sejenak. Ia kemudian menghela nafas panjang lalu masuk ke dalamnya.
"Woi," teriak Samuel mengejutkan Aaron yang duduk membelakanginya.
Aaron tersentak. Ia memutar matanya ke arah Samuel yang telah menumpukan pantatnya di bangku sebelah Aaron. Aaron mengepalkan tangannya. Hasrat ingin memukuli Samuel membara. Kalau saja tidak ada anggota Bramsel lainnya, mungkin Samuel sudah habis ditangan Aaron.
"Ada yang mau gue omongin sama lo," bisik Samuel di telinga Aaron.
"Apaan?" Aaron menoleh sedikit ke arah Samuel dan memicingkan matanya.
Samuel mendengus. Ia kemudian melangkahkan kakinya ke belakang hendak meraih pintu keluar. Tangan kiri dan kanannya ia sisipkan di kantong celana SMA yang masih belum ia ganti. Aaron mengikutinya dari belakang sembari memperhatikan langkah Samuel.
"Gue mau lo nemeni gue ke rumah sakit. Dokter bilang gue harus Drainase paru rutin. Kalo gak, kecil kemungkinan gue bisa sembuh. Yaa yang gue denger sih udah stadium akhir," ungkap Samuel. Bola matanya menatap langit-langit yang dihiasi awan yang hendak berganti malam.
Aaron menahan air matanya untuk menangis. Mulutnya terkatup tidak dapat berkata banyak. Kata-kata Samuel barusan seperti pedang yang keluar dari mulutnya. Ia membeku menatap Samuel dengan mata yang melebar.
Samuel kemudian berputar haluan ke arah Aaron. Ia tersenyum simpul lalu menjabat tangan pria yang sedang tertegun di depannya. "Lo mau kan?" tanya Samuel. Aaron masih belum menjawab sepatah kata apapun. Ia hanya terus memandangi tempat dimana pertama kali Samuel berdiri.
"Lo gabisa nipu semua orang pakai topeng lo. Udah saatnya lo buka semua topeng yang nutupi wajah lo. Topeng lo terlalu tebal buat di tebak oleh orang. Gue gapercaya orang sebaik lo---"
"Udah, gue ikhlas. Gue lahir bukan gue yang minta artinya gue ga harus bahagia di dunia kan? Orang lain lebih butuh kebahagiaan dan tugas gue buat memenuhi kebahagiaan orang itu," potong Samuel cepat.
Aaron mengatupkan bibirnya. Rasanya ingin sekali dia menampar Samuel saat itu juga. Orang waras seperti Aaron tidak akan pernah berpikir demikian. Setiap orang pasti ingin bahagia.
"Tapi, lo itu manusia bukan Tuhan. Ga semua orang harus lo buat bahagia tapi diri lo juga. Lo terlalu lelah buat begituan udah kelihatan dari mata lo," titah Aaron.
Samuel tersenyum simpul lagi. Lagi dan lagi yang dikatakan Aaron adalah benar. Apa artinya bahagia jika Tuhan gapernah ngasih gue bahagia? Mending gue bahagiain orang lain dibanding diri gue yang buta arti bahagia pikir Samuel. Samuel kemudian mendekat dengan Aaron hingga perbandingan dari kedua mereka hanya sekitar 2 cm. Samuel kemudian menunduk dan meraba pelipis Aaron. Samuel menempatkan wajahnya di bahu Aaron. Air matanya untuk kesekian kali menetes membasahi pipinya.
"Gue bangga punya temen kayak lo," ungkap Samuel yang masih mendekap di bahu Aaron.
Aaron yang masih berdiri dengan tegak tidak kuat menahan air mata yang rasanya ingin tumpah saat itu juga. Tanpa ekspresi apapun, Aaron menumpahkan air matanya dan membiarkan pria itu menangis di bahunya.
"Gue senang lo ngerasa begitu. Gue janji bakalan selalu nemenin lo," ucap Aaron.
Samuel mengembalikan wajahnya dari bahu Aaron dan berdiri tegak. Ia kemudian mengusap air matanya dan tertawa kecil. Ia menutupi mulutnya dan bola matanya terbuka lebar.
"Pfffttt....Cowo kok nangis," ejek Samuel seraya menunjuk-nunjuk Aaron dengan jari telunjuknya.
Wajah Aaron kemudian memerah. Ia menonjolkan dagunya dan mengerutkan dahinya. Alisnya bertautan dan tersentak secara bersamaan. Ia kemudian mengangkat kaki kanannya dan mengambil sendal yang ia kenakan.
"Woi, lo duluan anj*ng yang nangis dasar banc*." Aaron kemudian melemparkan sendalnya ke arah Samuel. Samuel dengan cepat menghindari lemparan yang hendak mengenai dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut dan Rahasianya
Teen FictionTentang aku, kamu dan hujan kala itu. Aku adalah senja dan kamu adalah fajar yang tidak akan mungkin dapat aku raih. Siapa sangka ternyata Dhio mahendra harus mengalami serangkaian perjalanan hidup yang membuatnya harus merelakan seumur hidupnya unt...