Jam istirahat menggema luas di telinga para siswa/i. Karena merasa sangat tidak enak hati, Dhio menghampiri Davina dan memberikannya sebotol minuman. Ia mengulurkan tangannya di hadapan Davina. Sejenak ia tersipu namun ia berusaha untuk menjaga nilai dirinya.
"Thanks." Davina mengambil minuman yang diberikan Dhio.
Dhio tanpa basa-basi langsung pergi meninggalkan Davina sendirian yang sedang membaca sebuah novel. Sukar rasanya kakinya melangkah dari hadapan Davina. Seperti ada yang ingin di sampaikan tapi Dhio sendiri tidak tahu apa.
Setelah punggung Dhio menghilang dari kelas itu, Clarissa tiba-tiba muncul di hadapan Davina dengan wajah yang menyeringai. Clarissa memeluk kedua pinggangnya dengan dilingkari oleh kedua tangannya yang menopang dadanya. Wajahnya tampak seperti wajah tanpa ekspresi.
"Lo sama Dhio itu hubungannya apa sih?" tanya Clarissa dengan lantang pada Davina.
Davina sekilas memutarkan bola matanya ke arah Clarissa. Alisnya sedikit naik lalu senyumnya simpul seakan memberi jawaban pada Clarissa.
"Gak tau," jawabnya kecil.
Clarissa merasa geram. Ekspresinya masam dengan bibirnya yang rapat. Wajahnya memerah. Tangan kanannya dikepal kebawah seperti siap untuk memukul saat itu juga.
"Emangnya Dhio mau sama orang kek lo?" sindir Clarissa yang sudah berada di puncak emosinya.
Senyum di bibir Davina seketika menghilang secara perlahan. Ia merasakan kembali pembullyan yang sudah ia lupakan bertahun-tahun lalu. Hatinya menangis menjadi kelabu namun itulah kenyataannya. Ia ingin marah tapi itu adalah fakta yang setiap orang tau. Davina memilih untuk tidak menjawab dan pergi dari sana. Saat ia baru melangkahkan kakinya, Clarissa menarik tangannya.
"Jawab woi cacat," bentak Clarissa.
Davina meringis. Ia menahan air matanya yang ingin tumpah. Ia menoleh ke belakang tempat dimana Clarissa berada. Bibirnya terasa gemetar ingin sekali menumpahkan air matanya saat itu juga.
"Lepasin tangan Vina," suruh Davina.
Clarissa tertawa lebar, "Orang cacat kek lo harusnya sadar diri. Gausah deketin orang yang kastanya kek Dhio. Dia itu cocoknya cuma sama gue, gak sama orang kek lo!" bentak Clarissa.
Air mata yang sedari tadi ditahan oleh Davina tumpah perlahan membasahi pipinya. Ia menggeliat melepaskan cengkraman tangan Clarissa dan melangkahkan kaki pergi dari sana. Ia membiarkan air matanya membasahi pipinya. Ia terisak, tidak tahu bagaimana perasaannya yang labil.
****
Samuel mengumpulkan satu persatu buku latihan yang disuruh pak Mukti ke kelas-kelas lain. Awalnya sulit baginya untuk meminta namun Samuel yang sudah tersulut emosi membalikkan meja di salah satu kelas sebagai tanda untuk tidak main-main padanya. Seketika semua orang menjadi tunduk dan dalam waktu yang tidak lama semua buku sudah terkumpul.
"Tinggal satu kelas lagi nih." Samuel mendengus kelelahan. Ia berjalan ke kelas Davina.
Mata Samuel berkelana mencari dimana gadis itu berada. Namun, ia tidak menemukannya ada dimana. Bahkan, dia tidak mendapati Dhio disana. Samuel merasa khawatir dan bersalah atas kejadian tadi pagi.
Selesai mengumpulkan semua buku latihan yang diperintah oleh pak Mukti, ia meletakkannya di atas meja pak Mukti yang terletak di ruang guru. Beres dengan itu semua, ia ingin mencari Davina namun bel selesai istirahat mengusiknya.
Aelah bangke!
Sentak Samuel dalam hati. Ia memilih untuk menanyakannya nanti ketika pulang sekolah. Samuel melangkahkan kakinya pergi kembali ke kelasnya.Matanya menangkap sosok perempuan yang sedang sendirian di bangku koridor kelasnya. Gadis itu adalah Vina yang tampak murung. Tak seperti biasanya gadis itu terlihat murung. Samuel menghampiri Vina dan duduk di sebelahnya.
"Kenapa cantik?" tanya Samuel yang sudah tiba-tiba muncul di hadapan Vina.
Vina secara otomatis langsung mengusap air matanya yang sedari tadi ia tuang. Ia kemudian tersenyum dengan bibir terkatup.
"Vina gapapa. Tadi cuma banyak debu yang masuk ke mata Vina," jawab Vina berusaha menutupi kesedihannya.
"Kalau Vina bohong berarti Vina ga sayang sama bung Jay," seru Samuel tanpa memberikan jeda gadis itu berbicara.
Vina tidak ingin menangis lagi. Namun, ia merasa masih ada orang yang peduli dengan dirinya. Tapi tetap saja sakit rasanya jika bertemu dengan orang seperti Clarissa. Dia memicingkan matanya sejenak lalu menghela nafasnya dalam-dalam.
"Senyum semanis cantiknya El bisa nangis juga ya," sindir Samuel seraya tertawa kecil.
Air mata Vina tertumpah saat itu juga. Ia menatap ke atas langit-langit dengan wajahnya yang memerah. Bibir bawahnya menonjol keluar tapi masih terkatup berusaha untuk tetap tenang.
"Kan nangis jadi hal yang biasa untuk orang kan?" jawab Vina dalam bentuk pertanyaan.
Samuel tersenyum simpul. Matanya menyipit ikut menatap ke arah langit-langit koridor, "El gak tanya itu, tapi El nanya alasan Vina nangis," tutur Samuel.
Vina melirik ke arah Samuel sejenak. Samuel kemudian mengusap air mata Vina yang sedari tadi sudah tumpah. Ia kemudian mencubit pipinya dengan gemas tak ingin gadis itu bersedih.
"Kalau gamau bilang sama El gapapa. El yakin Vina orang yang lebih kuat dari El. Vina boleh ngeluh tapi jangan menyalahkan Tuhan buat apa yang terjadi. Semuanya punya jawaban atas apa yang Vina lakukan dan kehendaki," jawab samuel.
Vina terus menatap Samuel. Senyum simpul Samuel tak pernah menghilang dari bibirnya. Vina merasa tenang kali ini ada sosok yang peduli dengan dirinya.
"Janji ya." Samuel mengacungkan jari kelingkingnya.
"Untuk apa?" tanya Vina.
Samuel tertawa kecil, "Janji untuk ga nyerah sama keadaan dan tetap bertahan untuk hal yang kecil." Samuel tersenyum simpul.
"Untuk hal kecil? Contohnya?" tanya Vina.
Mata Samuel berfokus pada mata Vina tanpa berkedip. Ia mendekatkan wajahnya ke hadapan Vina lalu berbisik, "Contohnya El yang selalu ada di sisi Vina." Samuel kemudian menjauhkan wajahnya lagi dan tertawa lebar.
Vina tersenyum kembali. Ia mengusap air matanya dan mencoba melupakan apa yang telah terjadi. Kemudian, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke kelas.
Dari balik koridor, Dhio mengamati mereka berdua secara diam-diam. Saat Davina lewat di depannya, ia mencengkram tangan gadis tersebut.
"Ngapain lo sama dia?" tanya Dhio dengan wajah cemberut.
Davina mengerutkan keningnya. Ia melirik ke arah cengkraman tangan Dhio sejenak, "Salah?" tanya nya datar.
Dhio tersenyum lebar. Matanya ikut melebar dengan senyumannya. Pertanyaan Davina barusan adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab lagi oleh Dhio. Ia mengerutkan alisnya seraya menaikkannya ke atas.
"Gak salah, tapi gue cemburu," tutur Dhio.
Davina tidak percaya dengan pernyataan Dhio. Apa yang dikatakan Clarissa ada benarnya. Dhio jauh lebih sempurna begitu juga dengan Samuel. Tak seharusnya mereka berdua memperebutkan gadis cacat sepertinya.
"Atas hak apa kamu cemburu?" tanya Davina.
"Gue capek sama lo. Lo gapernah paham perasaan gue," ungkap Dhio.
Itu tadi pernyataan atau hinaan sih?
Lirih Davina dalam hati. Ia menghela nafasnya pelan, "Maaf Dra, tapi Vina rasa Vina ga pantes sama kamu," tegas Davina.Dhio tersenyum simpul. Ia mengepalkan tangan kanannya. Karena sudah merasa harga dirinya hilang, ia memilih untuk meninggalkan Davina disana. Sudah cukup rasanya dirinya dipermainkan seperti ini. Ia mencoba untuk melupakan Davina walaupun sebenarnya sukar bagi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut dan Rahasianya
Teen FictionTentang aku, kamu dan hujan kala itu. Aku adalah senja dan kamu adalah fajar yang tidak akan mungkin dapat aku raih. Siapa sangka ternyata Dhio mahendra harus mengalami serangkaian perjalanan hidup yang membuatnya harus merelakan seumur hidupnya unt...