17. edellweis

23 28 8
                                    

Samuel dan Davina pulang berdua menaiki mobil Samuel. Hujan deras membuat mereka basah kuyup. Samuel meminjamkan jacket jeansnya pada Vina agar gadis itu tidak merasa kedinginan

Aroma lavender dari jacket itu semerbak di hidung Vina. Wanginya saja membuat candu di hidungnya. Ia mengenakan jacket itu di pundaknya untuk membaluti dirinya yang terkena hujan.

"Vina suka hujan?" tanya Samuel membuka percakapan.

Vina melihat dengan tajam ke samping kanannya tepat di wajah Samuel. Hujan deras kala itu membuat Vina tidak memikirkan apa-apa selain pulang kerumah.

"Suka," jawabnya kecil.

Samuel tersenyum tipis. Senyum nya seperti mengerikan di malam hari. Entah karena di sengaja atau karena memang sinergi dari dalam dirinya.

"Kenapa Vina suka hujan? Bukannya hujan membuat segala aktivitas manusia terhambat?" tanya Samuel.

Pertanyaan Samuel barusan membuat Vina berpikir keras. Padahal jam saat itu menunjukkan pukul 11 malam. Hal itu membuat kerja otak Vina sedang melambat karena mengantuk. Terlebih hujan deras dan hawa dingin yang menyelimutinya.

"Hujan itu tenang, pembawa damai," jawab Vina singkat.

Samuel tidak bertanya atau menjawab kata-kata Davina. Ia hanya tersenyum simpul.

Malam itu, Samuel mengantarkan Vina pulang kerumahnya dengan selamat. Samuel juga meminta maaf pada mamanya karena kondisi Vina yang kehujanan. Samuel melajukan kembali mobilnya menuju markas Bramsel.

****

Saat di markas, mereka berlima berkumpul. Mereka memilih untuk menghabiskan malam bersama dibanding tidur. Samuel mendominasi percakapan dengan guyonan lucu sedangkan yang lainnya menambahkan dengan tertawaan, senar gitar dan guyonan lain. Sampai akhirnya mereka tertidur pukul 3 pagi.

Pada saat bangun tidur, Samuel merasakan nyeri yang sangat tajam di dadanya. Rasanya seperti seseorang sedang menusuk dadanya tembus ke bagian ulu hatinya. Ia mengerang kesakitan. Namun semua anggotanya pergi ke sekolah, hanya dia saja yang tinggal di markas.

Dia berjalan luntang-lantung meraih handphonenya seraya menahan sesak di dadanya. Dia berhasil meraih handphonenya namun ia sendiri tidak tahu harus menghubungi siapa. Tidak mungkin Samuel pulang kerumahnya dalam keadaan sakit di dadanya. Ia hanya bisa menahannya seraya meminum air hangat.

Di sekolah, lagi dan lagi Samuel tidak masuk. Bukannya Vina rindu, tetapi dia ingin meminta novelnya. Dia juga ingin mengembalikan jacket jeans yang diberikan Samuel kepadanya. Dia lupa untuk mengambil novel yang ada di laci mobil Samuel. Padahal selama hampir semalaman dia dan Samuel berada di mobil.

Vina berinisiatif untuk menanyakannya langsung pada Dhio. Namun melihat Clarissa dan Dhio yang begitu dekat, ia mengurungkan niatnya. Vina memilih untuk bertanya kepada Samudra saja dibanding kepada Dhio.

Tapi apa hubungannya Samudra dan Samuel ... hmm, pikir Vina dalam hati. Ia memilih untuk menghubungi Samuel secara langsung.

Dibaca doang? gak dibales? Vina kesal karena baru pertama kalinya Samuel tidak membalas pesannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dibaca doang? gak dibales?
Vina kesal karena baru pertama kalinya Samuel tidak membalas pesannya. Ia berfikir kalau Samuel sudah tidak peduli lagi dengan dirinya. Ia kecewa dan jengkel sehingga menekan terlalu kuat handphonenya dan kalau bisa ia ingin membantingnya.

****

Bel pulang sekolah berbunyi menyebar ke telinga para siswa/i. Saat sedang berbenah, Dhio seperti biasanya mengajak Davina untuk pulang bersamanya. Davina melihat secercah kesempatan untuk menanyakan keadaan Samuel padanya.

Di perjalanan, bibir Davina terkatup. Ia ingin berbicara namun bibirnya selalu bergetar. Rasanya sungkan untuk berbicara pada Dhio, lelaki jutek.

"Samuel kemana?" tanya Davina pada Dhio membuka percakapan diantara kedua mereka.

Dhio mengernyit. Ekspresi wajahnya terlihat gusar seakan tidak senang mendengar nama Samuel di selipan kata-kata Davina. Ia kemudian menghela nafasnya dalam-dalam dan menjawab ala kadarnya.

"Gue gatau. Tuh orang emang suka keluyuran. Kagak ngerti gue sama pola pikirnya," balas Dhio.

Davina mengerutkan keningnya. Hal ini terlihat lucu karena seorang adik tidak tahu kabar kakaknya. Ia memilih untuk diam daripada membuat laki-laki itu murka.

****

Saat Aaron kembali di markas Bramsel, dia melihat wajah Samuel yang sudah membiru serta beberapa obat-obatan di sampingnya. Karena khawatir, ia segera memesan taxy untuk membawa Samuel ke rumah sakit.

Samuel kemudian terbangun di ruangan yang ia benci sedari dulu. Dadanya masih menusuk tajam. Tidak ada apa-apa disana namun ia bisa melihat Aaron dari kejauhan dengan samar-samar. Semerbak wangi obat-obatan mulai merasuki hidung Samuel.  Tak lama, para perawat kemudian datang ke kamar Samuel.

"Gue sakit apa? Kenapa gue bisa disini?" tanya Samuel kepada salah satu perawat tersebut.

Perawat itu tersenyum tipis pada Samuel, "Dokter akan segera tiba. Nanti dia akan menjelasin apa penyakit kamu," balas si perawat.

Samuel sedikit kecewa tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Ia ingin keluar namun tidak diperbolehkan karena kondisinya yang masih lemah sekali.

Tak selang beberapa lama, dokter datang ke ruangan Samuel. Dokter kemudian memeriksa kembali bagian dada Samuel sampai kemudian ia memberikan vonis.

"Samuel Wijaya, anda menderita penyakit paru-paru basah. Penyebabnya karena alkohol dan rokok. Kalau saja tadi tidak langsung dibawa ke rumah sakit, mungkin sakitnya makin bertambah parah atau kemungkinan meninggal dunia. Karena paru-paru anda sangat kritis dalam bernafas, saya sarankan anda untuk tidak merokok dalam beberapa waktu serta meminum alkohol," vonis dokter.

Samuel membelalak. Ia tak percaya kalau dirinya menderita penyakit separah itu. Ia terpaku sejenak untuk mencerna apa yang telah dikatakan dokter padanya.

"Dok, dokter ga bohong kan?" tanya dirinya pada sang dokter.

Dokter tersebut kemudian menggelengkan kepalanya, "Tidak. Ini semua sudah absolut," jawab sang dokter.

"Baiklah kalau begitu saya pergi dulu. Saya sudah memberi resep pada laki-laki yang ada diluar. Mohon untuk sering konsultasi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan." Sang dokter kemudian meninggalkan Samuel sendirian disana.

Aaron pun diperbolehkan untuk masuk setelah sekian lama menunggu di luar. Tidak biasanya Aaron terlihat seperti melankolis. Padahal dia selalu pecicilan dan banyak tingkah.

"Bung, lo jangan kebanyakan mikir yang engga-engga. Pikiri kesehatan lo," gumam Aaron.

"Biar orang lain tahu kalau gue adalah makhluk paling bahagia sedunia. Gue gaboleh menunjukkan masalah gue didepan mereka." Samuel tersenyum tipis.

Baru pertama kalinya Aaron memanggilnya dengan sebutan 'bung'. Samuel merasa lega telah diakui keberadaannya oleh Aaron. Ia hanya tersenyum simpul, "Jangan kasih tau penyakit gue sama siapapun ya," ucapnya.

Aaron semakin murung. Ia tidak tahan jika harus menjadi Samuel. Harusnya dia tidak boleh menyembunyikan penyakit sedalam ini pada orang lain. Namun jika Samuel sudah berkehendak apa yang akan dia perbuat. Ia hanya bisa pasrah mengikuti alur skenario Samuel.

Laut dan RahasianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang