1. The Suffer King

138 10 5
                                    

"Ayah!"
"Kemarilah, Nak."
Begitu masuk ke kamar ayahnya, Charlotte merasa dadanya begitu sesak. Air matanya mulai mengalir. Melihat Raja Xander sekarat seperti itu, ia takut. Hal paling mengerikan yang pernah dialaminya adalah kehilangan mendiang ratu. Ibunya meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan adik perempuannya, Amber.
"Charlotte, maafkan ayah," ucap bibir itu terbata-bata. "A--ayah ... sepertinya akan pergi meninggalkanmu dan Amber." Tak pernah wajah sang raja terlihat menyedihkan seperti itu. Entah ke mana tatapan teduh itu pergi, digantikan senyuman getir dan guratan kesedihan.
Charlotte langsung merangkul tubuh yang terbaring lemah itu. "Tidak, Ayah. Jangan tinggalkan aku!" rintihnya di sela tangisan yang pilu.
"Jangan bilang kalau kau akan pergi, Ayah!" teriak Amber, putri bungsu yang baru berumur 10 tahun itu. Ya, sejak Charlotte dilahirkan, mendiang ratu terus mengalami keguguran. Dan tiga kali, bayi yang dilahirkan mendiang ratu meninggal dunia. Hingga akhirnya Amber berhasil dilahirkan dengan selamat, tetapi tetap saja, mereka tak memiliki seorang putra. Dan inilah sebab silsilah keluarga mereka dianggap akan berakhir.
Melihat kedua putrinya menangis, air mata sang raja akhirnya tumpah. Namun setiap kali matanya basah, ia terus mengelap habis air mata itu. Baginya, ada hal yang lebih penting dibanding menangisi akhir hayat yang segera datang. Ia harus memutuskan siapa penerusnya, yang akan mengenakan mahkota penguasa Hartigan.
"Charlotte, dengarkan baik-baik," ucap Raja Xander sembari memeluk putri kesayangannya itu. Ia berbicara tepat di telinga Charlotte. "Kau harus membawa kembali Nicole ke istana."
Entah mengapa, kalimat itu terdengar mengejutkan bagi Charlotte. Seketika, kilasan masa lalu dimana sang kakak tirinya itu selalu mengusir dirinya ketika ia datang kembali menyeruak. Bagaimana tidak, Charlotte merasa seperti perampas hak putri pertama raja. Hal yang ia tahu adalah Nicole diusir dan dicabut hak waris kerajaan karena mendiang ibunya telah merencanakan pembunuhan sang raja.
"To-tolong ... sampaikan permohonan maafku untuknya." Suara sang raja mulai tercekat. Nafasnya tersengal-sengal. Tangannya mulai gemetar. Membuat semua yang ada di ruangan itu panik. "A--ayah ... ingin Nicole memakai mahkota raja. Ja--jadikan dia ratu ... penguasa Hartigan. Penerusku."
"Ayah!" Amber berteriak histeris. Ia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk sang ayah. Charlotte pun langsung memeluk gadis kecil itu untuk menenangkannya.
"Ophir!"
"Hamba di sini, Yang mulia!" Mendengar namanya disebut oleh sang raja, Ophir pun langsung maju dan mendekat ke ranjang itu. Ia tak berani menatap wajah Raja Xander. Lelaki tua itu menundukkan kepala sambil menutupi tangis dengan tangannya.
"Ophir, kau orang yang paling kupercaya. Ma--maukah engkau, menjaga ... ketiga pu--putriku?" tanya Raja Xander sambil menatap Ophir. "Lindungi mereka. Dan ja--jadikan Nicole ... penguasa Hartigan." Kedua mata sang raja mulai terpejam. Tangannya yang tadi merangkul Charlotte dan Amber telah jatuh.
Sekujur tubuh Raja Xander terasa dingin. Wajahnya pucat. Namun dengan kedua mata yang kini terpejam sempurna, bibirnya terlihat melengkungkan sebuah senyuman.
Seketika, suara tangis di ruangan itu semakin pecah. Ya, semua yang ada di sana tak kuasa menahan kehilangan. Sepanjang hidupnya, Raja Xander adalah penguasa yang sangat dicintai rakyatnya. Di bawah pimpinannya, Hartigan sangat jarang kalah dalam peperangan.
Namun sayang, sampai akhir hayat Raja Xander juga tak kunjung memiliki seorang putra. Dan keadaan seperti itulah, yang membuat Charlotte membulatkan tekad untuk tidak menikah sebelum mahkota raja resmi diwariskan bukan untuk dirinya. Ia takut ketika menjadi penguasa lalu menikah dengan orang yang salah, Hartigan justru akan kehilangan semuanya.
***

Nicole terdiam. Kalimat demi kalimat yang berderet di surat yang barusan ia baca sungguh membuatnya bingung sekaligus kaget. Kembali ia menggulung kertas itu lalu melemparnya sembarangan ke atas meja.
"Putri, apa yang tertulis di surat itu?!" Casia mulai tak sabaran. Wanita itu mendekati Nicole lalu merangkulnya. Ia heran melihat putri yang telah diasuhnya sejak kecil itu terlihat pusing. Ya, sejak mendiang ratu diusir dari kerajaan lalu dihukum mati, Casia yang mengasuh Nicole di pengasingan.
"Bibi!" Nicole menatap Casia dengan wajah putus asa. Ia berpikir beberapa kali sebelum akhirnya berucap. "Bibi, kita harus segera berkemas!"
"Tentu saja, Putri!" Casia berkata dengan cemas. Ia khawatir kalau harus membujuk Nicole yang keras kepala dan sangat membenci Raja Xander itu. "Kau harus datang ke pemakaman. Karena walau bagaimanapun, dia adalah ayah kandungmu!"
Nicole menepis tangan Casia dari pundaknya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Bukan itu, Bibi," desisnya. "Mulai hari ini, kita akan tinggal di istana lagi. Selamanya!"
Casia tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Apa katamu?!" Ditatapnya perempuan berambut keemasan itu dengan heran. "Apa raja berwasiat seperti itu?!"
"Bibi, mulai hari ini ... aku, Nicole, putri mendiang Ratu Davira, akan menggantikan posisi Raja Xander, sebagai ratu penguasa Hartigan!"
"Apa?!"
Nicole perlahan menyunggingkan senyum. "Itu adalah isi surat yang barusan kubaca, Bibi," katanya dengan tenang. "Bibi, akhirnya kita kembali. Dan aku akan menjadi seorang ratu!"
Setelah berkata seperti itu, Nicole malah tertawa. Dan entah mengapa, kedua matanya malah mengalirkan air mata. Ya, dibalik rasa benci kepada ayah yang telah menghukum mati ibunya, ia harusnya sayang dan rindu. Apalagi, ayah kandungnya telah dinyatakan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
Casia menyadari perubahan ekspresi wajah Nicole. Aneh sekali, perempuan di hadapannya itu tertawa sambil menangis. Ia langsung bergerak dan menyapu air mata yang mengalir deras itu. Baginya, putri yang telah memasuki usia dewasa itu masih seperti anak kecil. Anak kecil yang kehilangan kasih sayang dan terus memendam kekecewaan.
"Sudah saatnya kau kembali, Putri," ucap Casia pelan. "Kau adalah putri pertama raja. Putri kandungnya. Kau berhak untuk mendapatkan kehidupan layak di istana!" Ia pun memeluk Nicole dengan penuh haru.
***

"Yang mulia putri, rombongan yang membawa Putri Nicole telah tiba di istana!"
Charlotte membalikkan badan dan melihat Ophir datang dengan tergopoh-gopoh. Lelaki tua itu mencoba tersenyum, padahal wajahnya masih menampakkan duka yang mendalam.
"Katakan pada mereka bahwa pemakaman akan segera dimulai!" Charlotte berseru sambil menggandeng lengan Amber dan membawanya keluar dari kamar. "Ayo, Amber. Upacaranya akan segera dimulai!"
Putri kecil itu masih menangis sesenggukan. Ia menolak dibawa pergi. Tangan sang kakak yang menggandengnya pun dipaksa lepas. "Mereka tidak boleh membawa ayah pergi!" teriaknya. "Mereka telah membawa ibuku, kenapa sekarang ayahku dibawa pergi juga?!"
Charlotte terenyuh. Air matanya kembali mengalir. Ia berjongkok dan menjajari tubuh sang adik. Ditatapnya gadis kecil berambut hitam legam itu lalu mengelus pucuk kepalanya pelan. Sejak dulu, ia sangat senang menatap wajah sang adik, karena sangat mirip dengan mendiang ratu.
"Sayang, ayah juga tidak pergi. Kita masih bisa menemui mereka di makam nanti." Charlotte berkata penuh kasih sayang. "Seperti ibu, kita bisa mengunjungi mereka kapan saja kita mau. Jangan sedih begitu."
"Tapi kita tidak bisa mengajak mereka bicara!"
"Bisa. Bukankah setiap ke makam ibu, kau selalu mencurahkan isi hatimu kepadanya?"
"Tidak, ibu tidak pernah menjawab ketika kita mengajaknya bicara. Aku bahkan tidak pernah melihat wajah ibu!"
"Seperti yang kakak bilang. Kau hanya perlu berdiri di depan cermin, karena wajah ibu sangat mirip denganmu."
"Ini salahku. Gara-gara melahirkan aku, ibu meninggal. Dan sekarang ayah juga meninggal!"
Charlotte langsung memeluk tubuh gadis kecil itu. "Tidak, sayang. Itu bukan salahmu. Berhenti menyalahkan dirimu terus seperti ini."
"Huhuhu ...."
Tangisan Amber semakin kuat. Charlotte mengeratkan pelukan pada sang adik bungsu. Sungguh malang gadis kecil itu. Ya, sejak masih bayi ia hanya bisa bersama ibu kandungnya beberapa hari sebelum ditinggalkan. Dan sekarang, di usia yang masih 10 tahun, ia pun kehilangan sang ayah.
"Kakak, kau juga tidak boleh meninggalkan aku sendirian!"
"Tidak, Sayang. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian." Charlotte melepas tangan kanannya dari pelukan dan membasuh air mata di kedua pipi Amber. "Sekalipun aku harus pergi, kau masih punya kakak kandungmu yang satu lagi."
"Maksudmu, Nicole yang jahat itu?"
"Nicole akan tinggal di istana dan jadi Ratu Hartigan."
"Bukankah dia selalu mengusir setiap kita mengunjunginya, Kak?"
"Jangan sebut dia jahat lagi. Bagaimanapun juga, dia adalah kakak kita, meski berbeda ibu."
Dan ketika Charlotte masih membujuk agar Amber mau keluar dari kamarnya, suara langkah kaki terdengar mendekat.
"Yang mulia Putri Nicole telah datang!"
Charlotte langsung terkesiap. Ia berdiri dan membalikkan badan. Kedua matanya menatap lurus ke ambang pintu. Lalu perempuan berambut keemasan yang mengenakan gaun hitam itu pun masuk ke sana. Ia melangkah anggun sambil memandang ke arah mereka. Tatapan mereka pun bertautan.
"Kakak?!"

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang