"Yang mulia ratu!"
Nicole langsung menolehkan kepalanya untuk melihat Casia yang datang. Wanita tua itu terlihat cemas, kedua tangannya gemetaran.
"Yang mulia, saya benar-benar akan mengganti semua perawat dan juru kesehatan istana dengan orang baru!" Casia berteriak. "Bagaimana bisa keadaan yang mulia malah bertambah parah seperti ini?!"
Nicole tersenyum kecut. Wajahnya begitu pucat. Tatapannya kini menerawang, teringat masa-masa kecilnya di pengasingan. "Bibi, terima kasih karena telah merawatku selama ini," simpulnya. Tentu banyak sekali yang ingin ia ungkapkan pada wanita itu, tapi terlalu banyak hingga ia bingung bagaimana caranya lagi untuk berterima kasih.
"Yang mulia, saya yakin dengan perawatan yang lebih baik, anda akan segera pulih!"
"Jangan berkata seolah ajalku sudah mendekat, Bibi!"
"Ampuni saya, Yang mulia. Saya pantas diberi hukuman, tapi saya sangat khawatir pada kondisi anda saat ini!"
"Bibi, jujur saja, jika boleh aku ingin menyerahkan mahkota raja kepada dirimu. Aku ingin kau saja yang menggantikan aku. Namun sekarang aku lebih tidak peduli siapa yang akan jadi penerus takhta ini, Bibi. Itu bukanlah hal yang penting lagi bagiku!"
Casia tiba-tiba takut dengan sergapan sorot mata perempuan yang sedang terbaring lemah itu. Tatapan yang dingin, dan juga mematikan. Sebuah siratan kesedihan dan kecewa yang begitu mendalam terukir jelas di wajah keponakannya itu.
"Yang mulia, apa maksud perkataan anda barusan?"
"Aku hanyalah seorang anak yang mewarisi darah dari pasangan penguasa Hartigan dan juga penguasa Ethera. Selebihnya, aku hanyalah manusia biasa. Entah kenapa hidupku selalu jadi ancaman dari orang-orang yang membenci silsilah keluarga kami!"
***"Tok-tok!"
"Masuklah!"
"BRAKKK!"
Pintu pun terbuka. Terlihat seorang pengawal bertubuh kekar masuk sambil menyeret seorang wanita. Wanita yang mengenakan baju pelayan itu adalah orang yang ditunjuk sebagai pelayan pribadi ratu.
"Tinggalkan kami!"
"Baik, Yang mulia!"
Lantas, pengawal itu pun keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan sang pelayan berdua dengan pangeran di sana. Pelayan itu terlihat ketakutan. Apalagi, Alaric kini menatapnya dengan sinis.
"A--ampuni hamba, Yang mulia!" Pelayan itu langsung mendekat dan mencium kaki Alaric. "Sa--saya melakukan ini semua karena anak saya sedang sakit. Saya butuh lebih banyak uang, Pangeran!" ungkapnya sambil terisak.
"Aku belum bertanya apa pun, tapi kenapa kau langsung berkata seperti itu?"
Sontak, pelayan itu langsung berhenti menangis. Ia mendongak untuk melihat langsung wajah sang pangeran. Selama ini, yang ia tahu Pangeran Alaric adalah sosok yang penyayang. Gawat. Ia merasa terjebak kali ini.
"Jadi ... benar tuduhan orang bahwa kau memang telah mencampurkan sesuatu ke makanan sang ratu, yang menyebabkan janinnya gugur?!"
Wanita itu kini menangis meraung-raung. "Saya hanya dimintai tolong oleh seseorang di istana, Yang mulia!" imbuhnya, berusaha membela diri. "Mereka memanfaatkan kondisi anak hamba yang sedang sakit!"
"Dimintai tolong, katamu?!" Alaric berteriak marah kali ini. Ia menendang pelayan itu hingga wanita tersebut mundur beberapa langkah. "Maafkan aku, Bibi. Asal kau tahu saja, menolong sehingga menyebabkan satu nyawa gugur itu tidak ada bedanya dengan sebuah tindakan kriminal!"
"Saya memang pantas dihukum, Yang mulia!"
"Tentu saja aku akan menghukummu!" bentak Alaric. Tangan kanannya langsung menggebrak meja yang terletak di sampingnya. "Katakan, siapa orang yang telah memerintahmu melakukan hal itu?!"
Namun bukannya menjawab, wanita itu malah melakukan sebuah aksi yang langsung mengagetkan sang pangeran.
"Tidak, tidak!" Alaric langsung berdiri dari duduknya. "Kumohon jangan lakukan itu!" teriaknya. Ia pun bergegas mendekati pelayan tersebut.
Terlambat. Wanita itu telah menenggak habis isi botol kecil yang sejak tadi tersembunyi di balik bajunya. Sebuah botol berisi racun. Seketika, tubuh wanita itu ambruk. Air matanya masih mengalir dengan deras.
***"Yang mulia, sebuah surat dari Ratu Hartigan."
"Terima kasih, kau boleh pergi."
Charlotte yang duduk sendirian di singgasana melirik sebentar singgasana raja di sebelahnya yang kosong. Baru dua hari lewat dari keberangkatan raja, ia sudah rindu. Tadinya ia berharap itu adalah surat dari Alister.
Lalu ia pun membuka surat yang berstempel merah itu dengan pelan. Sebuah deretan kata-kata tertulis di sana. Kedua bola matanya bergerak mengikuti arah tulisan itu. Lantas ia menyipit, mencoba mencerna baik-baik maksud dari surat tersebut.
Adinda Charlotte, Yang mulia ratu penguasa Osmond. Aku sangat bangga kepadamu. Tidak sia-sia aku melepasmu dari Hartigan untuk duduk di singgasana di sana. Charlotte, sebagai seorang penguasa tentu ada kepuasan tersendiri bagi kita. Namun kuharap kau juga menyadari bahwa posisi kita diinginkan oleh semua orang sehingga akan ada banyak rintangan yang hendak menggelincirkan kita kembali ke tanah. Kuharap kau mengerti maksudku. Semoga kau selalu sehat dan diberkahi umur yang panjang.
Aneh. Baru kali ini Nicole mengirimkan surat untuknya. Biasanya, yang selalu membalas suratnya justru Berenice. Isinya pun sangat berbeda. Biasanya surat yang ia terima berisi tentang kabar dan bayangan kelangsungan hidup para kerabat dan penghuni istana di sana.
Namun mendapat surat yang seperti itu, Charlotte jadi sibuk menerka sendiri. Berbagai tanda tanya melintas di otaknya.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi di Hartigan? Kenapa kakak mengirimkan surat yang isinya seperti ini?"
***Seperti biasa, cahaya mentari yang menelusup dari lubang jendela membangunkan Charlotte dari semua mimpi. Ia pun bangkit dari posisi telentangnya di ranjang. Berjalan pelan menuju pintu. Ia melihat sebuah lipatan kertas terletak di depan pintu itu. Entah siapa yang telah masuk ke kamar itu dan meletakkan kertas itu di sana.
"Apa ini?" gumamnya. Lantas ia mengambil lipatan kertas tersebut. Dibukanya perlahan dan terlihat sebuah tulisan tangan di sana. Setelah membaca deretan kata tersebut ia jadi heran sendiri. Diletakkannya lipatan kertas itu ke atas meja rias.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar, lalu seorang pelayan pun masuk. "Selamat pagi, Yang mulia," sapa wanita itu dengan ramah ketika Charlotte menoleh ke arahnya.
"Selamat pagi, Bibi."
Pelayan itu membawa sebuah baskom berisi air dan juga handuk. Ia pun mendekati meja rias sang putri. Lalu Charlotte pun mengambil lap yang tersampir di pinggiran baskom itu. Dibasahinya lap tersebut dengan air dari baskom lalu mulai mengelap wajahnya.
"Ngomong-ngomong, Bibi, bagaimana kabar pelayan yang anaknya sedang sakit itu?" Charlotte mengajak pelayan itu mengobrol. "Kenapa ia belum kembali juga ya?"
"Maafkan saya, Yang mulia. Saya tidak tahu apa pun tentangnya, tapi saya diminta ketua pelayan untuk menggantikan posisi wanita itu sebagai pelayan pribadi anda. Dari desas-desus yang saya dengar, wanita itu bunuh diri."
"Apa?!"
"Itu baru selentingan kabar saja, Yang mulia. Saya takut menyampaikan berita yang salah."
***Malam pun datang. Setelah menyantap makanan sendirian di kamarnya, Charlotte pun bergegas keluar dari sana. Sebenarnya ia tak mau menggubris isi surat misterius yang ia terima tadi pagi. Bahkan ia jadi takut untuk makan bersama kerabat lain di ruang makan istana.
Namun, rasa penasaran terus menghantuinya. Jika tak mengikuti isi surat tersebut, ia tidak akan tahu siapa yang telah menuliskan surat itu dan meletakkan begitu saja di dalam kamarnya.
Seharusnya ia melaporkan saja kepada pengawal untuk mengusut siapa sebenarnya yang meletakkan surat itu. Namun setelah melalui banyak pertimbangan, ia justru sedikit mempercayai isi surat tersebut dan mengikuti permintaan penulisnya.
Ia pun berjalan sendirian menelusuri lorong-lorong di kastil tersebut. Beberapa pengawal dilewatinya saja. Tak lama kemudian, Charlotte telah berada di taman istana itu.
"Apa?!"
Begitu melihat sesosok pemuda berdiri membelakanginya, ia langsung terperangah. "Jadi benar dia yang telah menulis dan meletakkan surat itu di kamarku?!" Charlotte bergumam sendiri.
Dengan perlahan ia mendekati pemuda itu. Seperti menyadari kehadirannya, pemuda itu pun menoleh ke belakang. Tatapan mata keduanya bertemu kali ini.
"Yang mulia ratu?!"
Entah kenapa, pemuda itu terlihat heran melihat kedatangan Charlotte. Tak ada senyum seperti biasanya. Wajah itu menggambarkan ekspresi bingung, sama seperti yang dirasakan perempuan di depannya kini.
"Pangeran Alaric, sebenarnya apa yang mau anda bicarakan dengan saya sehingga kita harus bertemu di sini?!"
"Apa?!"
Dua-duanya sama-sama bingung. Charlotte pun berjalan semakin mendekat ke Alaric, yakin bahwa yang akan mereka bahas adalah sebuah rahasia penting. Mereka kini berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Cukup lama keduanya saling tatap.
Dan saat itu juga, suara derap langkah kaki kuda mendekat. Diikuti suara roda kereta berderik. Keduanya lantas menoleh ke asal suara tersebut. Hingga akhirnya kereta kuda itu berhenti tak jauh dari mereka. Lalu, seseorang keluar dari dalamnya.
"Yang mulia!"
Charlotte lantas berteriak nyaring. Perasaan bingungnya tadi langsung berubah jadi berbunga-bunga. Ia pun meninggalkan Alaric lalu berlarian menghampiri siapa yang keluar dari kereta tersebut.
Dari belakang sang ratu, rupanya Alaric pun mengejar. Mendekati raja dan ratu tersebut. Namun baru saja Charlotte hendak memeluknya, sang raja langsung menepis tangannya. Lelaki berambut ikal itu mundur beberapa langkah.
"Sedang apa kalian berdua di sini?!"
Alister menatap keduanya bergantian. Dari sorot matanya, sang raja jelas terlihat kecewa. Lebih tepatnya lagi ia curiga ketika melihat sosok kedua orang terdekatnya itu sejak tadi ia masih berada di dalam kereta.
"Apa saja yang kalian lakukan berdua di belakangku?!"to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
FREE, MY QUEEN
Historical FictionCharlotte Wyvern, Putri Hartigan yang enggan menikah, terpaksa menerima perjodohan demi meringankan beban kakaknya, Nicole, sebagai seorang ratu. Charlotte harus menikah dengan Pangeran Alister Nilsine, Putra Mahkota Osmond yang kurang mendapat sim...