3. The Failed Queen

43 9 10
                                    

"Di waktu kecil, ibunya dihukum mati. Hal itu membuat kakak jadi trauma dan memutuskan untuk tidak menikah."
Hampir semua kata yang diucapkan Casia semalam dapat diingat baik oleh Charlotte. Dan itulah yang terus membuat gundah hatinya. Bukan hanya Nicole, Charlotte juga begitu khawatir dengan kelangsungan hidup di Hartigan. Untuk itulah dia berdiskusi dan meminta pendapat dengan para kerabat dekatnya di istana, salah satunya adalah Berenice.
"Jika benar yang mulia ratu berpendapat seperti itu ...." Berenice malah memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menatap Charlotte dalam-dalam. Keresahan terukir jelas di wajah sang putri. Lingkar hitam terlihat di bawah kedua matanya. "Yang mulia, jangan khawatir. Kami para kerabat istana juga akan membantu mendiskusikan hal ini nanti bersama sang ratu."
"Aku tak akan bisa berhenti memikirkan nasib negeri ini, Bibi," resah Charlotte. "Dulu kematian ayah hanya satu dari berbagai mimpi buruk yang pernah kutemui. Aku tidak mau mimpi buruk lainnya benar-benar terjadi di dunia nyata."
Berenice merangkul bahu sang putri lalu mengusap-usap punggungnya dengan sayang. "Tidak, Putri. Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Hamba yakin yang mulia ratu yang sekarang adalah wanita tangguh, yang akan membawa kesejahteraan bagi negeri ini."
***

"Di mana yang mulia putri?!"
Berenice memasuki ruangan itu sendirian. Membuat semua yang telah berkumpul di sana memandangnya dengan penasaran.
"Putri sedang berlatih pedang di halaman belakang," desis Berenice. Diperhatikan satu-satu wajah para kerabat istana yang ada di dalam ruangan itu. Semuanya terlihat tegang. Ia yakin mereka pasti cemas akan perjuangan para pasukan di medan perang.
Perang itu baru berlangsung dua hari, tapi mereka sudah mendapat kabar buruk. Hartigan dinyatakan kehilangan 110.000 dari 200.000 total pasukan yang berangkat ke medan perang.
"Maaf jika saya berpendapat bahwa, yang mulia ratu belum cakap dalam mengatur strategi perang." Berenice berkata dengan sangat hati-hati. Diperhatikannya raut wajah Casia saat ia berucap seperti itu.
Dan benar, Casia jelas tak suka mendengarnya. "Mohon dimaklumi, yang mulia ratu baru pertama kali menyusun strategi perang," dalihnya. "Dan lagi, beliau juga masih dibalut duka atas meninggalnya Raja Xander. Ratu kebingungan saat dinyatakan harus memimpin perang ini."
Berenice langsung menyahut, "Kami paham akan hal itu, Bibi." Lantas, Casia tak lagi berkata-kata. Kedua mata mereka bertautan. "Ngomong-ngomong, Yang Mulia Putri Charlotte menyampaikan kepada saya bahwa yang mulia ratu tidak ingin menikah sampai akhir hayatnya, apakah itu benar?"
Casia hanya diam. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Itu benar, saya yang telah menyampaikan itu kepada yang mulia putri semalam," ungkapnya. "Yang mulia ratu mendapat trauma yang mendalam, karena tahu bahwa mendiang Ratu Davira telah dihukum mati oleh suaminya sendiri."
"Kalau begitu ... bagaimana pendapat anda selanjutnya?" tanya Berenice. "Bukankah penawaran dari Osmond ini akan sangat menguntungkan bagi Hartigan? Tentu sayang jika harus ditolak."
"Saya belum berani berpendapat saat ini. Biarlah kita menunggu keputusan sang ratu ketika beliau kembali nanti ke istana."
Tentu saja Berenice dan para kerabat lain belum puas dengan jawaban itu. Lebih tepatnya adalah tidak sabar. Jika saja mau mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini, bahwa mereka memiliki prasangka buruk akan hasil perang yang akan didapat nanti. Namun mereka memilih diam, karena Casia adalah orang terdekat bagi sang ratu.
Ya, sampai saat ini Nicole belum bisa mendapatkan dukungan penuh dari seluruh pihak istana. Semuanya belum bisa dialihkan dari rasa sayang dan hormat mereka terhadap Charlotte, putri kesayangan mendiang Raja Xander. Jika saja mendiang raja tidak berwasiat seperti itu, mereka pasti senang Charlotte yang akan memimpin Hartigan.
***

"Yang mulia, kita telah kehilangan 160.000 lebih pasukan. Yang mulia ratu terluka dan saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju istana. Pasukan kita telah mundur!"
Kalimat itu terus menari-nari di kepala Charlotte. Ia takut sekaligus khawatir. Sejak tadi ia terus mondar-mandir di ruangan itu. Tak sabar menunggu kepulangan sang kakak dari perjalanan panjangnya.
Mendengar Nicole terluka, ia jadi ngeri. Tapi juga kecewa. Bagaimana bisa para prajurit membiarkan musuh mendekati sang ratu segampang itu?
Di tengah kegundahannya, Charlotte dikejutkan oleh kedatangan Amber. Ia berlarian memasuki ruangan itu dan langsung memeluk tubuh kakaknya. "Kakak, kenapa kau terlihat sedih?" cetus bibir mungilnya. Kedua bola matanya membulat menatap Charlotte.
Charlotte langsung mencoba tersenyum. Menutupi kegundahannya. "Kakak tidak sedang sedih, Amber," dustanya. Kedua tangannya menyergap pipi sang adik, lalu mengecup pelan keningnya. "Kakak sangat senang mendengar berita bahwa Amber sudah berhasil menghapalkan 50 kosa kata bahasa Osmond."
Mendengar itu, Amber tersenyum bangga. "Tentu saja, Kakak!" teriaknya nyaring. "Apalagi, nanti kakak akan dijodohkan dengan pangeran dan tinggal Osmond. Amber harus bisa berbicara bahasa Osmond jika hendak mengunjungi kakak nantinya."
"Apa?!" Charlotte terkejut. "Siapa yang mengatakan padamu bahwa kakak akan dijodohkan dengan pangeran dari Osmond?" protesnya. Ia langsung pusing mendengar hal itu. Setahunya, yang akan dinikahkan dengan pangeran dari Osmond adalah Nicole. Ya, meskipun sang ratu enggan untuk menikah.
"Tuan putri, rombongan yang membawa yang mulia ratu sudah mendekati istana!"
"Baiklah. Amber, ayo kita sambut kepulangan kakak!"

***

"Yang mulia Putri Charlotte memasuki ruangan!"
Nicole terperanjat. Ia langsung membuka kedua mata yang barusan hendak ditutupnya. Ia tak tahu harus berkata apa nanti pada adik tirinya itu. Kembali ke istana dengan luka di bahu tentu membuatnya malu.
Masih teringat jelas kejadian di medan perang. Begitu Nicole diserang, dan terjatuh dari kudanya, para prajurit langsung membawanya pergi. Ia tak tahu lagi harus mengungkapkan kekecewaannya pada siapa.
Belum puas ia menangis sepanjang malam di perjalanannya di dalam kereta. Ia berpikir bahwa mungkin para pasukan khawatir karena baru pertama kali dipimpin raja wanita sepertinya. Saat perang berlangsung, seolah tidak ada yang percaya bahwa sebenarnya mereka masih bisa melawan sekalipun sang ratu telah terluka. Hingga akhirnya ia sendiri yang memilih untuk mengajak mereka mundur karena pasukannya juga sudah kalah jumlah.
"Kakak, aku datang untuk menengok keadaanmu."
"Berdirilah, Saudariku."
Charlotte terdiam. Ia tak percaya sejak kembali ke istana hingga sampai hari ini, sang kakak masih bersikap dingin kepadanya. Bahkan saat ini, Nicole juga terlihat enggan bertemu mata dengannya. Ia pun diam sejenak, memikirkan dahulu apa yang akan dikatakannya nanti.
Namun ternyata, Nicole duluan yang kini mengajaknya bicara. "Charlotte, aku telah dikalahkan." Dan setelah mengucapkan itu, sang ratu menatap kedua mata adiknya secara langsung. "Aku telah gagal memimpin pasukan, sehingga Hartigan tak berhasil merebut Gauri kembali."
Charlotte malah heran ditatap seperti itu. Ia bingung harus senang atau takut. "Ja--jangan berkata seperti itu, Kak," gagapnya. "Ini adalah pertama kalinya dirimu terjun langsung ke medan perang dan memimpin pasukan. Kau wanita yang pemberani."
"Terima kasih." Nicole perlahan-lahan menyunggingkan senyumnya. "Sayangnya ... gara-gara aku kita telah kehilangan 160.000 pasukan. Mereka gugur dengan sia-sia, karena kita tetap tak bisa merebut Gauri kembali. Aku harus bagaimana?"
"Tidak seperti itu, Kak." Charlotte sadar wanita di hadapannya kini sedang kalut. Maka, sebisa mungkin ia harus mengembalikan semangatnya. "Mereka juga gugur demi melindungi dirimu, sehingga kau bisa kembali ke istana lagi. Mereka telah menyelamatkan nyawa sang ratu."
Kali ini Nicole malah tertawa kecil. "Kau benar!" serunya. "Sekarang aku mengerti mengapa kau begitu dicintai oleh rakyat. Kau selalu bisa mengubah sesuatu yang terlihat buruk menjadi baik."
Charlotte terdiam lagi. Padahal jelas kata-kata itu menyiratkan pujian, tapi entah kenapa ia jadi was-was. Tak bisa dipungkiri bahwa ia memang belum bisa mempercayai wanita cantik yang sedang terbaring di ranjangnya itu.
"Charlotte, kita sudah kehilangan lebih dari setengah jumlah pasukan yang berperang membela kita. Untuk bisa merebut kembali Gauri, sekaligus menakuti lawan, kita perlu tambahan bantuan dari negara tetangga yang lain."
Charlotte tak mengerti arti tatapan mata itu. Terlihat sangat mematikan. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Rasa was-was tiba-tiba menyergap. Seolah akan ada hal buruk yang akan menimpanya.
"Menurut para kerabat istana, ada satu negara yang berpotensi menjadi sekutu kita. Mereka cukup terkenal di medan perang dan memiliki lebih dari 40.000 total pasukan. Bagaimana kalau kita menerima tawaran mereka, untuk menjodohkan dirimu dengan sang pangeran?"

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang