Hari demi hari, bulan berganti bulan, sikap Alister tetap sama seperti pertama mereka berjumpa. Meski setiap malam berada di kamar yang sama, kehadiran Charlotte bagai tak berarti bagi sang putra mahkota.
Setiap kali sang putri mencoba mengajaknya bicara, Alister hanya menanggapi seadanya. Seolah-olah tidak ada hal yang perlu diperbincangkan bersama-sama. Alister tetap memilih Rainer untuk berdiskusi dan mencurahkan isi hati. Tak pernah ia melibatkan pasangan resminya dalam hal apa pun.
Kegundahan hati Charlotte bertambah setiap kali sedang berkumpul bersama para kerabat istana. Seperti saat ini, ketika ada tamu yang membawa anak kecil bersama mereka. Sang putri sangat antusias melihat gadis kecil yang cantik itu. Dihampirinya gadis itu untuk berkenalan.
"Hai, anak manis, siapa namamu?" sapa Charlotte dengan ramah. Melihat anak itu, ia jadi teringat Amber. Mungkin umur mereka sebaya. "Boleh kita berkenalan?"
Sayangnya, anak itu langsung berlari dan memeluk ibunya dengan erat. Seolah takut. Saat itu juga, ibu si anak langsung merasa tak enak pada sang putri. Ia takut Charlotte tersinggung diperlukan seperti penculik seperti itu. "Maafkan kami, Yang mulia," ungkap wanita itu. Ia pun menatap anaknya dengan marah. "Gina, dia adalah putri mahkota. Nantinya akan menjadi ratu. Kau harus minta maaf karena sudah tidak sopan!"
Namun malah Charlotte yang merasa tidak enak. "Tidak, tidak perlu," larangnya. "Tidak usah khawatir, aku bisa memakluminya. Aku tidak tersinggung sama sekali." Tentu saja semua yang ada di sana bisa menebak jika sang putri tengah berdusta. Semua terlukis jelas di wajahnya yang berubah sendu.
Si anak kecil pun mendekati sang putri. "Maafkan hamba, Yang mulia," cicitnya. "Jika diizinkan, aku ingin bermain dengan anakmu." Gadis kecil polos itu langsung ditarik oleh ibunya.
"Maafkan kami, Yang mulia!" seru wanita itu. "Kami pantas dihukum!" Ia memandang Charlotte dengan memelas. Tentu takut melihat ekspresi wajah sang putri yang kaget.
"Tidak, tidak perlu minta maaf." Lagi-lagi Charlotte merasa gundah. Ia pun memilih untuk bergegas pergi dari tempat itu. Setiap merasakan kegalauan, ia pasti menyendiri di dalam kamarnya dan menangis.
Awalnya, setiap melihat anak kecil ia merasa hanya rindu pada sang adik yang jauh di sana. Namun, lama-lama ia cemburu dan ingin memeluk sendiri anaknya, buah hatinya bersama sang suami. Sayangnya, Alister sejak awal tidak menginginkan hal itu terjadi. Hingga saat ini usia pernikahan mereka telah menginjak usia satu tahun.
Sementara itu, di Hartigan, saudari tirinya yaitu Ratu Nicole juga merasakan kegundahan yang tak jauh berbeda. Bukan hanya kali ini, Casia memberi nasehat padanya untuk menerima salah satu dari beberapa pangeran yang hendak meminangnya.
"Yang mulia, kali ini Pangeran dari Vermouth yang ingin meminang anda!" rayu Casia dengan semangat berapi-api. "Apa lagi yang anda tunggu? Selain bisa memberikan keuntungan pada Hartigan, bukankah Pangeran Damian juga memiliki paras yang tampan?!"
"Tolong diamlah, Bibi!" bentak Nicole. Dan saat itu juga Casia langsung menutup mulutnya dengan dongkol. Jawaban sang ratu tidak pernah berubah, padahal usianya sekarang sudah menginjak 31 tahun.
"Aku seorang ratu yang tidak akan menarik kembali apa yang sudah kuucapkan. Ini juga merupakan janji yang telah kuutarakan langsung di depan makam mendiang ibu. Aku tidak akan menikah dan membiarkan nyawaku dilenyapkan suaminya sendiri seperti mendiang Ratu Davira!"
Tanpa sadar, kedua tangan Nicole menggebrak meja. Ia kesal. Buliran bening mulai meluncur bebas dari kedua pelupuk mata sang ratu. Ia langsung mengelap air matanya dengan jari jemarinya sendiri tatkala sang adik menerobos masuk ke ruangan itu.
"Kakak, ada surat dari Kak Charlotte!"
Saat itu juga, Ophir datang dari balik badan Amber. "Yang mulia ratu, Putri Charlotte telah mengirimkan sebuah surat untukmu dan Putri Amber."
Nicole menerima surat tersebut dari tangan Ophir. Ia menatap Amber sejenak, yang langsung membuat gadis kecil itu bersembunyi di balik badan Elaina. Sang ratu pun mendesis, "Elaina, tolong ajari anak kecil ini bahwa dia tidak boleh menerobos kamarku tanpa memberi salam terlebih dahulu!"
Elaina pun memeluk Amber dengan segera. "Ampuni kami, yang mulia, karena belum bisa mendidik sang putri dengan baik!" katanya memelas.
Hanya dibatasi beberapa ruangan dari tempat itu, beberapa kerabat istana berkumpul. Tanpa sepengetahuan ratu dan bibinya, mereka sering berdiskusi diam-diam. Kebanyakan hal yang mereka bicarakan adalah tentang keberadaan sang ratu sendiri.
"Berenice, bagaimana menurutmu. Apakah kita harus melancarkan rencana ini?"
Berenice tak mau menjawab. Ia tahu betul topik pembicaraan itu akan berakhir ke mana. Sesungguhnya, ia kesal setiap kali berkumpul dengan kerabat seperti ini. "Bukankah Putri Charlotte telah tenang di Osmond? Kenapa kalian terus-menerus membahas hal ini?!" tandasnya.
"Hei, apakah sekarang kau sudah berada di pihak Ratu Nicole? Bukankah kakak tirinya itu yang telah mendepak Putri Charlotte dari takhta kerajaan?!"
"Ratu tidak melakukan hal itu untuk mendepak Putri Charlotte!" protes Berenice. "Kalian lupa bahwa mendiang raja yang telah berwasiat untuk menjadikan Putri Nicole pewaris takhta berikutnya?!"
"Ya, tapi gara-gara dia, kita harus kehilangan Putri Charlotte!"
Seperti biasa, ketika merasa tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan, Berenice langsung pergi meninggalkan para kerabatnya. Ia khawatir apa yang akan mereka lakukan pada Ratu Nicole nanti, tapi dia juga merasa tak mampu untuk mencegahnya sendirian.
Dan mustahil baginya untuk menceritakan hal itu pada Charlotte. Ia takut keadaan akan menjadi lebih buruk. Maka ia pun terus menutup mulutnya rapat-rapat dan berdoa agar para kerabatnya tidak melakukan hal buruk terhadap Ratu Nicole.
Hal itu terus dilakukannya hingga satu tahun kemudian, berita duka datang dari Osmond. Raja Alexis yang telah jatuh sakit beberapa bulan ke belakang, akhirnya dinyatakan wafat pagi itu. Seluruh penghuni istana dan rakyat Osmond sedang berduka.
"Putri, ada yang ingin aku bicarakan denganmu!"
Charlotte dikagetkan oleh seseorang yang menarik tangannya ketika upacara pemakaman baru saja selesai. Itu adalah Alister. Sang suami membawanya ke koridor yang sepi.
"A--ada apa, Yang mulia?!" Charlotte tercekat. Ia heran melihat raut wajah Alister yang nampak cemas. Ia menerka, pasti ini karena ayahandanya baru saja dimakamkan. Namun, ia bingung kenapa Alister menariknya tiba-tiba seperti itu.
Alister menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya lagi. "Aku tahu kau pasti bingung mengapa aku membawamu ke sini," desahnya. "Aku hanya ingin menyampaikan ini sebelum terlambat, karena kau adalah putri mahkota di sini. Kau pasti paham setelah ini aku akan naik takhta dan kau menjadi Ratu Osmond, selanjutnya hidup kita akan dipenuhi banyak rintangan."
Charlotte menyimak apa yang diungkapkan Alister dengan baik, tapi ia bingung ke mana arah pembicaraan itu akan dibawa.
"Mulai detik ini, aku berjanji akan berusaha untuk menjagamu."
Tentu saja Charlotte sangat terkejut. Untaian kata itu membuatnya tersanjung. Ia bahagia, tapi juga heran dengan perubahan sikap Alister ini yang begitu tiba-tiba.
Namun, perubahan sikap itu bukan tak beralasan seperti yang tidak ia ketahui. Semalam, Raja Alexis yang sekarat telah meninggalkan sebuah wasiat pada putra pertamanya itu. Wasiat yang juga membuatnya mengikuti saran Rainer untuk bisa lebih dekat dengan istrinya.
"Putraku, kau adalah satu-satunya yang jadi harapan Osmond. Aku telah memilihmu, karena kau punya tekad dan pendirian yang kuat. Jadilah pemegang kekuasaan tertinggi negeri ini dan wariskan lah nanti kepada putramu. Aku ingin kau segera memiliki putra, agar para pemberontak yang membayangi Alaric tidak memperalatnya nanti."
Sebenarnya, ada satu lagi yang menjadi kekhawatiran Alister sekarang. Yaitu mencari tahu siapa pemberontak yang dimaksud sang raja. Yang dikatakan berada di balik Alaric. Tentu ia harus melangkah dengan sangat hati-hati.
***Malam itu, beberapa kerabat istana berkumpul di sebuah ruangan. Seperti biasa, mereka mendiskusikan banyak hal. Dan kali ini, apa yang mereka bahas tentu perihal akan dinaikkannya Alister menjadi Raja Osmond.
"Akhirnya sang raja wafat juga."
"Dan itu berarti, kita masih punya satu kerikil yang harus segera disingkirkan juga dari tempatnya," timpal Quirin. Ia memandangi seluruh kerabatnya itu satu per satu. "Jika Pangeran Alister jadi raja, maka pendapat dan pandangan kita semua tidak akan pernah ada arti di matanya!"
"Ya, sama saja keras kepalanya dengan mendiang raja."
"Karena itu, kita harus segera menyusun siasat untuk menyingkirkan ia dari tempatnya." Kembali Quirin menyampaikan kritiknya. "Pangeran Alaric lebih memprioritaskan pendapat para kerabat seperti kita. Untuk apa kita berada di sana jika hanya bisa duduk diam dan memperhatikan ke mana alur ceritanya?!"
"Kau benar, Quirin. Aku setuju dengan pendapatmu, tapi bagaimana kita bisa membuat Pangeran Alaric yang naik takhta?"
"Ya, untuk menggulingkan Raja Alexis saja kita butuh perjalanan yang amat panjang. Bagaimana dengan Pangeran Alister yang umurnya jauh lebih muda?"
Quirin lantas terkekeh. "Kita pasti bisa melakukan hal itu dengan mudah!" serunya. "Tentu dengan bantuan Pangeran Alaric langsung."
"Maksudmu? Bukankah selama ini kau selalu melancarkan politik adu dombamu itu, tapi tetap saja tak ada kemajuan?"
"Hal ini tentu akan jauh lebih menarik," desis Quirin. "Kita juga bisa memanfaatkan keberadaan sang putri mahkota yang ada di sekitar para pangeran!"
"Aku jadi penasaran. Apa rencanamu?"to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
FREE, MY QUEEN
Historical FictionCharlotte Wyvern, Putri Hartigan yang enggan menikah, terpaksa menerima perjodohan demi meringankan beban kakaknya, Nicole, sebagai seorang ratu. Charlotte harus menikah dengan Pangeran Alister Nilsine, Putra Mahkota Osmond yang kurang mendapat sim...