4. The Cold Prince

34 6 9
                                    

"Putri dari Hartigan?!"
Raja Alexis ikut kaget karena teriakan putra kesayangannya. Ia tak menyangka Alister akan sekaget itu. Dari ekspresi wajahnya, raja menebak bahwa sang pangeran enggan menerima tawaran tersebut.
"Apa tidak ada calon yang lain, Ayah?!" kritik pemuda tampan berambut keemasan itu. "Kabar burung mengatakan bahwa Hartigan tidak punya pewaris laki-laki. Lalu, pasti diam-diam mereka memiliki tujuan untuk merebut kekuasaan Osmond!"
"Kenapa bisa kau berpikiran begitu, Putraku?!" Raja Alexis sangat heran mendengar alasan itu. "Kau salah. Justru dengan menikahi putri dari kerajaan yang tidak memiliki seorang putra, kita seolah mendapatkan separuh kekuasaan mereka. Tanpa harus repot mengobarkan api peperangan."
Alister terdiam kali ini. Ia mencerna baik-baik kalimat yang barusan diucapkan sang ayahanda. Ditatapnya Raja Alexis yang juga sedang memandangnya dengan serius, tapi perlahan-lahan menyunggingkan senyum.
"Ayah harap kau bisa mengerti maksud dari perjodohan ini."
"Bagaimana jika nanti dia tidak bisa memberi anak laki-laki untukku, Ayah?!"
Raja Alexis berjalan mendekati putranya itu. Ditepuknya bahu sang pangeran dengan pelan. "Aku tidak akan pernah mengkhawatirkan sesuatu yang belum dicoba. Yang kutahu, aku ingin kau yang menjadi pewaris takhta," rayunya.
Sang raja tahu Alister mendapatkan tekanan di kehidupan internal kerajaan. Putra pertamanya itu selalu merasa kalah dibanding sang adik. Padahal, Alaric, putra keduanya hanya lebih pintar menarik simpati dari orang lain. Sebaliknya, Alister adalah orang yang tidak mudah dipengaruhi dan cenderung keras kepala. Justru sikap Alister yang seperti itulah yang lebih disukai sang raja.
***

"Yang mulia, lihatlah. Kita sudah mulai memasuki wilayah kerajaan!"
Charlotte menegakkan lagi wajah lelahnya lalu memandang Berenice. Akhirnya, setelah perjalanan empat hari empat malam di kereta kuda, mereka sampai juga di tujuan tepat pagi buta seperti ini.
Berenice tersenyum lebar sembari menunjuk ke luar jendela kereta. Ia menatap Charlotte dengan riang sambil berseru, "Yang mulia, pandanglah ke sebelah sana. Rombongan Osmond sudah menunggu kedatanganmu, Putri."
Berenice kelihatan senang menanti pernikahan sang putri yang tidak lama lagi akan digelar. Padahal, gadis di hadapannya itu hanya tersenyum palsu. Charlotte hanya tak mau menolak permintaan kakaknya, apalagi karena pernikahan ini digadang-gadang dapat menyelamatkan Hartigan dari ancaman musuh. Osmond terkenal ditakuti di medan perang.
Charlotte kini dituntun keluar dari kereta kudanya. Begitu mendongakkan kepala, rombongan di depannya kini menyambut dengan hormat. Kedua matanya menyapu ke seluruh penjuru. Lalu, pandangannya menangkap sesosok laki-laki dengan mahkota raja di kepalanya. Kemudian ia melirik seorang pemuda tegap di samping sang raja yang sedang tersenyum ramah ke arahnya.
Jika itu adalah Raja Osmond, tentu yang sedang berdiri di sampingnya adalah pangeran? Charlotte bergumam di dalam hati. Entah kenapa ia tak bisa membalas senyuman orang-orang itu. Bibirnya pun terasa kaku. Untungnya, perlahan-lahan badannya masih bisa diajak untuk membungkuk dan memberi hormat.
"Selamat datang, Yang Mulia Putri Charlotte!" seru Raja Alexis. Ia berjalan mendekati sang putri lalu menyalami dan mengecup tangannya pelan. "Selamat datang di Osmond. Dan, saya persembahkan putra mahkota kami, Pangeran Alister."
Kedua bola mata Charlotte bergerak mengikuti ke mana arah yang ditunjuk Raja Alexis. Awalnya, ia menebak pasti pemuda yang tadi tersenyum padanya itulah Pangeran Alister. Maka ia pun berusaha menarik kedua ujung bibirnya untuk melengkungkan sebuah senyuman dan menatap wajah pemuda itu.
Saat itu juga, seorang pemuda dari arah berseberangan, arah yang ditunjuk sang raja, malah maju dan kini berdiri di samping sang raja. "Salam kenal dari hamba, Yang mulia," ucap pemuda itu sembari membungkukkan badannya.
Charlotte pun terperangah. Ketika ia melihat lagi pemuda yang tadi dikiranya adalah Pangeran Alister, pemuda itu malah menahan tawa. Jelas sekali pemuda itu sadar jika sang putri salah mengira. Dengan malu, gadis itu pun kini mengalihkan pandangannya ke arah pemuda di hadapannya. Membiarkan sang pangeran mengecup pelan lengan kanannya.
Rupanya ini calon suamiku? Cukup lama Charlotte tertegun. Menatap pangeran yang kini juga sedang menatapnya. Tidak ada senyum di wajah pangeran itu, hanya roman muka yang tampak tegas dan penuh teka-teki. Dengan sekali tatap, Charlotte belum bisa menyimpulkan bagaimana sifat sang pangeran.
Semoga kita memang berjodoh, Pangeran. Hanya doa itu yang kini diucapkannya dalam hati. Setelah upacara penyambutan itu digelar, Charlotte pun dibawa lagi dengan kereta menuju istana dengan dikawal para prajurit dari Osmond. Sementara itu, Berenice dibawa pulang kembali bersama para pasukan dari Hartigan.
Ya, Charlotte tiba sebagai satu-satunya perwakilan Hartigan di istana Osmond. Begitulah isi perjanjian yang telah disetujui oleh kedua belah pihak antara Osmond dan Hartigan. Hal itu berarti, Charlotte dilepas dengan penuh keikhlasan dari seluruh pihak negerinya.
Begitu tiba di halaman istana, di sana tampak ramai. Semua seolah menantikan dan penasaran akan sang putri. Charlotte merasa tersanjung melihat rombongan para penghuni istana yang sangat ramai, tapi ketika ia melemparkan senyum, mereka seolah enggan membalas senyumnya.
Sang putri tentu sangat kaget. Seketika ia merasa kedatangannya tidak diinginkan, padahal tadi ia sangat bahagia. Charlotte tetap berusaha tenang dan terus menebar senyum. Ia mencoba tak peduli, meski senyumnya tidak mendapat keramahan dari semua arak-arakan penghuni istana yang ada di sana.
Beberapa wanita bergegas mendekati ketika Charlotte telah tiba di dalam istana. Mereka membungkukkan badan untuk memberi salam. Kemudian, satu per satu dari mereka memeluk sang putri.
Salah seorang wanita bergaun biru mengajaknya bicara. "Salam kenal dari hamba, Yang mulia," sapa wanita itu sambil tersenyum. "Selamat datang di istana. Saya Heidi, yang akan mengantar anda menuju kamar putri mahkota. Mari ikut saya, Yang mulia."
Charlotte pun membalas senyum itu dan mengangguk pelan. Lalu ia mengikuti para wanita itu menuju kamar. Di sana, ia langsung takjub dengan keindahan interior dan dekorasi kamar tersebut. Namun seakan malu dan masih mencoba untuk beradaptasi, ia enggan banyak bicara.
"Yang mulia, jangan sungkan jika ingin mengajukan pertanyaan maupun bantuan kepada kami." Heidi kembali mendekati Charlotte. "Kami ada di sini untuk mengabdi pada anda, Tuan putri."
Dibanding arak-arakan penghuni istana yang tadi seolah tidak menerima kehadirannya, kali ini Charlotte merasa sangat tersanjung dengan ucapan Heidi. "Terima kasih, Bibi," ungkapnya tulus. Kedua matanya jelas berkaca-kaca.
Melihat itu, Heidi merasa terenyuh. Seolah tahu kegelisahan yang sedang berkecamuk di dalam dada gadis di hadapannya itu. "Yang mulia, dua hari lagi pesta pernikahan anda dan pangeran akan digelar," terangnya. "Supaya anda tidak kaget dengan sikap pangeran, saya ingin memberikan suatu bocoran."
"Tentang apa itu, Bibi?" Charlotte langsung penasaran. Sekelebat bayangan pangeran yang nampak dingin tadi teringat lagi di kepalanya. Namun pada akhirnya, ia teringat lagi senyum ramah seorang pemuda yang tadi berdiri di samping sang raja. Ia jadi ingin bertanya siapa pemuda itu, tapi takut.
"Pangeran Alister adalah sosok yang tidak mudah untuk didekati. Ia lebih suka menyendiri di dalam kamarnya untuk membaca buku, tapi sangat suka mempelajari cara menggunakan senjata perang, karena itu---"
"Aku juga sangat suka mempelajari itu, Bibi!" Tak sengaja, Charlotte malah memotong kalimat Heidi. Ia baru menyadari bahwa itu tak sopan, lalu seketika berhenti melanjutkan omongannya. "Ma--maaf, Bibi. Aku tiba-tiba merasa sangat bersemangat," gagapnya. Gadis itu menunduk takut.
Heidi yang tadinya kaget kini mencoba memaklumi setelah mendengar penjelasan sang putri. Meski sudah berumur 28 tahun, ia tetaplah seorang gadis yang akan penasaran dengan laki-laki asing yang hendak dinikahkan dengannya. "Saya sarankan, agar sang putri mendekati Pangeran Alister dengan perlahan-lahan saja, karena dia memang sosok yang terkenal sulit untuk didekati." Wanita itu melanjutkan penjelasannya.
Mendengar itu, Charlotte menelan ludahnya sendiri. Kesan pertama memang tidak pernah salah. Dari awal keduanya beradu tatap, Pangeran Alister memang berbeda dengan pemuda yang sempat disangkanya sebagai pangeran tadi. Dia memang tidak terlihat ramah dan bersahabat. Untungnya, ada satu kesamaan dari mereka. Yaitu sama-sama suka berlatih bertarung.
***

Setelah mandi dan berganti pakaian, Charlotte ditemani para dayang mendekati kamar pangeran. Sore itu adalah jadwal pangeran berlatih pedang. Ia mengikuti saran mereka untuk mengajak pangeran berlatih bersama, agar mereka bisa dekat dan berkenalan.
Dengan takut-takut, Charlotte mengetuk pintu itu. Ia menggantikan Rainer, orang terdekat Alister yang biasanya menjemput untuk keluar kamar. Rainer yang melihat itu dari kejauhan pun merasa tak enak, takut sang putri malah kena semprot sang pangeran setelah ia membuka pintunya nanti.
Charlotte mengetuk pintu sambil memejamkan kedua matanya. Dalam hati, ia berdoa agar rencana ini berhasil. Supaya perkenalannya dengan Alister berjalan lancar sebelum hari pernikahan tiba.
"CEKLEK!"
Pintu pun terbuka. Sontak Charlotte juga membuka kedua matanya. Ia melihat Alister sedang menatapnya dengan kaget sekaligus heran. Seketika, ia pun tersenyum tak keenakan. "Se--selamat sore, Pangeran. Sekarang waktunya yang mulia untuk berlatih pedang," cicitnya.
Pemuda di hadapannya tentu tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam dada sang putri. Tak ada senyum sedikit pun terlukis di wajahnya. Ia berpikir kenapa malah gadis itu yang datang menjemputnya. "Kenapa kau ada di depan kamarku?!" cetusnya. Mengalihkan pandangan dari gadis cantik di hadapannya dengan tangan bersedekap.
"A--aku menggantikan Rainer untuk datang menjemputmu. Aku juga i--ingin berlatih pedang berbarengan denganmu," gagap Charlotte.
"Berbarengan?!" sentak Alister. Sontak Charlotte pun terkaget dan mundur beberapa langkah. "Maksudnya kau akan berlatih pedang bersamaku?!"
"I--iya."
"BLAM!"
Pintu kamar itu pun ditutup Alister dari dalam.

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang