Charlotte berlarian kembali ke kamarnya. Tentu ia sangat malu diperlukan seperti itu di depan semua orang. Melihat sang putri berlarian sambil berurai air mata, Heidi dan para dayang pun mengejarnya.
Sementara itu, Rainer yang memperhatikan dari kejauhan pun langsung merasa tidak enak. Apalagi ternyata Alaric dan para kerabat istana juga tak sengaja melintas di sana, karena memang tadi berada tidak jauh dari ruang pertemuan pribadi milik Pangeran Alaric.
Rainer langsung mengetuk pintu kamar Alister dengan cemas. "Pangeran, ini saya!" serunya. Ia merasa bersalah karena tadi telah menyetujui ide dari para dayang untuk membiarkan Charlotte yang menjemput pangeran langsung. "Ini salah saya, Yang mulia. Saya yang memberikan izin pada Putri untuk menjemput pangeran. Saya memang pantas dihukum!"
"CEKLEK!"
Tentu saja pintu itu akan terbuka. Sejak kecil, Rainer selalu di dekat Alister, layaknya seorang ayah yang menyayangi anaknya. Diam-diam, Alister yang telah beranjak dewasa itu memang menaruh rasa sayang dan hormat pada kerabat jauhnya itu. Jika Rainer yang datang, tentu Alister tidak bisa menolak.
"Pangeran?!"
Melihat wajah cemas itu, Alister malah menyunggingkan senyum. "Aku salut padamu, Paman," sindirnya. "Kupikir kau berbeda dengan yang lain, ternyata kau juga suka sekali menggoda orang. Namun itu tidak akan berhasil untukku. Sekarang perempuan itu pasti sedang menangis sesenggukan di kamarnya."
Rainer bingung ingin tersenyum atau bagaimana. Sependapat, tapi dia lebih memilih untuk menasehati pemuda itu saja. Ia pun mulai berbisik, "Yang mulia, anda tidak boleh kasar seperti itu dengan seorang gadis. Saya pikir mungkin karena pangeran tidak pernah memiliki adik perempuan, tapi---"
"Bukankah dia sudah dewasa? Lantas untuk apa aku bermain-main dengannya?!" Alister kembali masuk ke dalam kamarnya. "Baiklah, aku akan mengganti bajuku terlebih dahulu, Paman. Tolong tutup pintunya."
Tanpa sepengetahuan mereka, rupanya Alaric sekarang sedang melintas di depan kamar sang putri. Ia berpapasan dengan Charlotte dan para dayang yang baru saja hendak keluar dari kamar.
Charlotte kaget ketika bertemu mata dengan pemuda itu. Ia langsung bisa mengenalinya. Pemuda yang berhasil mencuri perhatiannya ketika baru saja tiba di kawasan istana. Masih teringat jelas sekelebat bayangan di kala sang pangeran juga sedang tersenyum padanya seperti ini.
"Yang mulia," sapa Alaric dengan ramah. Suaranya terdengar begitu berwibawa namun lembut. Pemuda itu langsung menyalami sang putri dan mengecup tangan kanannya. "Dari baju yang anda pakai dan perlengkapan yang mereka bawa, sepertinya anda hendak berlatih pedang?" terkanya. Sejenak ia langsung teringat bahwa hari ini jadwal kakaknya berlatih.
Charlotte terdiam. Masih bingung dengan keadaan itu. Tak mungkin jika langsung mencurahkan isi hatinya yang gundah karena telah mendapat semacam penolakan dari calon suaminya sendiri.
"Menurut kabar yang saya dengar dari para kerabat, tuan putri sangat pandai mengayunkan pedang. Jika dipersilahkan, saya ingin banyak berlatih dari anda, Yang mulia."
Tak hanya Charlotte, para kerabat yang mendengar itu pun terkejut. Begitu beraninya sang pangeran berkata demikian. Bukankah pujian seperti itu bisa memicu konflik dengan Pangeran Alister? Namun, bukan Alaric jika tak pandai menarik perhatian orang lain. Lebih tepatnya, ia memang sengaja.
"Hari ini bukan jadwalmu berlatih pedang, Adik!"
Semuanya langsung mengalihkan pandangan dari Alaric dan Charlotte. Lantas memperhatikan siapa yang baru datang. Alister dan Rainer berjalan mendekati mereka semua.
Putra pertama Raja Alexis itu menatap Alaric dengan tak suka. Adiknya itu balas memandang tak kalah sengit. Lalu, pandangan Alister beralih pada Charlotte yang entah kenapa tampak ketakutan. "Aku datang untuk menjemputmu, Yang mulia putri!" desisnya. "Apa yang mulia sudah siap untuk berlatih?" Ia pun meraih lengan sang putri lalu mengecupnya pelan.
Charlotte terdiam. Tentu ia bingung harus menjawab apa. Ia takut ketika beradu tatap dengan calon suaminya sendiri. Saat itu juga, ia merasa seperti sedang dipermainkan oleh keadaan. Kedua matanya kembali terasa panas. Sangat tidak enak berada di tengah-tengah dua orang yang kentara sekali tidak akur seperti itu.
Seharusnya ia masih berada di kamar untuk beristirahat dari perjalanan panjang, tapi karena mengikuti bujukan para dayang ia rela mempertaruhkan rasa malunya untuk datang ke kamar pangeran. Kini ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan mengikuti alur saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FREE, MY QUEEN
Historical FictionCharlotte Wyvern, Putri Hartigan yang enggan menikah, terpaksa menerima perjodohan demi meringankan beban kakaknya, Nicole, sebagai seorang ratu. Charlotte harus menikah dengan Pangeran Alister Nilsine, Putra Mahkota Osmond yang kurang mendapat sim...