10. The Queen's Return

24 5 0
                                    

"Yang mulia, anda yakin akan mengusirnya?!" Rainer memasuki ruang pribadi raja dengan tergopoh-gopoh. Sekalipun ia berusaha menutupi, tapi raut wajahnya jelas menunjukkan kekecewaan. "Yang mulia, dia adalah putri dari Hartigan. Dan lagi ... dia adalah istri anda sendiri." Lelaki itu menunduk sedih.
"Aku tidak mengusirnya, Paman," sahut Alister. Perlahan-lahan, wajahnya menyunggingkan senyum. "Aku tahu kau pasti khawatir dengan sikapku yang seperti ini." Sang raja menatap Rainer yang terlihat kaget. "Percayalah, aku hanya ingin menyelamatkan dia dari orang-orang yang berbahaya di istana ini."
"Tadinya ... saya pikir yang mulia akan membebaskan sang ratu dari penjara."
"Ini jauh lebih baik daripada para penjahat itu diam-diam meracuni makanannya di penjara!"
Rainer tersentak. Ia pun menatap Alister dalam-dalam. "Ya, Tuhan. Aku tidak pernah berpikir seperti itu," desisnya. "Anda benar, Yang mulia. Kita harus menyelamatkan ratu dengan segera."
"Waktu eksekusi yang terlalu lama pasti akan membuat mereka berpikir bahwa nantinya aku bisa berubah pikiran dan membebaskannya dari penjara," terang Alister. "Satu lagi, mereka pasti sedang ketakutan jika aku berhasil menemukan pelaku yang sebenarnya sebelum hari eksekusi tiba. Aku sedang menyelamatkan ratu dari mereka, Paman."
"Ya, sepertinya rencana awal kita memang akan diendus mereka," timpal Rainer. "Karena pelakunya pasti orang dalam." Lelaki itu mengelus-elus janggutnya yang panjang. Nampak berpikir.
Alister bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Rainer. "Karena itulah, mereka perlahan-lahan pasti menyadari bahwa kita hanya berpura-pura tidak tahu," ujarnya sambil menatap sang paman. "Mungkin mereka tahu bahwa diam-diam kita masih mengusut kebenaran yang sesungguhnya."
"Benar, Yang mulia. Jika otak dari semua ini adalah orang dalam, pasti mereka tahu bahwa kita sedang mengelabui mereka."
"Perlahan-lahan, kita pasti bisa mengungkap siapa saja para pengkhianat ini."
Di tempat lain, di penjara, Charlotte yang masih lemah sedang dibimbing oleh dua orang pelayan untuk keluar dari sana. Ia pun dibawa menuju sebuah ruangan. Di sana, dua pelayan lain telah menunggu kedatangannya.
"Yang mulia, kami sudah menyiapkan bak mandinya," kata seorang pelayan yang ada di sana. "Sekarang anda bisa membersihkan diri di sana."
Charlotte tak memedulikan omongan pelayan itu. Ia kaget melihat beberapa peti yang ada di depannya. "Apakah yang di dalam peti itu adalah pakaian dan barang-barang milikku?!" tanyanya dengan marah. Ditatapnya para pelayan itu bergantian.
"Benar, Yang mulia." Salah seorang pelayan itu menjawab pertanyaannya. "Sebentar lagi akan ada pengawal yang membantu membawa peti-peti ini ke kereta. Setelah mandi anda akan diantar ke Hartigan."
"Kenapa kalian berani menyentuh barang-barang pribadiku tanpa izin?!"
"Maafkan kami, Yang mulia. Namun, yang mulia raja yang telah memerintahkan kami untuk mengemasi semua barang-barang milik anda."
Charlotte terdiam. Ia langsung menundukkan kepalanya. "Begitu?" gumamnya hampir tak terdengar. "Tadinya kupikir, ketika berkemas di kamar, aku masih bisa bertemu dengannya." Lantas ia pun tertawa getir. "Rupanya dia benar-benar mengusirku. Bahkan bertemu pun ia tak mau."
Charlotte langsung berjalan gontai melewati para pelayan itu. Ia pun masuk ke kamar mandi yang tadi ditunjuk oleh salah satu pelayan. Sebuah bak yang telah diisi penuh dengan air hangat telah menantinya. Perlahan ia pun menyentuh permukaan air dengan kedua tangannya.
Jadi inilah hari terakhirku di istana ini. Aku tidak percaya Alister benar-benar menghukum diriku, istrinya sendiri. Namun, ini jauh lebih baik dari eksekusi yang amat menakutkan itu. Entah kenapa Alister malah mengubah hukumannya?
Setelah mandi dan berganti pakaian, Charlotte pun dibawa menuju ke sebuah kereta. Ia kaget karena kepulangannya akan diantar oleh cukup banyak iring-iringan pasukan. Perempuan itu cukup tersanjung. Rupanya Alister masih berbaik hati untuk menjaga keselamatannya di dalam perjalanan pulang yang sangat jauh.
Charlotte lagi-lagi menyeka air matanya yang mengalir dengan sapu tangan. Tentu ia sedih hari-harinya di Osmond akan berakhir seperti ini. Sebelum melangkah masuk ke kereta, ia pun berbalik. Dipandanginya istana itu untuk yang terakhir kali. Lalu, setelah itu ia pun masuk ke kereta.
Kereta itu pun mulai melaju. Charlotte masih mengintip dari jendela, menengok lagi ke istana. Ia masih berharap bisa bertemu Alister lagi untuk yang terakhir kali. Namun sayang, hal itu tidak terjadi.
***

"Yang mulia, Tuan Putri Charlotte telah tiba di halaman istana!"
Nicole membalikkan badannya. Sejak tadi dikabarkan bahwa Charlotte telah tiba di perbatasan, ia terus mondar-mandir menanti kedatangan sang adik. "Aku akan segera ke sana!" serunya. Padahal, kondisi Nicole belum benar-benar pulih, tapi ia memaksakan dirinya untuk tetap terlihat kuat hari itu.
"Baik, Yang mulia!" sahut pengawal tersebut. Pria bertubuh kekar itu membalikkan badan lalu berjalan dengan gagah. Mengikuti ke mana langkah sang ratu.
Nicole dan beberapa pengawalnya telah tiba di halaman istana. Saat itu, Charlotte baru saja melangkah keluar dari kereta kuda. Terlihat Amber berlarian mendekati  perempuan itu, yang langsung dikejar oleh Elaina dan Berenice.
"Kakak, aku sangat merindukanmu!"
Charlotte langsung memeluk adik kecilnya itu. "Aku juga sangat merindukanmu, Amber!" serunya. Ia memeluk erat tubuh Amber. Beberapa detik kemudian, ada sesuatu yang membuatnya heran. Lantas ia pun melepaskan lagi tubuh sang adik. Ditatapnya wajah cantik itu dengan gembira.
"Hei, Sayang. Kau baru berumur dua belas tahun 'kan, tapi tubuhmu benar-benar tinggi sekarang!" seru Charlotte. "Ya, ampun. Aku baru sadar kalau aku sudah lama sekali meninggalkan kastil ini!"
"Yang mulia, perjalanan anda pasti sangat melelahkan," timpal Berenice. Ia pun memeluk tubuh keponakannya itu. "Bagaimana kabar anda, Yang mulia?" tanyanya berbasa-basi. Padahal, mendengar kabar bahwa Charlotte telah diusir membuat hatinya sangat sedih.
Charlotte terdiam. Ia mengeratkan pelukannya lalu berbisi tepat di telinga wanita itu, "Bibi, kuharap kau benar-benar menyembunyikan kebenarannya dari Amber." Lantas, buliran bening pun meluncur dari kedua sudut matanya.
Berenice pun terdiam sejenak. Ia merasakan air mata Charlotte yang mulia membasahi pundak bajunya. "Semuanya akan baik-baik saja, Yang mulia. Dan Amber juga tidak diberitahu apa pun tentang musibah yang telah menimpa anda," jawabnya sambil berbisik. "Tenanglah, Yang mulia. Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja. Anda sudah pulang ke tempat yang aman."
"Saudariku."
Kedua mata Charlotte langsung membelalak lebar. Dilepaskannya pelukan dari sang bibi. Ia tahu betul suara siapa itu. Maka tangannya pun langsung mengelap pipinya yang basah. "Kakak!" panggilnya seraya melangkahkan kaki dengan cepat mendekati wanita berambut kuning keemasan itu.
Wajah kaku Nicole perlahan-lahan dihiasi senyuman. Senyum yang getir. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya ketika menerima pelukan dari Charlotte. "Maaf, karena aku telah mengirimkan surat itu."
"Maaf?" Charlotte terhenyak. "Memangnya apa yang salah dengan surat itu, Kak?" tanyanya heran.
Nicole pun berbisik, "Aku menuliskan surat itu ketika sebuah firasat jelek muncul begitu saja di kepala. Entah kenapa hal itu benar-benar terjadi." Wanita itu mengelus-elus punggung adiknya pelan. "Aku sangat menyesal telah mengirimkan dirimu ke sana, tolong maafkan aku."
Charlotte terdiam. Ia kaget sekaligus tersanjung mendengar Nicole mengatakan hal itu. Entah apakah Nicole hanya sedang bersandiwara, tapi hatinya sekarang sangat senang. Jika memang benar, maka Nicole ternyata sangat sayang kepada adik tirinya itu. "Terima kasih karena telah mengkhawatirkan aku, Kak. Kau tidak perlu meminta maaf seperti itu," jawabnya.
"Tidak. Maafkan aku, Charlotte." Saat itu juga, Nicole merasa tubuhnya sangat lemas. Kepalanya berdenyut. Penglihatannya mulai kabur.
"Kakak?!" Charlotte berteriak. Ia menyadari bahwa ada yang salah dengan Nicole. Tubuh kakaknya terasa berat. Ketika ia hendak melepaskan pelukan dari kakaknya itu, tubuh Nicole hampir saja roboh. "Pengawal, lekas kemari!" pekiknya.
Keadaan yang haru itu berubah gempar. Sang ratu terlihat tak sadarkan diri. Jika tidak segera ditahan oleh Charlotte, mungkin tubuh sang ratu akan terjatuh begitu saja. Para pengawal dan penghuni istana yang berada di sana berbondong-bondong berlarian menghampiri mereka. Nicole segera dibawa ke dalam istana.
Charlotte, Amber, Berenice, Elaina, dan Casia menunggui Nicole di dalam kamarnya. Di sana, beberapa juru rawat terlihat pesimis.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada kakakku?!" Charlotte memekik cemas. "Kenapa sang ratu bisa pingsan secara tiba-tiba seperti tadi?!"
"Beberapa bulan ke belakang, yang mulia ratu memang tidak sehat," sahut Casia. "Yang mulia ratu sering jatuh pingsan, kondisinya terus melemah."
"Apa?!" Charlotte langsung terperanjat. "Beberapa bulan ke belakang? Kenapa aku baru diberitahu sekarang?!" tanyanya tak percaya. Lantas, ditatapnya semua yang ada di ruangan itu satu per satu. "Kenapa tidak ada yang menjelaskan kebenarannya padaku di dalam surat yang kalian kirim?!"
Berenice tak tahan lagi untuk menimpali. Selama ini ia lah yang selalu mengirim surat untuk Charlotte. "Maafkan saya, Yang mulia. Ratu Nicole tidak mengizinkan saya untuk menuliskan kabar tentangnya yang sedang sakit," terangnya sambil menatap Charlotte. Wajahnya tampak sedih.
"Apa?!" Charlotte memekik lagi. "Kenapa begitu, seharusnya kalian tetap memberitahu kebenarannya!"
Saat itu juga, Charlotte merasakan tangannya ditarik oleh Nicole. Ketika ia menolehkan kepala dan melihat kakaknya itu, sang ratu terlihat sudah membuka matanya lagi. "Kakak, syukurlah kau sudah sadar!" Air mata Charlotte langsung mengalir deras.
Wajah pucat Nicole terlihat menampakkan senyum. "Aku senang kau kembali, Charlotte," desisnya. Sang ratu tampak sulit untuk berkata-kata. "A--aku ...," ucapnya dengan terengah-engah. "Aku ingin mewariskan takhta ini ... padamu."

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang