2. The Abandoned Daughter

52 8 11
                                    

"Kuucapkan selamat kepadamu, Kakak."
Nicole menoleh setelah sekian menit terdiam sendiri di singgasana. Beberapa hal mulai berkecamuk di pikirannya. Seharusnya ia senang, impiannya selama ini telah tercapai. Kembali lagi ke istana sebagai penguasa, sama seperti cita-cita mendiang Ratu Davira, ibundanya. Sejak kecil, ia memang diberitahu bahwa nanti dirinya akan menjadi penguasa, karena ratu tidak kunjung melahirkan seorang putra. Dan benar ternyata hal itu benar-benar terjadi.
Sementara Charlotte, mendapat tatapan dingin dari kakak tirinya, ia jadi ketakutan sendiri. Lebih tepatnya, sang putri hanya khawatir karena selama ini hubungan mereka tidak pernah baik. "Selamat dan semoga panjang umur untukmu, Ratu Hartigan," ucapnya lirih. Ya, hanya itu yang bisa ia katakan sekarang.
Nicole kebingungan sendiri untuk menjawab kata-kata yang meluncur dari mulut adik tirinya barusan. Rasanya aneh. Selama ini, hampir setiap hari, pikirannya diracuni hasrat ingin menyingkirkan, bahkan melenyapkan dua gadis yang kini membungkuk di hadapannya. Terutama, gadis kecil bernama Amber yang tidak pernah mau menunjukkan senyum untuknya itu.
"Yang mulia, mereka sedang memberi hormat kepadamu". Casia berbisik lirih di telinga Nicole. Jika ia tidak segera menyadarkan ratu berambut keemasan itu dari lamunan, mungkin selamanya kedua putri raja itu akan terus membungkukkan badan.
"Berdirilah, Saudariku!" ucap Nicole dengan lantang. Ketika melihat dua adik tirinya berdiri lagi, ia memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Seperti tidak mau beradu tatap dengan mereka. Seolah mereka hanyalah orang asing semata, atau lebih dari itu, sebagai musuh.
Bayang-bayang ketika upacara pemakaman Raja Hartigan berlangsung tujuh hari yang lalu, masih membekas di ingatannya. Dia bisa duduk di singgasana orang yang paling dibencinya kini layaknya mimpi belaka. Dan sejak tiga jam yang lalu mahkota raja dipakaikan padanya, ia merasa seperti memikul beban yang amat berat.
Pesta perayaan naiknya ia ke takhta raja justru tidak bisa dinikmati sama sekali oleh Nicole sendiri. Sementara kedua putri diajak para dayang untuk menari, ia hanya bisa melamun dan memikirkan apa yang akan terjadi padanya nanti.
Menyadari kegalauan yang terlukis jelas di wajah sang ratu, Casia pun memutuskan untuk mengajaknya mengobrol demi menghilangkan ketegangannya. "Yang mulia, kenapa anda terlihat bingung?" tanyanya dengan penuh kelembutan.
Nicole menoleh lalu menatap Casia. "Aku takut, Bibi," jawabnya getir. "Di sini, aku justru merasa ditatap sebagai seorang musuh. Lagipula tidak ada yang benar-benar kukenal seperti dirimu. Bahkan adik-adikku, keluargaku sendiri, semua terasa asing." Sang ratu menatap pengasuh sekaligus penasehatnya itu dengan senyuman getir. "Aku takut nasibku akan berakhir seperti ibu, dihukum mati oleh orang terdekatnya sendiri."
Casia langsung terperanjat mendengarnya. "Yang mulia, kenapa anda berbicara seperti itu?" tanyanya tercekat. "Sekarang, anda di sini sebagai ratu. Anda yang memegang posisi menggantikan raja. Itu berarti, anda lebih kuat dari siapa pun." Ia berbicara sedikit berbisik agar tak ada siapa pun di pesta itu yang bisa mendengar. "Tidak ada yang harus anda takuti, Yang mulia. Justru mereka yang harus tunduk pada anda!"
"Bibi, mendiang Ratu Davira dulu meninggalkan kerajaannya sendiri dan menjadi ratu di sini. Lalu, beliau malah kehilangan kepalanya karena suaminya sendiri." Sembari membisikkan hal itu, air mata mulai meluncur dari kedua pelupuk mata Nicole. "Beliau juga pernah bilang, tidak ada hal yang perlu ditakutkan oleh seorang putri raja, tapi apa kenyataannya?"
Casia terdiam kali ini.
"Raja Xander, suaminya sendiri, lebih percaya dengan omongan-omongan orang lain dan memilih untuk menghukum mati istrinya. Lalu mengusir anaknya sendiri dari istana bahkan mencabut hak warisnya."
Casia tertegun. "Sekarang semua itu telah berakhir, Yang mulia. Anda telah mendapatkan lagi semua yang dirampas dari anda dulu." Ingin rasanya ia memeluk ratu yang selama ini dianggap sebagai gadis kecilnya itu, tapi ia ingat ini adalah upacara perayaan. Ia hanya bisa diam dan melihat bagaimana Nicole menyeka sendiri air matanya dengan sapu tangan. Namun pada akhirnya ia lega karena sang ratu tidak melanjutkan lagi tangisnya.
***

"Kabar buruk, Yang mulia!"
Satu bulan telah berlalu sejak upacara perayaan Nicole naik takhta. Hari-hari di istana justru tidak membuatnya bahagia. Begitu juga kekakuan yang terjadi di antara dirinya dan kedua adik tiri belum mencair. Lantas hal apa lagi yang akan menimpa Nicole kini? Melihat wajah Ophir yang kini berdiri di hadapannya, ia malah berfirasat buruk.
"Pasukan dari Vederich telah menduduki Gauri!"
Nicole terperanjat kaget, tapi hanya bisa diam. Jantungnya berpacu sangat kuat. Kini ia baru sadar, ada hal menakutkan lain yang akan menerpanya sebagai seorang penguasa. Yaitu perang.
"Gauri?!" Casia berseru lantang. Ia pun berjalan mendekati Ophir. "Kenapa bisa kita diserang musuh seperti ini?!" Sepengetahuannya, Gauri adalah salah satu wilayah yang penting bagi rakyat Hartigan. Tanah perkebunan yang begitu subur.
"Maafkan kami, Yang mulia ratu." Ophir dan para pengawal lainnya pun berlutut. Cemas melihat ratu yang wajahnya langsung pucat pasi.
"Pa--pasukan dari ... Vederich?"
Tentu saja Nicole belum mengerti apa-apa. Selama di pengasingan, ia memang mendapat pendidikan yang layak. Ia belajar berbagai bahasa dan ilmu pengetahuan. Ia juga dilatih menggunakan tombak, panah, dan berbagai senjata lain. Namun, sayang sekali ia tidak pandai mengayunkan pedang.
"Yang mulia, kita tidak bisa diam saja!" Casia membalikkan badannya dan menatap Nicole lekat-lekat. Ia pun terkaget melihat ekspresi wajah sang ratu. "Ji--jika kita tidak melawan mereka, maka ...."
Casia memilih untuk membungkam saja mulutnya. Sang ratu yang tadinya berdiri kini terduduk lemas di singgasana. Jelas sekali ia ketakutan. Kedua tangannya mulai gemetaran. Yang paling ditakutkan dirinya adalah ketika ia harus berduel langsung dengan musuh.
"Yang mulia, kita harus cepat mengatur strategi perang!"
Lagi-lagi, Nicole merasa kepalanya seperti mau pecah. Strategi perang bagaimana yang harus ia jabarkan kepada mereka semua? Bagaimana bisa malah kenyataan seperti ini yang harus ia terima? Padahal baru juga kembali ke istana dari pengasingannya.
Baru saja dinaikkan, ia merasa terpuruk dan jatuh ke jurang yang paling dalam. Sebagai seorang penguasa, ia harus memimpin langsung perang melawan para musuh. Ia harus sigap untuk bisa mempertahankan wilayah kerajaan. Dan itu berarti, ia harus mempertaruhkan nyawa untuk memenangkan perang ini agar musuh tidak merajalela.
***

"Kakak, mereka mau ke mana?"
Charlotte bersama Amber ikut bersama yang lainnya mengantar para pasukan yang akan berangkat ke medan perang. Kini mereka menatap lurus ke arah rombongan yang baru saja mau meninggalkan istana.
"Mereka akan pergi berperang, Amber." Tatapan Charlotte kini terpaku pada sang kakak yang kini dibalut jubah perang. Nicole tampak gagah dengan topi dan pakaian pelindungnya itu. Rambut panjangnya yang keemasan masih terlihat menjuntai tapi diikat menjadi satu.
Semoga kau bisa pulang kembali dengan selamat, Kak. Begitulah Charlotte berdoa di dalam hati. "Amber, itu kakak kita, Nicole. Dia di sana bertindak sebagai seorang raja, menggantikan ayah untuk memimpin pasukan." Perempuan itu mengarahkan jari telunjuknya pada Nicole yang tengah berjalan menuju kereta kuda.
"Oh, ya?" Kedua bola mata Amber kini membulat dan berfokus pada apa yang ditunjuk kakaknya. "Itu Nicole?!" Kemudian ia malah berteriak nyaring.
Charlotte buru-buru menutup mulut Amber. Ia pun melempar senyum kepada Casia yang berdiri tidak jauh dari mereka. Mendengar nama Nicole diteriakkan, tentu wanita itu yang pertama kali menatap heran ke arah mereka.
"Kenapa Kak Nicole berdandan seperti laki-laki?" Begitu Charlotte menjauhkan telapak tangannya, Amber malah mengajukan pertanyaan. "Dan kenapa dia jadi satu-satunya wanita yang ikut ke medan perang?"
Charlotte membungkukkan badan untuk menjajari tinggi badan sang adik. "Karena Kak Nicole adalah seorang ratu, yang merangkap posisi raja," katanya menjelaskan. "Nanti jika kami berdua sudah tiada, Amber juga akan berada di posisi yang sama."
"Tidak!" Amber berteriak lagi. "Aku tidak mau kalau sampai Kak Charlotte tiada, tapi kalau Kak Nicole yang tiada, tidak apa."
Charlotte malah mencubit pipi Amber dengan gemas. Seketika, gadis kecil itu meringis kesakitan. Saat itu juga, Elaina langsung datang mendekat. Ia adalah wanita yang telah mengurus Amber sejak lahir, dayang dari mendiang ratu.
"Amber, tidak baik berbicara seperti itu, ya." Elaina mengelus pipi Amber yang baru saja dicubit. "Lebih baik, sekarang Amber mendoakan agar Kak Nicole bisa pulang dengan selamat dan memenangkan perangnya."
"Amin!" Amber berteriak lagi. Lalu ia pun tertawa cekikikan. Dipeluknya Elaina dengan sayang. "Bibi, temani aku buang air kecil!"
Elaina pun membawa Amber pergi dari tempat itu. Tinggallah Charlotte bersama penghuni istana yang lainnya. Mereka memandang barisan pasukan yang mulai bergerak menjauhi istana. Dan setelah semuanya keluar, gerbang itu pun ditutup.
Charlotte bersama para rombongan bergerak dari halaman belakang itu dan masuk kembali ke istana. Ia berjalan diikuti Berenice dan para dayang. "Putri, apakah anda sudah menyampaikan kepada sang ratu, hasil diskusi kita semalam?" tanya Berenice. Ia adalah dayang sekaligus sahabat bagi Charlotte.
Charlotte kembali gundah mendengar pertanyaan itu. Langkahnya terhenti. "Belum. Aku baru mendiskusikan hal itu pada Bibi Casia," jawab Charlotte sambil menatap Berenice yang terlihat penasaran.
"Lalu, bagaimana tanggapan beliau?"

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang