7. The Coronation Excuse

27 6 15
                                    

"Paman, bagaimana lagi caranya meluluhkan wanita?!"
Rainer yang sedang berjalan di sebuah lorong terkejut dengan kedatangan Alister yang tiba-tiba. Begitu berbalik, ia langsung disuguhi pemandangan yang cukup mencengangkan. Wajah sang pangeran nampak tegang, tapi juga ada semburat malu di sana.
"Memangnya wanita mana yang mau anda luluhkan hatinya, Yang mulia?" Rainer tertawa kecil. "Maafkan saya, Pangeran. Saya hanya terkejut karena hati anda mulai melunak!" serunya. Ia lalu menepuk pundak sang pangeran dengan pelan. "Masih ada waktu kurang dari satu bulan sebelum upacara pengukuhan anda sebagai raja, dan sebenarnya saya sudah memiliki satu ide."
Alister menyipitkan matanya, tampak penasaran. "Ide apa, Paman?!" timpalnya. "Jujur, aku sangat gugup. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa punya keturunan dengannya. Dia selalu diam bahkan seperti ketakutan saat berduaan denganku di kamar!"
"Wajar jika putri terus berusaha memaklumi anda, Pangeran. Dia berusia tiga tahun lebih tua dari anda," terang Rainer. "Yang mulia, selain rasa aman, wanita sangat suka dengan pujian dan hadiah. Untuk itu, saya berencana agar pangeran mengadakan pesta ulang tahun untuk putri yang tidak lama lagi."
"Ulang tahun ... Charlotte?!" Alister berseru. "Itu ide yang bagus, Paman!" Alister langsung tersenyum. "Bahkan aku tidak tahu tanggal lahir istriku sendiri?!" Di kepalanya, ia mulai membayangkan bagaimana senangnya sang putri nantinya. Namun, harapan itu langsung terbuyar tatkala ia mengingat suatu hal.
"Paman, kita tidak bisa berpesta. Osmond sedang berduka karena wafatnya baginda raja," keluh Alister. Seketika senyum di wajahnya luntur. "Aneh. Bagaimana bisa aku berpikir untuk kesenangan sendiri, sementara ayah baru beberapa hari yang lalu meninggalkan kami?"
Rainer pun ikut kecewa. "Maafkan saya, Yang mulia!" serunya. "Kenapa bisa saya berpikir untuk mengadakan pesta seperti itu?!" Ia jadi malu pada dirinya sendiri. Bergegas mencari ide lain untuk membantu pangeran. "Begini saja. Jika tidak mungkin untuk mengadakan perayaan, anda bisa memberikannya beberapa hadiah."
Selanjutnya, Alister pun benar-benar mengikuti saran dari Rainer. Charlotte, para dayang, kerabat istana, bahkan para pelayan pun dikejutkan dengan barang-barang yang tiba-tiba dibawa ke kamar sang putri.
Beberapa peti berisi perhiasan, kosmetik, parfum, gaun, sepatu, selimut, taplak meja, karpet, bahkan gorden yang masih anyar diangkut ke sana. Sontak, barang dan perlengkapan di kamar sang putri pun diganti semua dengan yang baru.
"Atas perintah putra mahkota?!" Charlotte tersentak. Ia tak habis pikir kenapa tiba-tiba Alister seperti itu. Sang putri terdiam dan berpikir. "Baiklah, aku mengizinkan. Toh, ini juga kamar pangeran bukan?"
"Baik, Yang mulia!"
Para pelayan yang dikirim langsung oleh sang pangeran pun langsung mendekor ulang kamar itu dan meletakkan barang baru sesuai tempatnya.
Heidi dan para dayang sangat antusias menengok gaun-gaun serta perhiasan untuk sang putri itu. "Yang mulia, lihatlah. Ini gaun-gaun yang sangat indah!" Heidi berseru. Dalam hati, sang bibi sangat senang dengan perubahan hati sang pangeran yang tiba-tiba. "Pangeran Alister diam-diam sangat mencintai istrinya!"
Mendengar itu, Charlotte terkaget-kaget. Semburat merah keluar mewarnai pipinya yang putih. Ia jadi malu sendiri. "Aneh sekali. Kenapa tiba-tiba pangeran melakukan semua ini?!" gumamnya. "Apa mungkin sekedar menghibur hatinya yang sedang berduka jadi ia ingin suasana baru?"
"Yang mulia, Pangeran Alister menitipkan sepucuk surat untuk anda!" Seorang pelayan menyodorkan sebuah surat dan setangkai mawar merah pada Charlotte. Gadis itu tersenyum lebar melihat putri menatapnya kaget.
Charlotte menerima surat dan bunga itu dengan gugup. "Terima kasih," desisnya. Ia pun membuka lipatan surat itu. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Sepasang bola matanya mulai bergerak membaca deretan kata-kata di atas kertas itu.
Ratuku, maaf jika selama ini aku kurang memberikan perhatian padamu. Hari ini adalah hari kelahiranmu, tapi maaf aku tidak bisa memberikanmu pesta yang megah karena Osmond masih berduka. Sebagai gantinya, maukah kau menghabiskan waktu denganku malam ini?
"Hah?!" Charlotte tercengang. Tangannya menggenggam surat itu dengan erat lalu bergumam sendiri. "Bukankah setiap malam, kita selalu tidur di ranjang yang sama?"
"Kenapa Pangeran Alister tidak datang ke sini untuk mengantar langsung semua barang ini ya?" celetuk seorang dayang yang langsung menyadarkan Charlotte dari lamunannya.
Para dayang itu tertawa kecil. "Sudah kuduga, pangeran sebenarnya seorang yang pemalu. Mungkin dia baru berani melakukan ini sekarang, ketika sang raja telah tiada."
Mendengar itu, Heidi langsung memberikan isyarat agar mereka semua berhenti berceloteh. "Ekhem. Sebaiknya kita bantu para pelayan menata barang-barang ini dan berhenti mengobrol!"
Makan malam pun tiba. Alister yang baru datang langsung duduk tepat di samping Charlotte. Seketika, dua-duanya langsung merasa grogi. Teringat akan isi surat yang diberikan kepada sang putri. Alister malu, sementara Charlotte masih kebingungan. Mereka pun mulai makan.
"Yang mulia." Setelah cukup lama berdiaman, Alister memutuskan untuk membuka obrolan. "Setelah makan nanti, jangan langsung pergi. Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan di sekitar taman."
Charlotte terbengong-bengong. Berhenti menyuap makanannya. "Bukankah selama ini justru anda yang selalu selesai makan duluan dan meninggalkan saya sendirian di sini?" celetuknya.
Alister buru-buru mengambil sebuah cangkir lalu menenggak habis isinya. Pura-pura tidak mendengar omongan Charlotte barusan. Beberapa detik kemudian ia pun terbatuk-batuk.
Charlotte pun langsung mengambil sapu tangan dan menyodorkannya pada sang pangeran. Alister sontak menoleh. Keduanya beradu tatap dalam waktu yang cukup lama. Dengan jantung yang berdebar dua kali lebih cepat.
Para dayang dan pelayan yang melihat pemandangan itu pun kaget dan jadi merasa gemas. "Lekas seka bibir pangeran dengan sapu tangan itu, Tuan putri!" celetuk seorang pelayan yang langsung ditepuk pundaknya oleh pelayan yang lain.
Mendengar itu, Alister langsung menarik sapu tangan itu lalu mengelap bibirnya sendiri. Charlotte pun sontak mengalihkan pandangannya kembali pada makanan di atas meja.
Selesai menyantap menu makan malam itu, akhirnya Charlotte mengikuti langkah Alister. Keduanya berjalan berdua melewati lorong-lorong di kastil yang megah itu. Lalu tibalah mereka di taman istana.
Charlotte takjub melihat pemandangan malam itu. Ketika pandangannya teralih ke atas, begitu banyak bintang bertebaran di langit. Bulan pun terang benderang, seolah ikut menyemarakkan hati mereka yang mulai ditumbuhi kuncup bunga.
"Pangeran, aku baru tahu kalau pemandangan malam di luar sangat indah!" Charlotte berseru girang. Dan ketika menolehkan kepala, ia dikejutkan dengan senyum Alister. Kedua mata sang pangeran sedang menatapnya dalam-dalam.
Alister perlahan-lahan mendekatkan dirinya. Ia pun meraih kedua lengan Charlotte. Lalu meremas-remasnya pelan. Entah apa yang harus diucapkannya, ia jadi bingung sendiri. Sementara perempuan di depannya terus menunggu dengan jantung yang berdegup kencang, tapi Alister hanya diam dan menundukkan kepala. Bibirnya terasa kaku.
"Kakak, kalian sedang apa di sana?!"
Keduanya pun langsung menoleh berbarengan. Dari kejauhan, tampak sesosok pemuda berlarian ke arah mereka. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang rupawan. Siapa lagi kalau bukan Alaric, adik kandung Alister. "Yang mulia, anda cantik sekali malam ini. Di bawah sinar bulan, wajah anda tampak berseri-seri!" pujinya.
Charlotte pun terperangah. Malu. Kepalanya sontak ditundukkan. Menatap kedua tangannya yang masih digenggam oleh Alister.
"Pergilah. Aku hanya ingin berdua bersama istriku sekarang!" Tentu saja Alister merasa sangat terganggu dengan kehadiran adiknya itu.
Alaric terkekeh pelan. Tangan kanannya melambai ke udara. Senyumnya kembali mengembang. Ia pun membalikkan badan dan melangkah pergi.
Satu bulan berlalu, tibalah saatnya upacara kenaikan takhta raja. Alister dan Charlotte diarak menuju singgasana lalu bergantian menerima mahkota raja dan ratu. Kini, keduanya telah resmi menjabat sebagai penguasa tertinggi di Osmond.
"Hidup raja dan ratu!"
"Hidup!"
Upacara itu pun ditutup dengan perayaan di alun-alun istana. Keduanya diarak di dalam kereta kuda. Para rakyat berbondong-bondong datang dan ikut merayakan acara tersebut. Perayaan itu dilakukan sepanjang hari, hingga hari berganti malam. Diakhiri dengan pesta kembang api yang mewarnai langit malam yang indah di Osmond.
Malam itu juga, di hadapan para kerabat dan tamu kehormatan istana, Alister dan Charlotte pun berdansa. Tidak seperti suasana dua tahun yang lalu, saat mereka menikah. Semuanya sekarang telah berbeda. Raja dan ratu saling menatap satu sama lain dengan wajah yang berseri-seri dan tak luput dari senyuman.
Melihat romantisme itu, Alaric hanya bisa bertepuk tangan dari kejauhan. Quirin pun langsung datang menghampirinya. "Yang mulia," tegurnya.
Alaric lantas menolehkan kepala. Ia menatap wajah Quirin sejenak, lalu kembali teralih pada pemandangan raja dan ratu yang sedang berdansa.
"Jika boleh berpendapat, saya sangat heran melihat perubahan pada diri Pangeran Alister," seloroh Quirin. Lelaki berkepala plontos itu. "Sangat kentara, Pangeran."
Alaric tertawa kecil. "Perubahan seperti apa maksudmu?" tanyanya berbasa-basi. Padahal ia sudah tahu pembicaraan tersebut akan mengarah ke mana.
"Pangeran Alister belakangan ini sangat memanjakan sang putri dengan berbelanja banyak barang-barang entah apa saja itu. Saya khawatir dengan pendapat para kerabat bahkan juga pelayan, bahwasanya Raja Osmond yang baru ini sangat cenderung boros."
"Dan raja itu adalah kakak kandungku, Paman."
"Dan dia juga adalah keponakanku, Yang mulia. Sangat disayangkan." Quirin tersenyum kecut. Lelaki tua itu lalu menyodorkan gelasnya pada Alaric. "Demi keselamatan Osmond!" serunya. Mereka saling menautkan gelas itu lalu menenggak isinya secara bersamaan.

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang