8. The Sweet Poison

22 4 0
                                    

Dua bulan telah berlalu sejak pesta perayaan naiknya Alister ke takhta raja. Hubungannya bersama Charlotte semakin baik, apalagi sejak sang ratu dikabarkan tengah hamil. Mereka sangat bahagia dan lebih sering bersama ketika di kastil, tidak seperti dua tahun awal pernikahan mereka.
Pagi ini, Charlotte meminta ditemani berjalan-jalan di taman istana. Alister yang belum tahu bagaimana caranya menyenangkan hati perempuan pun berusaha untuk selalu mengikuti saja keinginan sang istri.
"Yang mulia, tiba-tiba saya ingin memakan buah-buahan."
Alister terkejut mendengar permintaan Charlotte yang tiba-tiba. Padahal, mereka sudah berjalan cukup jauh dari kastil. "Baiklah, kau tunggu saja di sini. Aku akan segera membawa buah-buahan kemari!" seru Alister sembari melayangkan kedua kakinya. Ia langsung berlarian kembali ke istana.
"Tunggu, Yang mulia!" Terlambat. Alister sudah jauh dari pandangan. "Padahal, dia 'kan bisa meminta orang lain yang ada di dekat sini untuk mengambilkannya," gumam Charlotte. Ia pun melayangkan pandangan ke arah danau yang ada di depan. Bunga-bunga teratai yang ada di atas airnya sungguh cantik.
Charlotte membungkukkan tubuhnya perlahan, lalu duduk berjongkok di pinggir danau itu. Ia mulai merasa jenuh karena sendirian di sana. Tangan kanannya mulai meraih batu-batu kecil yang ada di sekitar lalu melemparnya ke dalam danau.
"Apakah anda sedang kesal, Yang mulia?"
Seorang pemuda tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Charlotte pun menolehkan kepala dan kaget melihat siapa pemuda itu. Lebih tepatnya, ia merasa tak siap bertemu pemuda itu sekarang.
Pemuda itu adalah Alaric. Pangeran berwajah tampan dengan senyumnya yang ramah. Perawakannya tak jauh berbeda dari Alister. Keduanya sama-sama berbadan tegap, berambut kuning keemasan, dan bermata biru.
Entah, sejak awal pertemuan mereka, sang putri merasa ada sesuatu setiap berhadapan dengan pemuda itu. Sebuah perasaan aneh yang sulit untuk diuraikan. Ia juga tak mengerti sebenarnya perasaan apa itu.
"A--aku ... tidak ada apa-apa." Perempuan itu tergagap. Langsung membuang tatapannya jauh ke danau. "Pangeran juga sedang berjalan-jalan di sini?" Ia mencoba mencairkan perasaan gugup yang menyerangnya tiba-tiba.
Alaric tersenyum miring. Ia pun duduk berjongkok tepat di samping sang ratu. "Yang mulia, saya tadi diberi buah ceri merah oleh pelayan yang lewat. Apa anda mau mencobanya?" tawarnya sembari menyodorkan beberapa buah kecil yang ada di atas telapak tangannya.
Charlotte mengambil beberapa buah itu lalu memakannya. "Terima kasih, Pangeran." Perempuan itu senang sekaligus takjub. Bisa-bisanya adik suaminya itu tahu kalau dia tiba-tiba ingin sekali memakan buah-buahan. 
"Saya tidak terlalu suka buah ceri," curhat Alaric. "Lalu, bagaimana menurut anda rasanya, Yang mulia?" Pemuda itu menatap wajah Charlotte yang sedang tersenyum.
"Manis!" sahut sang ratu. Ia pun menolehkan kepala lalu menemukan senyum manis dari sang pangeran. Wajahnya sangat berseri-seri diterpa sinar matahari yang cerah dari atas sana. Cukup lama keduanya saling tatap.
"Charlotte!"
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Keduanya terperanjat menyadari kehadiran Alister. Charlotte langsung berdiri dan mendekati suaminya itu. Terang saja, hanya muka masam yang ia dapati.
"Aku membawakan buah-buahan untukmu!" seru Alister. Terlihat sebuah keranjang berisi bermacam-macam buah sedang ditentengnya. Namun, tatapan matanya sedang memandang Alaric dengan sengit. "Sedang apa kau di sini?!" desisnya.
Alaric tertawa kecil. Ia langsung mendekati Alister dan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Maafkan saya, Yang mulia raja," jawabnya. "Saya hanya mencari udara segar di sini lalu tak sengaja melihat ratu sedang melempar-lempar batu ke danau karena bosan." Mata Alaric kini melirik Charlotte yang tampak ketakutan.
"Pergilah!"
Diminta seperti itu, Alaric pun langsung membalikkan badan dan pergi.
"Auw!"
Pandangan Alister kini teralih lagi pada Charlotte. Ia kaget melihat istrinya kini sedang meringis kesakitan sambil memegangi perut. "Apa yang terjadi?!" teriak Alister. Ia bergegas mendekati istrinya.
"Perutku ... sa--sakit!"
Alister kaget melihat darah segar yang mengalir di atas tanah.
***

"Apakah wajar jika mengeluarkan darah seperti itu, sementara ia sedang hamil?!"
"Ma--maafkan hamba, Yang mulia," jawab juru kesehatan istana. "Jika keadaannya seperti ini, berarti ... sang ratu telah kehilangan bayinya." Wanita tua itu menunduk sedih.
"Apa katamu?!" Alister yang emosi menggoyang-goyangkan bahu wanita itu. "Tidak mungkin. Kenapa bisa kau bilang begitu, sementara belakangan ini kau bilang ia sehat-sehat saja?!"
"Yang mulia!" Charlotte yang terbaring lemah di atas ranjang berusaha untuk menengahi. "Hentikan. Mengapa anda jadi memarahi bibi itu?!" Ingin rasanya ia melompat dan  mendorong tubuh Alister dari wanita tua itu, tapi apa daya ia tak mampu. Baru menggerakkan pinggang saja ia sudah kesakitan.
"Katakan, apa yang menyebabkan istriku bisa kehilangan bayinya begitu saja?!"
Charlotte terdiam. Pandangannya kembali kabur. Sekelebat bayang-bayang kejadian yang pernah ia alami tiba-tiba terlintas di kepalanya yang berdenyut nyeri. Ingatan itu berakhir sampai kejadian di mana ia bertemu Alaric dan memakan buah ceri dari tangannya.
Beberapa detik kemudian, kesadaran Charlotte benar-benar menghilang. Kedua matanya tertutup rapat.
***

Sebuah cahaya menyilaukan membangunkan Charlotte dari mimpi buruknya. Dalam mimpi itu, ia kembali seperti dulu. Seorang wanita yang berlarian ke kamarnya untuk menangis. Rindu dengan kehadiran adiknya, para dayang, serta para kerabat istana di Hartigan yang sangat menyayanginya.
Charlotte menolehkan kepala melihat ke arah jendela. Sinar matahari memasuki kamar melalui lubang besar itu. Ia tersadar sudah kembali ke dunia nyata. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan lagi.
"Yang mulia raja telah datang!"
Pintu kamar itu pun dibuka dari luar. Charlotte langsung menengok ke ambang pintu. Alister kini memandangnya dengan tatapan sedih. Lantas, buliran bening mengalir dari kedua sudut mata sang ratu.
"Aku telah kehilangan bayi kita?" Pertanyaan itu langsung meluncur dari bibir Charlotte. "Ma--maafkan aku, Yang mulia!" Ia pun menangis sejadi-jadinya. Namun, Alister langsung berlari dan memeluknya erat.
Alister memang diam membisu. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya, tapi Charlotte bisa merasakan basah di balik punggungnya. Perempuan itu sadar kini suaminya itu sedang menangis dalam diam. Selama ini Alister memang tampak dingin dan tegas, tapi rupanya kehilangan bisa membuatnya sedih sedalam itu.
Beberapa hari telah berlalu, Charlotte pun sudah kembali sehat. Pagi itu setelah sarapan, ia bersama kerabat istana yang lain melepas kepergian Alister. Sang raja hendak menghadiri sebuah rapat dengan para sekutu perihal keadaan perekonomian antar negara mereka.
"Selamat pagi, Yang mulia."
Charlotte menolehkan kepalanya. Suara langkah kaki mendekat. Ia kaget dengan kehadiran Alaric. Tentu saja, karena tiba-tiba terlintas kejadian sebelum ia mengalami keguguran. Yaitu ketika ia memakan buah ceri yang diberikan sang pangeran.
Sang ratu menelan ludahnya. Ia tak bisa membalas senyuman Alaric. Pikiran negatif itu masih bercokol di kepalanya. Ia menaruh curiga bahwa Alaric pasti telah menaruh racun di dalam buah ceri itu. Namun bagaimana caranya?
"Bagaimana keadaan anda, Yang mulia?" Alaric kini berdiri tepat di samping Charlotte. "Saya turut berduka karena ratu dan raja telah kehilangan calon penerus Osmond," ucapnya pelan. Seolah tidak ada hal buruk yang telah terjadi di antara mereka.
Ya, Charlotte memilih diam. Ia tak mau sembarang menuduh. Apalagi karena orang yang dituduhnya adalah seorang pangeran? Sekalipun ia bercerita, ia takut Alister tidak mau mempercayainya. Lebih buruknya, ia takut malah justru dirinya yang mendapat hukuman karena berani menuduh adik dari sang raja sendiri.
"Yang mulia?"
"I--iya?"
Charlotte kembali sadar dari lamunannya.
Alaric kini berdiri sangat dekat dengan perempuan itu. Tangan kanannya memegang di bahu sang ratu yang kelihatan gugup. "Wajah anda terlihat pucat, apa yang mulia sekarang baik-baik saja?" tanyanya berbasa-basi. Bukan Alaric namanya kalau tidak bisa berempati pada orang lain. "Yang mulia, saya akan mengantar anda sekarang juga!"
"Tidak, tidak perlu!"  Charlotte buru-buru menyahut. "Aku baik-baik saja. Aku merasa sehat," dustanya. Tentu saja ia harus menutupi kegelisahan yang sedang berkecamuk hebat di dalam dadanya.
Sejak kejadian itu, ia jadi takut untuk mempercayai Alaric. Charlotte memang tidak memiliki bukti untuk menuduhnya. Selain itu, juru kesehatan istana tidak pernah menyinggung soal racun sama sekali. Seolah keguguran yang terjadi pada janinnya harus dimaklumi begitu saja.
"Baguslah jika anda tidak kenapa-napa, Yang mulia." Alaric berujar lagi. "Saya hanya khawatir kalau-kalau ada hal buruk yang terjadi pada anda, sementara sang raja baru saja berangkat untuk perjalanan yang jauh."
Charlotte mendongakkan kepalanya untuk menatap Alaric. Ia mencoba menyelami kedua sorot mata itu. Entah kenapa, mendengar kalimat yang menyiratkan simpati itu, ia malah curiga.
"Yang mulia tenang saja. Selagi raja tidak ada, saya yang akan menjadi penjaga bagi anda."
Menjaga katanya? Bukankah setelah ia memberiku sesuatu untuk dimakan, justru aku harus kehilangan calon pewaris kerajaan ini?
Dulu senyum yang terlukis di wajah Alaric memang terlihat menenangkan, tapi entah kenapa kini malah terasa menakutkan bagi Charlotte.

to be continued

FREE, MY QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang