Diam dengan berbagai macam luka yang masih terbuka. Aku tetap memilih untuk menyembuhkannya sendiri tanpa memberikan penjelasan seberapa dalamnya luka yang menganga.
02. KEHORMATAN YANG DIRENGGUT SECARA PAKSA
Seorang pengendara motor Caferacer baru saja memasuki jalanan daerah kota Bandung. Pada saat itu juga, motor tersebut diikuti oleh empat motor serupa lainnya.
Gerald Elang Altezza. Dia adalah seorang pasukan dalam sebuah perkumpulan geng motor Agrefan. Di belakang motor yang dikendarai oleh Elang ada Razka, Zevan, Dirga, dan ketuanya—Laksana Chandrawana. Mereka adalah orang-orang inti dalam perkumpulan motor tersebut. Mereka tidak menyukai pertempuran, mereka hanya menyukai perkumpulan.
Suara deruman dari lima motor itu menggema di jalanan kota Bandung. Laksana kemudian menyalip motor Elang, ia memberi kode seolah menyuruh anggotanya untuk melaju cepat. Merasa bahwa motor yang ditumpanginya melaju semakin kencang, Senja lantas melingkarkan tangannya pada badan Elang.
Setelah menempuh perjalanan panjang, motor Elang akhirnya sampai di halaman rumah kecil minimalis. Di saat yang bersamaan juga, empat motor yang sedari tadi mengikuti Elang pun kembali putar arah untuk pulang. Tugas mereka untuk melindungi Senja di perjalanan malam itu telah tuntas.
Senja menyembunyikan tubuhnya dibelakang punggung Elang yang kekar ketika turun dari atas motor. Jemari Senja dikepalkan kuat sampai-sampai kuku panjangnya melukai telapak tangannya sendiri.
“Kak, gue takut,” adu Senja. Ada guratan gelisah pada mimik wajahnya, dan ada satu pikiran yang benar-benar mengganggu ketenangan Senja beberapa Minggu belakangan ini.
“Tenang, ada gue.” Elang memutar tubuhnya, menghadap ke arah Senja. Elang membenarkan rambut Senja yang berantakan akibat tertiup angin. Laki-laki itu sebisa mungkin berusaha untuk menenangi adik tirinya. Lalu, Elang merangkul pundak Senja untuk masuk kedalam rumah. “Selama ada gue, gue pastikan lo akan selalu aman.”
Ketika Elang membuka pintu, hal pertama yang mereka lihat adalah Rendra yang tengah bersedekap dada di depan pintu, sementara Erina menangis di atas sofa depan televisi. Rendra dan Erina sama-sama menatap penuh kecewa ke arah Senja.
“Ada apa ini, Pa? Siapa yang udah bikin Bunda nangis? Papa?” todong Elang. Rangkulan di pundak Senja di lepaskan, beralih untuk mendekat ke arah Bunda tirinya—Erina.
BRAKK!
Hantaman keras terdengar nyaring di ruangan bernuansa putih itu. Pintu yang sempat dibuka oleh Elang, di tutup dengan sangat kuat oleh Rendra. Alhasil, Senja, Elang, dan Erina sama-sama terperanjat kaget.
“Apa-apaan sih, Pa?!” Elang kembali berdiri dari posisi duduknya. Emosi yang sedari tadi ia tahan kini mulai terpancing kembali.
“DIA!” telunjuk Rendra menunjuk ke arah wajah Senja yang memerah. Tangan kekar itu jelas menunjukkan urat-uratnya yang menonjol. Begitupun dengan urat-urat di sekitar leher dan pelipisnya yang tercetak jelas. “DIA PENYEBABNYA!”
Perasaan Senja semakin tak karuan. Kedua tangannya saling menaut dengan kepala yang menunduk dalam.
“ANAK SEPERTI DIA HARUS DIBERI PELAJARAN AGAR OTAKNYA SELALU DIGUNAKAN UNTUK BERPIKIR SECARA WARAS!”
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA: Kekasih Dalam Ilusi
Teen Fiction"Barangkali semesta berbaik hati, untuk menghadirkanmu sekali lagi." -Dermaga Aksa Devantara Karena kehilangan yang ia alami, Dermaga menjadi sosok yang pendiam, tertutup, dan tak lagi bisa menikmati keceriaan hidupnya. Jiwa Dermaga hancur berantaka...