Beradaptasi dengan fase kehilangan adalah tahap paling menyakitkan dalam kehidupan.
07. TERBANG TERLALU TINGGI, JATUH TERLALU DALAM.
Sahara Airlines
Dari jarak pandang mata yang jauh, tulisan besar berwarna merah pada body pesawat putih itu terlihat sangat mencolok. Pesawat itu besar dan gagah. Namun, entah mengapa, ada keraguan yang sedari tadi menyarang di hati Dermaga. Firasatnya seolah memberikan bisikkan agar ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke Seoul hari ini.
“Ayo kita naik ke pesawat,” ajak seorang pria berusia sekitar 25 tahun. Dia, Ryan—om Dermaga dan Samudra. Ryan yang akan menemani perjalanan panjang mereka menuju Seoul. Ryan juga yang akan menjaga dua ponakannya di negeri orang selama beberapa hari kedepan.
“Ayok, bang, pesawatnya bentar lagi lepas landas.” Samudra menambahi, membuyarkan segala pikiran yang hinggap di kepala Dermaga. Laki-laki berusia tiga belas tahun itu lalu berjalan, membawa dua koper berisi pakaian dan segala kebutuhannya.
“Sam, kita pulang aja, yuk?” Dermaga tidak bisa menahan kegelisahan di hatinya lagi. Entah karena ia khawatir meninggalkan orang tuanya, atau ada hal lain yang mampu merenggut ketenangannya.
“Lah, kenapa? Padahal gue udah nggak sabar mau terbang tinggi.”
Perasaan Dermaga semakin tak karuan ketika mendengar kalimat terakhir yang baru saja di ucapkan oleh Samudra.
“Ayolah, jangan lambat, om Ryan udah jauh, tuh.” Samudra kemudian berlalu tanpa mau mendengarkan apapun lagi dari Dermaga.
“Sam!” teriak Dermaga sembari berdecak. Kaki jenjangnya melangkah lebar, ia tidak mau kehilangan jejak dan berpisah dengan adiknya di tengah-tengah kepadatan manusia yang hilir mudik.
Alis serta kening Dermaga mengerut karena pancaran sinar matahari. Sebelah tangannya menarik koper, dia juga menggendong satu tas besar yang tampak penuh. Sesekali Dermaga membenarkan topi yang dikenakannya karena matahari sangat menyilaukan mata.
“Buru-buru banget sih, lo, ah!” Dermaga menggerutu di tengah-tengah langkahnya yang lebar.
“Lama, sih. Bengong mulu kerjaannya,” ketus Samudra, seraya memutar bola matanya malas.
Dua pasang kaki itu kemudian melangkah saling beriringan. Badan pesawat yang ada di hadapan mereka pun terlihat semakin besar ketika jarak pandangnya semakin dekat. Namun, ketika Dermaga dan Samudra akan menginjakkan kakinya di tangga pesawat, Samudra tiba-tiba menghentikan langkahnya karena menyadari sesuatu.
“Bang, lo cuma bawa satu koper? Bukannya tadi bawa dua, ya?” tanyanya.
Dermaga tersentak mendengar kalimat itu. Dermaga ingat betul, bahwa sedari tadi dirinya membawa satu tas gendong, dan dua koper bagasi. Lalu, satu kopernya lagi tertinggal dimana?
Sial!
“Ketinggalan disana kayaknya.”
“Anjir! Bego banget lo, bang! Cepetan ambil, jangan lama, nanti lo ketinggalan pesawat.”
Dermaga mengangguk, ia menyimpan tasnya di dekat koper miliknya yang ia bawa. “Lo tetap disini, jangan kemana-mana. Nanti masuknya barengan sama gue, paham?”
“Iya, cepetan sana!“ Samudra mendengus sebal. Moodnya mendadak kacau hanya karena ulah abangnya.
“SAM!” dari posisi yang sudah cukup jauh, Dermaga membalikkan badannya seraya berteriak kepada Samudra. “JANGAN KEMANA-MANA, TUNGGU GUE!”
KAMU SEDANG MEMBACA
DERMAGA: Kekasih Dalam Ilusi
Teen Fiction"Barangkali semesta berbaik hati, untuk menghadirkanmu sekali lagi." -Dermaga Aksa Devantara Karena kehilangan yang ia alami, Dermaga menjadi sosok yang pendiam, tertutup, dan tak lagi bisa menikmati keceriaan hidupnya. Jiwa Dermaga hancur berantaka...