20꒷꒦˖TITIK AWAL KERETAKAN

1.6K 150 14
                                    

“Kak, aku bukan Senja.”

Dermaga Dermaga mendadak terdiam, dan menghapus air matanya secara kasar. Ia mulai melepaskan pelukan itu untuk melihat siapa perempuan yang ada dihadapannya. Hatinya terasa begitu sakit, ketika khayalannya tidak sesuai dengan kenyataan.

“Lo liat Senja?” tanya Dermaga, banyak sekali luka dan harapan yang bisa gauri lihat dalam sorot mada sendunya.

“Cewek gue kemana, Gau? Tadi dia ada disini...” kedua netranya kembali mengerling untuk menemukan sosok yang ia cari.

Tanpa bisa bereaksi lagi, Gauri hanya diam membatu, memperhatikan dengan seksama ekspresi kegelisahan yang terpantul jelas pada wajah Dermaga. Mata Dermaga memerah, memperlihatkan rasa sedih yang mendalam dan tangis yang tertahan karena tidak dapat menemukan kekasihnya.

Gauri tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Dengan hati-hati, ia memutar kepala dan menemukan seorang laki-laki yang datang dengan wajah pucat. Butiran-butiran keringat dingin mengalir di pelipisnya, di tambah dengan kecemasan yang terasa nyata. Dari ekspresi laki-laki itu, terlihat dengan jelas bahwa ia sangat mengkhawatirkan kondisi Dermaga.

Legenda berjalan, menarik lengan Dermaga untuk menepi dari jangkauan pandangan orang-orang. Melindungi Dermaga dari sorotan dan perhatian yang mungkin tidak diinginkan dalam situasi yang sedang terjadi saat ini.

“Lo belum minum obat, Mag?” tanyanya. Tangannya yang gemetar menyelinap masuk kedalam saku celananya untuk mengambil obat yang sengaja Legenda simpan jika sewaktu-waktu Dermaga lupa membawanya.

Tanpa menghentikan pergerakan, Legenda membiarkan tubuh Dermaga merosot ke bawah, duduk lesehan di atas keramik. Gauri ikut pun ikut berjongkok, menunjukkan rasa prihatin yang sama. Di waktu itu juga Legenda mulai mengobrak-abrik tasnya, mencari sebotol air mineral yang sempat ia beli sebelum berangkat ke sekolah.

“Minum obatnya sekarang.” perintah Legenda dengan sedikit paksaan tanpa mau di bantah. Namun, Dermaga menepisnya, menolak obat tersebut secara cuma-cuma.

Di tempat itu, Gauri hanya bisa termenung sambil menelisik wajah kedua laki-laki yang berada di hadapannya. Dalam diamnya, Gauri mulai memikirkan apa sebenarnya yang terjadi kepada Dermaga. Apakah Dermaga sedang mengalami masalah kesehatan yang tidak diketahui? Namun, saat Gauri melihat dengan seksama kondisi fisik Dermaga yang tampak sehat, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Dermaga mengidap penyakit serius.

“GUE NGGAK MAU MINUM OBAT ITU, LEGENDA!” Dermaga menepis tangan Legenda dengan kasar hingga butir obat yang ada di tangannya terjatuh.

“Lo harus minum obat ini!”

Kedua tangan Dermaga mulai mengepal, “LO NGGAK PAHAM SAMA UCAPAN GUE, HAH? GUE NGGAK MAU!”

Legenda cukup terkejut dengan bentakan itu, begitu juga dengan Gauri yang spontan menutup mulutnya.

“Gue muak, Gen. Capek..”

Dalam sekejap waktu suara itu berubah. Dermaga melirih begitu pilu, tidak memperdulikan Gauri yang kini sedang menatapnya kebingungan.

Legenda menghela napas panjangnya, berusaha menyikapinya dengan tenang. “Lo nggak bisa jauh dari obat. Sampai kapan lo mau kayak gini terus, Mag? Emangnya lo nggak mau sembuh?”

Tidak ada lagi jawaban yang terdengar dari Dermaga. Pandangannya yang semula menunduk perlahan terangkat, memperlihatkan ekspresi antara kebingungan dan harapan saat ia menatap wajah Legenda yang kini sedang menatapnya begitu dalam.

Tanpa memberi aba-aba sedikitpun, Dermaga menarik Legenda kedalam pelukannya. Ia mendekapnya dengan erat, seraya meremas seragam yang Legenda kenakan untuk menyalurkan emosi yang menyelimuti dirinya.

“Sam... Lo samudra, kan?” ujarnya, dengan suara kecil yang mirip sebuah bisikan. “Lo adek gue, kan?”

“Kata mereka, kalian udah pergi. Ternyata mereka salah, kalian masih ada.”

Pandangan Legenda dan Gauri bertemu, menciptakan keheningan yang terasa begitu mencekam. Legenda merasa bingung, tidak yakin akan langkah mana yang seharusnya ia ambil. Di sisi lain, dari sorot mata Gauri terpancar rasa keingintahuan untuk mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi kepada Dermaga. Sebab, Gauri merasa bahwa pagi ini Dermaga menunjukkan perilaku yang sangat aneh. Gauri juga tidak bisa menutupi rasa khawatir yang mulai merayap dalam dirinya.

“Kak...” ucap Gauri yang di tunjukkan kepada Legenda.

Legenda yang paham pun lantas menjawabnya, “Nanti, sekarang belum saatnya.”

Karena kondisi Dermaga yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pelajaran hari ini. Legenda memutuskan untuk membawanya ke UKS, di bantu oleh Gauri dengan beribu pertanyaan di benaknya.

Dₑᵣₘₐgₐ

Di sebuah gazebo, terdapat 6 orang laki-laki yang dengan bangga mengenakan jaket Agrefan sebagai simbol identitas mereka. Laksana duduk dengan santai, menikmati sekaleng minuman yang ia genggam. Elang dan Zevan terlihat tiduran dengan nyaman, menggunakan tangan mereka sebagai bantal, sementara Dirga, Razka, dan Rayden berdiri sembari bersedekap dada.

Dirga menghela napas pelan. Kemudian ia memilih membuka suara untuk memecah keheningan. “Kalian sadar nggak sih, ada sesuatu yang aneh dari Dermaga?”

Elang yang tertarik dengan obrolan itupun lantas terbangun dari posisinya, “Gue baru sadar pas kemarin. Waktu kita mau berangkat sekolah terus ketemu dia lagi duduk di tepi jalan, di bawah pohon sambil manggil nama Senja. Kalian ingat?”

Pertanyaan Elang di balas anggukan kompak oleh teman-temannya.

“Ada sesuatu yang kita nggak tau tentang Dermaga,” sambut Rayden. “Gue perhatikan, dia banyak berhalusinasi.”

Laksana yang mendengar penjelasan itupun mengerutkan alisnya, di sertai oleh tatapan yang tak lepas dari mimik wajah Rayden. “Darimana lo tau?” tanyanya.

“Setelah dua bulan lamanya lo tinggal di Jawa Timur, dan baru balik ke Bandung lagi beberapa hari ini, kenapa seolah lo lebih tau segalanya dibanding kita?” lanjut Laksana, ucapannya di tunjukkan kepada Rayden.

“Betul juga,” sahut Razka, ikut mengunci tatapannya pada Rayden. “Lo sering perhatiin Dermaga? Lo stalker dia, ya?”

Namun, Rayden membisu. Ia diam-diam melihat ke arah Zevan dengan ujung matanya. Lalu, ia berucap dalam hatinya. “Gue belum begitu yakin, jadi gue belum bisa ngasih tau kalian sekarang mengenai siapa sosok di balik topeng anonymous itu.”

“Gue baru inget,” cetus Elang. “Waktu itu, di vidio yang gue lihat, si cowok punya tato burung gagak di dadanya.”

Enam orang itu saling melempar tatap satu sama lain, dipenuhi dengan kecurigaan. Masing-masing dari mereka sangat yakin bahwa pelakunya ada di antara mereka, terutama setelah membaca surat dari Senja yang ditemukan Elang di kamarnya kemarin.

Di tengah suasana yang mendadak hening kembali, Zevan yang sedari tadi diam kemudian berpamitan, “Gue ke toilet dulu bentar.”

Di sisi lain, Rayden hanya bisa tersenyum samar melihat kepergian laki-laki itu. “Lo juga sama, Zev. Lo nyembuyiin sesuatu dari kita.”

“Sa,” panggil Rayden kepada ketuanya, Laksana. Laki-laki yang terpanggil itupun hanya membalasnya dengan dehaman kecil.

“Seandainya, ada orang yang berkhianat di antara kita gimana?”

Laksana tampak berpikir sejenak, merasa bahwa Rayden juga merasakan hal yang sama dengannya.

“Cut off,” jawab Laksana, tegas.

Karena Laksana tidak menghendaki kehadiran orang yang penuh kepura-puraan, dan tidak memerlukan orang yang berpura-pura baik demi tujuan tertentu, maka langkah terbaik bagi mereka yang gemar berpura-pura adalah memutuskan hubungan tanpa pernah mau berinteraksi sekalipun hanya dengan menyapa.







NEXT?

DERMAGA: Kekasih Dalam IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang