10꒷꒦˖DIKEBUMIKAN

11K 973 335
                                    

Aku kehilangan bagian dari jati diriku. Tersesat, dan hilang arah.

10. DIKEBUMIKAN.

Proses pemakaman Samudra saat ini sedang berlangsung. Tangis pilu Mentari masih terdengar begitu nyaring, linangan air mata yang mengalir membasahi pipinya belum juga surut. Mentari masih sangat terpukul. Wanita itu benar-benar merasa hancur.

Tempat peristirahatan terakhir Samudra dibuat disebelah makam Senja. Sesaat setelah liang lahat itu selesai dibuat, Ryan menarik tubuh Mentari agar mendekat ke arah liang lahat itu untuk menyaksikan pemakaman Samudra berlangsung.

“Lepas... Lepasin mbak, Yan. Mbak mau peluk Samudra.” Wanita paruh baya itu memberontak kuat meskipun terasa sia-sia karena tenaganya sudah terkuras habis akibat menangis.

“Mbak nggak boleh menghambat perjalanan Samudra terus. Kasian dia,” bisik Ryan hati-hati. Sebab, Ryan tahu betul bagaimana perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya untuk selamanya. Ryan tahu, akan sangat sulit mengobati luka di hati seorang ibu maupun seorang ayah. Mereka akan sangat sulit melupakan kejadian tragis yang menimpa anaknya.

Sementara Dermaga dan papanya pun ikut serta menyaksikan jasad Samudra yang dibalut kain putih itu mulai ditidurkan didalam tanah. Gibran menggertakkan giginya kala menyaksikan dengan jelas proses pemakaman itu. Jika ada orang yang bertanya, sesakit apa kehilangan seorang anak? Maka Gibran tidak akan menjawab. Karena rasa sakitnya tidak bisa di deskripsikan oleh apapun.

“Dermaga, apa kamu tau?”

Mendengar bisikkan dari papanya yang terkesan tiba-tiba itu, Dermaga lantas memutar kepalanya—menghadap ke arah papanya tanpa menjawab apapun.

“Tiga belas tahun yang lalu, Papa menyaksikan Samudra lahir kebumi. Dan sekarang, Papa menyaksikan Samudra dikebumikan.” Gibran tersenyum getir setelah menyelesaikan ucapannya, diiringi oleh keristal bening yang berjatuhan semakin deras dari pelupuk matanya.

Seseorang lalu datang, mendekat ke arah Gibran setelah Samudra berhasil di tidurkan di dalam lubang tanah itu. “Mas mau mengadzani putranya?” tawar pria baya tersebut.

Gibran mengangguk menyetujui tawaran itu. Ketika suara seraknya mulai mengalun dibawah sana, ada beberapa orang juga yang ikut menitikkan air matanya. Semua orang tau, bahwa Gibran sedang kecewa. Tapi, tidak ada seorang pun yang benar-benar paham bagaimana rasa sakit yang tengah Gibran rasakan saat ini.

Gibran kemudian kembali naik keatas setelah tugasnya selesai, dibantu oleh Ryan yang menariknya. Pria paruh baya itu terduduk lemas, melihat orang-orang yang mulai menutup kembali liang lahat itu dengan tanah. Gibran tidak mampu lagi menahan gejolak di dadanya, sehingga isak tangisnya kembali lolos begitu saja. Gibran mengeluarkan seluruh sesak yang menyeruak begitu kuat menghantam rongga dadanya.

Napas pria itu terputus-putus, detak jantungnya berdetak tak karuan, seluruh tubuhnya seakan di tikan oleh benda-benda tajam yang tak kasat mata. Hatinya seakan di serang oleh ribuan belati tajam.

Tidak ada satu kata pun yang bisa menggambarkan perasaan orang tua setelah di tinggal mati oleh anaknya.

Hancur. Rasa sakitnya tidak akan ada duanya.

Sorot netra Gibran yang sembab itu tak lepas dari pusara yang sudah hampir selesai. Sekelebat pikiran tiba-tiba muncul di kepalanya. “Mulai hari ini, saya tidak akan pernah melihat raganya lagi. Bagaimana jika saya rindu?”

Gibran memijit pangkal hidungnya. Mengatur napasnya berkali-kali meskipun rasa sesak itu tak kunjung memudar barang sedikit saja.

Batin Gibran kembali berucap untuk kesekian kalinya, “Hari ini, saya mengumandangkan adzan kedua kalinya untuk putra saya. Saat pertamakali saya menyambutnya datang ke dunia dengan tangis haru, dan untuk kedua kalinya, saya mengumandangkan adzan untuk mengantarnya kembali ke hadapan sangat pencipta. Bukan tangis harus lagi yang saya rasakan. Ada banyak rasa sakit yang jatuh meluruh dengan air mata ini.”

DERMAGA: Kekasih Dalam IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang