11꒷꒦˖GANGGUAN MENTAL KRONIS

11.5K 964 444
                                    

Terlalu sering mengalah akan membuat dirimu berdarah lebih parah.

11. GANGGUAN MENTAL KRONIS.

Kota Bandung di guyur hujan ketika hari mulai menjelang siang. Buliran air yang jatuh ke bumi kali ini sangat deras, sehingga tidak ada pilihan lain bagi seorang laki-laki pengendara motor sport biru selain memilih untuk meneduh sejenak di warung kecil yang ia temukan di pinggir jalan.

Dermaga Aksa Devantara. Laki-laki itu duduk di salah satu kursi kayu berukuran panjang yang tersedia di depan warung kopi tersebut. Dermaga meletakkan helm full facenya di samping tubuhnya. Laki-laki itu kemudian memilih melamun. Bandung dikala hujan selalu berhasil mengingatkan Dermaga kepada Senja.

Seluruh ingatan tentang kenangan bersama Senja kembali berputar dalam memori ingatannya. Dermaga masih mengingat dengan jelas bagaimana kekasihnya dulu sangat menyukai hujan. Namun, di sisi lain, Senja juga takut akan hujan yang terlalu lebat. Gadis itu takut akan petir-petir yang menyambar kencang.

“Kamu lagi apa disaat hujan kayak gini, Nja?” monolog Dermaga, menatap satu objek yang ada di hadapannya. “Apa kamu masih antusias untuk bermain hujan? Dan apa kamu juga masih takut ketika mendengar suara guntur yang menggelegar?”

Dermaga kemudian hanyut dalam ingatan masa lalunya.

“Aga, ayo kita main hujan!” wajah Senja terlihat cemberut kala itu karena Dermaga tak kunjung mengabulkan keinginannya.

“Nggak usah sok-sokan mau main hujan, giliran ada petir nangis,” ledek Dermaga yang semakin membuat bibir Senja maju beberapa centi.

Ishhh! Katanya nggak bisa nolak kemauan aku!” Senja bersedekap dada sembari memutar tubuhnya—membelakangi Dermaga.

“Ngambek nih ceritanya?” laki-laki itu terkekeh kecil melihat kelakuan sang kekasih.

Karena tidak tahan dengan kegemasan wajah Senja, Dermaga akhirnya mengalah. Ia menarik tangan Senja dan membiarkan tubuhnya terguyur oleh air yang berjatuhan dari atas langit.

Dua remaja yang tengah dimabuk asmara itu sempat bermain kejar-kejaran dan berdansa di bawah guyuran hujan, menciptakan satu momen yang membekas di kepala.

Setelah cukup lama mereka berdua bermain, Senja menghela napas beberapa kali sembari berkacak pinggang karena merasa lelah. Kedua tangan Dermaga kemudian bergerak ke atas alis Senja supaya air hujan tidak mengenai mata cantiknya yang berusaha terbuka sempurna. Dermaga tersenyum kecil seraya membungkukkan badannya, mensejajarkan tingginya dengan Senja.

“Capek?” tanya Dermaga pelan, dengan posisi wajah mereka yang hanya berjarak satu jengkal. “Kalau udah capek, kita pulang ke rumah, ya?”

Kepala Senja mengangguk cepat, tanpa Dermaga sangka gadis kecilnya itu langsung menghamburkan pelukan kepada dirinya begitu erat.

“Yuk, pulang,” ajak Dermaga, sembari menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Senja.

“Mau pulang kemana lagi? Aku udah pulang, ini rumahku,” cetus gadis itu, menikmati setiap irama yang berdetak pada dada bidang Dermaga. “Kata orang, rumah nggak selalu berbentuk bangunan. Kamu adalah rumah ternyaman yang aku punya, Aga.”

Mulut Dermaga terkatup rapat, seluruh tubuhnya seketika membatu setelah mendengar ucapan lembut dari kekasihnya. Laki-laki itu merasakan gejolak aneh di tubuhnya, rasanya Dermaga ingin terbang detik itu juga.

DERMAGA: Kekasih Dalam IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang