13꒷꒦˖RAGANYA HIDUP, TAPI JIWANYA TELAH MATI

8.6K 819 131
                                    

Menerima kedamaian dalan kesendirian, hingga terbiasa dengan keheningan.

13. RAGANYA HIDUP, TAPI JIWANYA TELAH MATI.

Dermaga merintih kesakitan ketika kompresan mendarat pada memar di wajahnya. Di tambah lagi, Dermaga harus menerima omelan dari Mamanya, rasa sakit yang ia rasakan seolah bertambah dua kali lipat.

“Pelan-pelan, Ma.” Rengek Dermaga.

“Makanya jangan nakal. Lihat, tuh, mukanya biru-biru gini, jelek!” gerutu Mentari. Sesekali, wanita itu meniup luka yang ada di wajah Dermaga ketika laki-laki itu merintih kesakitan.

“Ngapain juga kamu pukul-pukulan kayak gini, hm. Sok jagoan!” omelnya, lagi. Seraya mengobati luka itu dengan telaten. Tapi, Dermaga tidak menjawab ucapan itu, karena luka di ujung bibirnya benar-benar terasa ngilu.

Setelah selesai mengobati luka di wajah Dermaga, Mentari menghela napasnya panjang. Keheningan menyelimuti keduanya di atas sofa depan televisi.

Dermaga memandangi wajah Mamanya dari samping. Ia bisa melihat raut sedih yang tercetak jelas pada wajah itu. Dermaga tidak tau apa yang sedang di pikirkan oleh Mamanya. Dermaga kemudian berpikir, apakah penyakit mental Skizofrenia-nya ini menjadi beban bagi orang tuanya?

Setelah Dermaga mengetahui bahwa dirinya sakit, ia akhirnya lebih sering berpikir bahwa dengan kehadiran dirinya di dunia ini, hanya akan merepotkan Mama dan Papanya saja, ia hanya akan menjadi beban keluarga. Apalagi, penyakitnya ini memerlukan perawatan seumur hidup.

Tanpa sadar, Dermaga hanyut kedalam lamunannya. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi, Mentari memperhatikan dirinya yang sedang melamun.

“Dermaga?” Wanita paruh baya itu mengusap sebelah pipi Dermaga, sampai-sampai Dermaga mengerjap beberapa kali. “Senyum manis milik kamu, sekarang lagi bersembunyi dimana? Mama udah lama nggak liat.”

Dermaga menggelengkan kepalanya kecil. “Dunia aku sekarang rasanya sangat hambar, gelap, dan enggan berputar dengan wajar.”

Mentari tersenyum pedih mendengar penuturan itu. Kesedihan yang sedang Dermaga rasakan seakan menular kepadanya. Mentari tidak pernah tega melihat putra pertamanya sehancur ini sekarang.

“Biarkan air matamu mengalir, supaya luka yang menyiksa itu terpecah. Jangan menahan kesedihan terlalu banyak, takutnya hal itu bisa merusak kesehatan mentalmu semakin parah.”

“Iya, Ma.” Dermaga mengangguk samar, sembari memaksakan senyumnya terbit. Ia tidak ingin membuat Mamanya sedih terlalu lama. Dermaga harus bisa menjadi pendukung Mentari agar wanita itu bisa ceria seperti dulu. Dermaga juga harus bisa membuat suasana rumahnya hangat seperti dulu, meskipun satu penghuninya kini telah tiada.

Mengingat tentang Samudra, Dermaga jadi teringat kepada sosok Legenda, pemilik wajah yang sangat mirip dengan mendiang adiknya.

“Ma, di sekolah baru, aku ketemu sama orang yang mirip banget sama Samudra,” cetus Dermaga spontan.

Mendengar hal itu, jantung Mentari tiba-tiba berdebar kencang. Ia teringat akan penyakit Dermaga yang katanya, tidak bisa membedakan kenyataan dengan halusinasi yang ada didalam pikirannya.

“Dermaga, Mama mau kamu sembuh. Cuma kamu yang Mama punya sekarang, cuma kamu harapan satu-satunya yang Mama punya. Kalau Mama minta kamu bertahan lebih lama untuk melawan penyakit kamu, apa kamu bisa?”

Sorot mata Mentari memancarkan penuh harapan. Apakah Dermaga bisa melawan penyakitnya ini? Sejujurnya, Dermaga takut. Dermaga takut jika akhirnya, ia akan kalah dengan penyakitnya sendiri.

DERMAGA: Kekasih Dalam IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang