☆Happy Reading!☆Sinaran terik bagaskara sangat terasa menyengat indera peraba makhluk hidup. Seakan jaraknya hanya barang beberapa jengkal dari atas kepala. Berada di tanah lapang yang beratapkan langsung awang-awang mampu menghasilkan banyak bulir keringat berjatuhan. Ditambah dengan formasi berdiri dalam barisan panjang selama lebih dari setengah jam agenda upacara membuat tubuh semakin gerah.
Senin memang begitu sesuai predikatnya. Menyebalkan. Suara gaduh memprotes dan bisik-bisik pegal sudah berganti menjadi sorakan lega saat barisan mendapat komando dibubarkan. Murid-murid berhamburan meninggalkan lapangan. Upacara selesai lebih lama daripada biasanya. Hal ini terjadi karena adanya bimbingan tambahan dan durasi pemberian amanah yang lebih panjang terkait kedisiplinan para siswa yang dianggap banyak terjadi pelanggaran. Tadi juga terjadi penjatuhan hukuman bagi siswa yang telat datang. Mereka harus menahan malu ditaruh pada barisan paling depan dan disindir selama jalannya pemberian amanah.
Dengan langkah tenaga yang mulai melemah Binar berjalan beriringan dengan Inggita dan siswa-siswa lainnya yang berbondong menuju kelas mereka. Tubuhnya benar-benar tidak dapat menoleransi penuh sengatan panas matahari dalam durasi lama. Kepalanya pening sekali dan dia butuh asupan cairan agar segar kembali.
"Gak sarapan lagi?" tanya Inggita sedikit jengkel dengan kebiasaan hidup sahabatnya itu. Selalu saja mengesampingkan pentingnya sarapan.
"Lo tau sendiri 'kan, gue bawaannya pengen muntah kalau makan nasi pagi-pagi. Eneg tau," keluhnya yang disambut tatapan datar Inggita.
"Dasar sok bule lo," cibir Inggita yang heran dengan sistem pencernaan Binar. Gadis itu bukannya tidak bisa makan nasi, hanya tidak terbiasa saja makan di pagi hari. Sehingga perutnya akan menimbulkan sedikit gejolak rasa mual. Sebenarnya bukan untuk nasi saja, tapi makanan berat lainnya masuk ke dalam mulutnya kurang dari jam 10 ke atas akan menimbulkan efek mual bagi perutnya. Dia masih bisa mentolerir kalau itu roti atau buah yang ia konsumsi.
Tapi, tetap saja sebagai orang lokal belum makan namanya kalau tidak pakai nasi. Inggita sudah banyak-banyak menasehatinya agar tidak melewatkan sarapannya dan menceramahi gadis itu agar tidak terlalu jaga jarak dengan nasi. Inggita jadi kasihan dengan Ibu Binar yang sudah susah payah memasak pagi-pagi tapi nasinya tidak habis dimakan. Ayolah, hanya untuk sarapan tidak akan mencuri banyak waktu.
"Bawa bekal?" interogasi Inggita.
Binar menggeleng. "Males, nambah beban tas aja." Jangankan kotak bekal, diminta ibunya membawa botol minum saja Binar menolak dan memilih minum minuman dengan banyak es batu di kantin.
"Lah, beberapa hari kemarin itu lo bawa terus, kenapa sekarang gak pernah bawa lagi?" Tanya Inggita.
Binar mengeluarkan senyuman malu-malunya. "Ya 'kan waktu itu sekalian buat Mahen," jawab Binar jujur.
"Soal makan orang lain aja khawatirin sampe lo buatin bekal. Giliran makan lo sendiri gak pernah diurusi. Orang lain gak dibiarin kelaparan, diri sendiri dibiarin kelaparan. Pantas aja lo nggak tinggi-tinggi." Inggita mendengus kesal dengan kebucinan temannya itu. Memangnya bisa kenyang hanya karena salting saja? Bukannya membantah, kali ini Binar memasang wajah tanpa dosanya yang cengengesan. Aslinya ingin kesal dikatai tidak tinggi oleh orang yang hanya beda tinggi beberapa senti meter saja dengannya.
"Nanti istirahat beli sarapan nasi, jangan malah beli seblak atau mie ayam. Gak usah ada acara diet segala. Lo tuh nggak gendut, tapi berisi," lanjutnya kemudian memberikan peringatan.
"Ciieee... perhatian banget," goda Binar yang suka sekali jika sikap peduli Inggita yang jarang diperlihatkan ini keluar. Mungkin kesannya galak, tapi Binar tahu Inggita adalah makhluk paling peduli dengan sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch
Teen FictionShe fell first but he fell too late * * * Kisah yang berputar berporoskan waktu. Tidak pernah lepas dari masa lalu dan selalu mengukir cerita baru. Antara terbelenggu oleh orang lama di masa lalu ataukah harus menyambut orang baru untuk sembuh, Bina...