[9] Rumah yang Ramah

15 4 0
                                    

☆Happy Reading!☆


Jalan kota yang ramai kala sore itu dikarenakan saat ini memang masanya para pekerja dan anak sekolah kembali pulang ke rumah. Begitu juga dengan laju motor merah membawa tubuh Mahen menuju sebuah tujuan pulang. Namun, itu bukan rumahnya. Bukan alamat dimana dia tinggal. Melainkan, sebuah rumah berwarna biru yang membuatnya berdegup kencang ini dia berada saat ini. Tempat kediaman Binar menetap.

Rumah yang tertutup pintunya menarik haksa untuk mengetuk dengan ramah. Di sebelah tangannya menggantung kantung plastik dengan masih bersifat rahasia isinya.

"Assalamu'alaikum," salamnya membarengi ketukan pintu. Bibirnya juga memasang senyum terbaiknya menyimpan banyak euforia menginginkan segera bertemu sapa. Apalagi mengenang obrolan mereka di telepon tadi membuat rasa ingin jumpa semakin menggebu.

Terhitung hampir satu menit setelahnya Mahen mengetuk pintu kayu itu, barulah terbuka memperlihatkan sosok perkasa dengan pakaian santainya berupa celana pendek dan kaus merah.  "Wa'alaikumsalam. Cari siapa ya, Mas?"

Mahen terdiam bingung. Pasalnya, baru kali ini ia jumpai persona pria muda yang usianya mungkin tidak berbeda jauh dari dirinya. Dan mengapa yang membukakan pintu rumah Binar orang ini? Setahu Mahen Binar adalah putri tunggal. Rasa penasaran akan siapa sosok di depannya itu mulai menggerayangi pikiran Mahen.

"Lele-nya ada, Mas?" tanyanya setelah mengatur kembali ekspresi wajahnya.

"Lele? Di sini gak jualan lele, mas."

Setelahnya Mahen merutuki kebodohan yang ia lakukan. Bagaimana bisa dia salah menyebutkan sebuah nama? Jelas saja di sini tidak ada yang mengenal Binarnya dengan sebutan Lele. Karena, hanya pemuda itu saja yang memanggil seorang gadis dengan nama begitu.

"M-maksud saya Binar," koreksi Mahen masih dengan menanggung malu sendiri.

"Siapanya Binar, ya?" Bukannya menjawab pertanyaan Mahen, justru cowok itu mengintimidasi dirinya dengan pertanyaan lain. Entah hanya perasaan Binar atau memang benar jika saat ini ia merasa cowok di depannya begitu terang-terangan menatap tajam dirinya membuat Mahen seperti tengah diinterogasi. Menatapnya dari atas kepala sampai bawah tidak luput dengan kantung plastik bawaannya membuat Mahen sedikit tidak nyaman.

"Saya temannya Binar," jawab Mahen begitu adanya. Bukankah itu bisa terlihat jelas dari seragam yang masih melekat di tubuhnya?

"Oh... temannya. Gue pacarnya Binar."

Begitu kalimat itu keluar, seperti efek kejut listrik menyengat Mahen. Pemuda itu mematung mencerna apa yang baru saja di dengarnya. Tatapan matanya menajam, menyelidik lebih jauh adanya kebohongan. Dia temukan senyum merekah lebar milik paras rupawan di depannya.

Apa benar pemuda di depannya ini merupakan kekasih Binar? Bukankah selama ini Binar hanya menyukai dirinya saja? Apa mungkin ini berhubungan dengan sikap Binar yang menjauhinya belakangan hari? Tapi, bukankah semuanya kembali baik-baik saja akhir-akhir ini?

Begitu banyak pertanyaan timbul di kepala Mahen. Dia tidak tahu harus merespon bagaimana. Pasalnya, Mahen akui meski dengan gengsi pemuda di depannya terlihat lebih unggul secara fisik. Dia begitu rupawan dan tinggi serta postur tubuh yang begitu pas. Mahen hanya merasa dirinya saat ini sedikit kehilangan kepercayaan dirinya. Dia harus apa kali ini saat memang benar Binar ternyata telah menjalin hubungan dengan orang lain?

"Pacar?" tanya Mahen memastikan.

"Iya, gue pacarnya Binar," ulangnya terdengar menyombongkan diri.

"Abang!" Teriakan suara dari dalam menginterupsi tatapan dingin kedua pemuda itu. Seorang gadis berlari tergesa menghampiri keduanya.

EpochTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang