☆Happy Reading!☆
Sepasang nayanika masih terjaga melawan kantuknya ditemani secangkir kopi susu yang sudah tanda setengahnya mulai dingin diterpa anila. Pendar lampu belajar menyorot deret soal pada buku tebal yang digelutinya. Alunan musik beraliran k-pop ikut meramaikan riuhnya isi kepala. Malam ini akan terasa lebih panjang dari biasanya. Gelisah melanda kalbu Binar sehingga menjadi pemicu otaknya bekerja lebih keras beberapa hari terakhir ini demi persiapan olimpiade yang sudah diambang mata. Tepatnya besok adalah hari penentuan dari hasil persiapan belajarnya selama ini. Karena itu, hatinya terus saja risau sehingga dia tidak diperbolehkan tidur.
Ini memang bukan pertama kali sebuah kompetisi yang diikutinya. Tapi, ini kompetisi pertama yang melibatkan banyak kecerdasan otak. Dirinya selama ini hanya pernah mengikuti lomba membaca berita, membaca puisi, dan menulis yang menurutnya memang sudah bakatnya, tetapi tentang pelajaran seperti ini dirinya bukanlah jenius yang bisa menyombongkan kemampuannya.
Sejauh ini guru pembimbingnya yakin bekal yang Binar miliki sudah cukup matang hingga mengatakan semuanya akan berjalan lancar. Persiapannya sudah sempurna. Simulasi kemarin juga berjalan terbilang sangat lancar. Soal-soal yang keluar dapat di jawabnya dengan mudah karena sudah dia pelajari dari latihan soal sebelumnya. Namun, Binar sendiri masih belum bisa percaya kalau dia bisa lebih pintar dari murid-murid sekolah lain yang menjadi saingannya. Dia memang selalu menempati posisi tetap urutan pertama di kelas, namun itu tidak bisa menjamin dirinya untuk tenang.
"Kalau susah gimana, ya?" Bahkan sejauh ini yang dia butuhkan adalah menangis. Dia ingin menangis mengeluarkan semua resah yang menyesakkan dada. Akan tetapi, dia tidak mau menjadi selemah itu. Logikanya mengatakan itu akan sia-sia. Yang dia perlukan hanyalah memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk belajar bukan untuk tangisan yang akan berakhir sia-sia.
Pilihannya jatuh untuk menjangkau gawai yang sedari tadi memutarkan lagu pemacu semangatnya setelah helaan nafas panjang mengurai emosinya. Berniat menyalurkan gelisahnya pada Inggita. Akan tetapi, Sebuah nama yang terpampang pada bar notifikasinya lebih dulu menarik perhatiannya. Sang pujaan hatinya itu hanya mengirimkan pesan sederhana memanggil namanya yang bahkan bukan dengan namanya, namun hati Binar sudah dapat luluh lantak karena itu. Gelisahnya menguap entah kemana seakan hatinya baru saja diguyur air segar.
Binar memutuskan untuk pergi ke ruang chat yang menghubungkan dirinya dengan Mahen. Melupakan tujuan awalnya membuka ponsel, walaupun manik matanya juga telah menjumpai nama Inggita di bar notifikasinya. Namun, ia memilih membawa jemarinya menari membalas pesan dari Mahen yang diterimanya sekitar satu jam yang lalu. Ah, maaf Inggita ini hanya tentang prioritas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch
Teen FictionShe fell first but he fell too late * * * Kisah yang berputar berporoskan waktu. Tidak pernah lepas dari masa lalu dan selalu mengukir cerita baru. Antara terbelenggu oleh orang lama di masa lalu ataukah harus menyambut orang baru untuk sembuh, Bina...