Bab 3 - Segelas Teh

33.3K 2.7K 97
                                    

Bab ini panjang banget coy, hampir 3k words. bagi komennya dulu donggg, biar ak makin semangat buat nulisss🤩🤩🤩

***

Setelah mendapatkan pesan tersebut, Alesia ketakutan. Sekujur tubuhnya gemetar, dia langsung mematikan ponselnya agar tidak bisa dilacak lagi. Ia sangat mengenal Mario. Pria itu bakal mengejar apa saja yang diinginkan tanpa mengenal kata menyerah.

Buktinya, beberapa tahun lalu saat Alesia pertama kali memergokinya selingkuh, Mario mengejarnya sekuat tenaga, memohon dan mendesaknya untuk tidak pergi dengan sederet kata-kata gombal murahan.

Bodohnya saat itu Alesia luluh dan menganggap kalau Mario memang betulan secinta itu padanya. Untung saja sekarang ia sadar, dan langsung bergidik jijik saat mengingat ulang seluruh gombalan Mario yang berlebihan.

Benar kata Vika, Alesia enggak pernah becus mencari pacar.

"Padahal dengan badan dan wajah secakep elo, lo bisa dapetin cowok yang jauh lebih oke dari semua mantan-mantan lo tau!" Begitu ujar Vika ketika pagi harinya Alesia sibuk mengemasi seluruh barang-barangnya. Padahal Alesia berencana numpang di apartemen Vika selama beberapa minggu, sampai mendapatkan tempat tinggal baru yang nyaman.

Sialnya, dia lupa mematikan fitur lokasi di ponselnya yang sudah tersambung dengan akun Mario.

"Gue heran deh, lo tuh kalo cari pacar di mana sih? Kenapa dari dulu nggak ada yang bener?" gerutu Vika lagi.

Alesia enggak menyahut, fokus mengemasi barang-barangnya sambil berpikir keras, harus ke mana ia setelah ini. Masalahnya, dia enggak berani menyalakan ponselnya. Jadi ia enggak tahu harus minta bantuan siapa lagi.

"Nggak usah lebay, udah nyalain aja hape lo. Tinggal disconnect fitur lokasinya, Mario juga enggak akan bisa akses lokasi lo lagi." Melihat gelagat Alesia yang linglung, Vika bisa langsung memahami keresahannya.

"Tapi gue takut dia bisa ngelacak lewat IP address hape gue!" gumam Alesia.

"Dia nggak akan seniat itu! Percaya deh, sama gue! Dan kalaupun dia bisa ke sini, palingan di lobi doang, nggak akan bisa naik."

Pikiran Alesia berputar cepat, sambil menyalakan ponselnya, kemudian mematikan fitur lokasi. Dia mengulir kontaknya, bingung harus minta tolong pada siapa.

Seperti mata air di padang pasir, pesan dari Tishia—kakaknya, masuk. Wanita yang lebih tua lima tahun darinya itu menanyakan kabar.

Akibat pola asuh orang tuanya yang pilih kasih sejak kecil, Alesia jadi membenci Kakaknya karena lebih dperhatikan. Kakaknya yang memiliki segudang prestasi itu terlalu sering dibangga-banggakan pada semua orang. Dan ujungnya dibanding-bandingkan dengan Alesia yang tidak pintar dalam hal akademik.

Lama kelamaan, hubungan mereka merenggang secara otomatis.

Begitu lulus SMA, Alesia pindah ke Jogja. Ia bahkan sengaja memilih kampus di luar kota, agar bisa terbebas dari tali kekang di rumahnya.

Sejak saat itulah, Alesia komunikasi dengan keluarganya—terutama Kakaknya makin jarang. Keduanya seperti orang asing yang sangat canggung saat mengobrol. Apalagi setelah Kakaknya menikah dan pindah ke rumah suaminya, hubungan mereka semakin jauh.

Namun, entah kenapa, belakangan ini Kakaknya jadi lebih sering menghubunginya dan bersikap hangat. Beberapa kali Kakaknya ke Yogyakarta, dan ingin menemuinya, tapi selalu ditolak Alesia dengan berbagai alasan kesibukan.

Herannya, Kakaknya tetap bersikap sangat baik padanya, dan enggak pernah membalas semua kesinisan Alesia. Termasuk rutin mengirimkan pesan seperti sekarang, meski jarang Alesia balas.

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang