Bab 39 - Separation Anxiety

38.5K 4.6K 492
                                    



Setelah ditinggalkan selama lima hari, Illian jadi mudah rewel dan tidak mau berpisah dengan Alesia. Bayi itu terus menempel padanya, dan langsung menangis jika Alesia hilang dari pandangannya, meski cuma semenit. Bahkan pagi ini, saat Alesia sedang di kamar mandi, Illian sangat menangis kencang, menggedor pintu kamar mandinya dengan histeris.

Begitu keluar dari kamar mandi, ia mendapati Geryl jongkok tidak jauh dari pintu, tampak frustasi karena tidak bisa menenangkan Illian.

"Mama ke kamar mandi sebentar, Dek!" Illian langsung mengulurkan tangannya minta gendong.

Tangis Illian mereda, tapi dekapannya pada leher Alesia erat sekali. Bayinya ini tidak mau duduk sendiri di high chair. Maunya dipangku Alesia.

"Adek tunggu di sini sebentar. Mama masak dulu. Itu loh, di sana! Adek bisa lihat Mama dari sini." Bujuk rayu Alesia dengan berbagai cara tidak berhasil. Bayinya langsung menangis begitu Alesia berusaha menurunkannya dari gendongan.

Sementara Geryl diam saja, tampak sama frustasinya dan tidak tahu harus melakukan apa. Untung Yuni bisa menyiapkan semua menu sarapan. Sehingga pada akhirnya Alesia tidak jadi memasak. Ia hanya memangku Illian di sofa ruang tengah, mendekap bayinya erat, sambil mengelusi punggungnya dengan lembut.

"Maafin Mama ya, udah pergi enggak ngajak Adek. Setelah ini Mama janji akan selalu ngajak Adek ke mana pun."

Illian kembali merengek.

"Iya, Dek, iya. Mama minta maaf, ya?"

Hatinya seakan teriris melihat kondisi Illian sekarang. Dia enggak menyangka efeknya bakal separah ini. Ia sungguh menyesal enggak berpikir panjang sebelum pergi.

"Seharusnya Mama ajak Adek ya, kemarin?" tanyanya pelan.

Alhasil sepanjang hari Alesia tidak melepaskan Illian sama sekali. Saat Illian tidur siang, Alesia bisa mengendap-endap keluar kamarnya. Namun, baru satu jam, Illian sudah menangis histeris karena tidak menemukan Mamanya di sekitarnya.

"Coba ajak dia main keluar rumah, Le. Anak seumuran Illian wajar banget kok, ngerasa takut pisah sama Mamanya gitu. Dulu Aden juga pernah ada di fase itu. Tantrum sendiri enggak mau sekolah. Maunya sama Mama terus." Alesia menelepon Tyra setelah tiga hari Illian masih rewel.

"Terus Aden lo apain?"

"Ya selama di rumah gue suruh Adam lebih banyak main sama Adam, biar pikirannya tuh terdistraksi. Enggak mikirin gue mulu. Awalnya enggak mau sama sekali. Jadi gue tetep ikut nemenin main. Bertiga gitu. Lama-lama dia bisa main berdua doang sama Adam, gue tinggal masak bentar, atau ngapain gitu, selagi gue masih ada di jarak pandang dia. Terus gue coba suruh Adam yang nganter ke sekolah, biar dia enggak punya alasan buat minta Mamanya ikut masuk ke kelasnya. Ya gitu deh, bertahap. Lama-lama dia bisa main sendiri deh kayak biasa. Pokoknya emang harus sabar banget ngurusin toodler tuh."

"Yang penting, peran kedua orangtua tuh harus seimbang. Bukannya mentang-mentang Illian maunya sama Mamanya doang, terus Ayahnya malah ongkang-ongkang kaki santai aja gitu."

Pandangan Alesia langsung tertuju pada Geryl yang sedang menyantap makan malamnya di kursi seberang. Ia menelepon Tyra sambil menyuapi Illian di meja makan.

Sebenarnya beberapa jam lalu Alesia mengirimkan pesan pada Tyra soal keluhannya tentang Illian. Dan Tyra tidak membalas pesannya, melainkan langsung menelepon. Ia pikir Tyra enggak akan bicara macam-macam, jadi sengaja ia loadspeaker.

"Tir, telepon lo gue loadspeaker. Orangnya ada di depan gue." Alesia terkekeh tanpa rasa bersalah. "Makasih udah bantu nyindir."

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang