"Teman itu bukan siapa yang sudah lama mengenal kita tetapi, teman itu adalah orang yang selalu ada, disaat kita tertawa dan menangis"
*
*
*Kini dua remaja itu sedang duduk di kamar yang tak begitu luas. Nampak sekali dari salah satu mereka, raut wajahnya begitu gelisah. Dan yang satunya hanya terdiam saja, melihat tingkah temannya.
Jujur dia tak suka melihat temannya yang selalu menderita akibat ulah ibunya tetapi ia tak bisa berbuat apapun selain hanya diam. Karena mau bagiamana pun orang yang selalu membuatnya menderita adalah ibu kandungnya sendiri.
"Udah gak usah dipikiran," celetuk Egi yang langsung dilirik olehnya dan tersenyum tipis.
Egi bangkit dari duduknya dan keluar tanpa sepatah katapun, kini tujuannya hanya satu yaitu dapur. Sudah dipastikan bahwa temannya itu haus dan juga lapar. Beruntung lah ibunya sudah masak.
Sementara itu, arizki terduduk dengan lesu. Pikirannya bercampur aduk tak karuan, hatinya bimbang. Ingin sekali ia menangis tetapi malu.
"Maaf udah buat susah Lo, gi. Gue gak tahu, harus minta tolong sama siapa lagi apalagi Pikri keluarga hampir sama seperti gue" gumamnya.
Arizki tak enak dengan Egi, ia selalu berusaha membantunya meskipun dia sendiri butuh akan segala halnya. Tak bisa membantu banyak untuk teman-temannya.
Sungguh, ia sangat baik sekali. Mungkin di luar sana tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai sahabat yang luar bisa untuknya.
Krukk.. Krukk..
Arizki meringis, perutnya terasa lapar karena tadi tak sempat makan. Lantas ia langsung melihat saku celananya apakah menyimpan uang untuk membeli sebuah roti.
"Ah sial, gue kan lupa minta uang sama papa"katanya sembari meringis kecil.
Kini ia hanya bisa terdiam pasrah sembari menahan lapar yang menjalar di perutnya. Perutnya begitu keroncongan.
Tiba-tiba Egi datang dengan nampan yang berisi minuman dan juga makanan di atasnya. Diam-diam arizki mengulum senyum tipis. Sungguh, sahabatnya sangat lah peka akan perutnya ini.
"Biasa aja kali matanya, gue tahu kalo Lo laper" ujar Egi dengan terkekeh kecil melihat mata sahabatnya yang begitu berbinar.
Egi duduk di hadapan arizki sembari menaruh nampannya. Ia memberikan piring yang sudah disediakan nasi untuk arizki dan juga beberapa lauk-pauk.
"Sorry ya, ibu cuman masak tempe sama tahu doang".
Arizki mengangguk dan memakannya dengan lahap hingga ia lupa menawarkannya kepada egi. Rasa makanannya begitu enak apalagi orang tuanya tak pernah memasak makanan untuk dirinya ataupun papahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arizki
Teen FictionArizki, seorang remaja yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, menemukan dirinya dalam situasi yang sulit setelah ayahnya meninggal. Ditinggalkan oleh orang yang selalu ia sayangi, Arizki merasa bahwa Tuhan tidak adil baginya. Namun, ia tidak me...