"Aku harap pertemuan ini bukanlah sebuah pertemuan yang biasa."
-Arizki*
*Setelah mengucapkan kalimat itu, Ari tiba-tiba kehilangan kesadaran dan tubuhnya rebah tepat di pangkuan gadis itu. Wajah gadis itu langsung memancarkan raut panik yang tak terbendung, dan tanpa berpikir panjang, ia mengeluarkan teriakan yang begitu kencang, mencoba memanggil bantuan.
Dengan hati yang berdebar, gadis itu berusaha mencari pertolongan dari orang-orang di sekitarnya. Namun, situasinya semakin rumit karena jalan yang sempit dan beberapa rumah warga yang terletak jauh dari jangkauan.
"Gimana ya, aku harus bagaimana?" gumamnya sendiri dengan penuh kegelisahan, matanya terus menatap lurus ke depan mencari solusi.
"Dipapah aja mungkin?" lanjutnya lagi, mencoba merumuskan rencana. Tanpa ragu, ia bangkit dari tempatnya dan berusaha menopang tubuh yang lumayan berat itu.
Dengan penuh usaha, gadis itu mencoba bangkit dari posisinya dan dengan langkah hati-hati, ia berhasil menopang tubuh pria tersebut. Lalu, dengan tekad yang kuat, ia mulai melangkah menuju rumah neneknya yang terletak lumayan jauh dari tempat kejadian. Setiap langkahnya diambil dengan hati-hati, berusaha agar tidak terjatuh atau terpeleset. Walaupun terasa berat, gadis itu tetap melangkah dengan tekad yang bulat.
Dalam perjalanan, ia tak bisa menahan keluh kesahnya, "Berat banget," ucapnya dengan suara pelan yang menggambarkan rasa lelah dan keletihan yang melandanya.
Tak berapa lama kemudian, mereka akhirnya sampai di depan rumah nenek dengan suasana yang begitu tenang, dihiasi dengan warna putih yang menyegarkan dan pintu berwarna pink yang masih terlihat segar. Gadis itu berjalan dengan langkah tertatih, tetapi tetap tegar memapah tubuh pria tersebut. Dengan tangan yang gemetar, ia mengetuk pintu dengan kasar, menghasilkan suara yang begitu keras terdengar dari dalam rumah.
"Ibu ... tolong bukakan pintunya," ucapnya dengan suara yang penuh kelelahan. Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya dengan usia kurang lebih lima puluh tahun membukakan pintu dengan wajah yang penuh keheranan.
"Loh, ini kan Ari? Kenapa bisa bersama kamu?" tanyanya dengan rasa penasaran yang tak terbendung.
"Nanti aku akan menjelaskannya, bu. Tapi sekarang, Ari dalam keadaan yang sangat lelah dan berat," jawab gadis itu dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Tanpa berbasa-basi, mereka segera membawa Ari masuk ke dalam rumah dan meletakkannya dengan hati-hati di kursi panjang yang terletak di ruang tengah.
Gadis itu duduk di samping Ari, menatapnya dengan penuh perhatian. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran dan cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan pria itu, seolah-olah hidupnya bergantung pada keberhasilan menyelamatkan Ari.
Wanita itu ikut duduk di samping cucunya, ia memegang pundaknya seraya mengatakan, "Gak usah sedih gitu. Ibu yakin bentar lagi dia juga bangun."
Dengan tatapan sendu, mengungkapkan perasaannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Bukan sedih, Bu. Tapi melihat keadaannya, hatiku seakan-akan ingin menangis," jawabnya dengan suara yang penuh kelembutan.
Wanita paruh baya itu mengangguk mengerti, memahami perasaan cucunya. "Aku juga merasakannya, Nak," ungkapnya dengan suara yang penuh empati, membuat gadis itu terkejut dan menatap wajah neneknya dengan kebingungan. "Dia kehilangan ayahnya kemarin, dan ibunya langsung mencari penggantinya. Tentu saja, itu sangat menyakitkan baginya. Kamu tidak akan sekuat dia, La," lanjutnya dengan suara yang penuh kebijaksanaan.
Kata-kata dari neneknya menggetarkan hati gadis itu. Dalam keheningan yang terasa begitu dalam, ia merenung sejenak, memahami bahwa kekuatan yang terpancar dari Ari jauh melebihi apa pun yang bisa dia bayangkan. Meskipun Ari sedang lemah, gadis itu tetap bertekad untuk memberikan dukungan dan kekuatan terbaik yang ia miliki.
Dalam momen yang sunyi, nenek dengan sigap bangkit dan mencari minyak kayu putih. Dengan penuh kehati-hatian, ia mengoleskan minyak tersebut di kening Ari dan juga di hidungnya. Tak lama kemudian, jari-jemari Ari mulai bergerak dan perlahan matanya terbuka. Ia menggerak-gerakkan mata dengan penuh kebingungan.
"Gue ada dimana?" gumam Ari dengan suara lembut, sambil mencoba memaksakan dirinya untuk bangun. Namun, seorang tangan dengan lembut membantu Ari untuk berdiri.
"Nek Erni?" tanya Ari, sambil memandang gadis yang beberapa waktu lalu menabraknya. "Kenapa aku bisa berada di sini?" lanjutnya dengan rasa penasaran yang terpancar dari wajahnya.
"Cucu nenek yang membawamu kesini," jelas Nek Erni sambil tersenyum, sementara gadis itu menoleh ke arahnya dan membalas senyuman kecil.
"Kamu jagain Ari dulu ya, La. Ibu mau mengambil air putih," kata Nek Erni dengan lembut, sambil diangguki oleh gadis itu dengan penuh pengertian.
Tersirat dalam keheningan ruangan, Ari merasa hangat dan aman di sisi gadis yang sudah menolongnya. Ia merasakan kehadirannya sebagai bentuk dukungan dan perlindungan yang tak tergantikan. Dalam hati, Ari bersyukur atas kebaikan dan kepedulian yang ditunjukkan oleh Nek Erni dan gadis itu.
Ketika Nek Erni pergi untuk mengambil segelas air putih, Ari dan gadis itu duduk berdampingan di sisi sofa yang nyaman. Meskipun mereka berada dalam satu ruangan, keheningan menyelimuti mereka tanpa ada komunikasi yang terjadi. Namun, dalam diamnya, Ari tidak bisa menahan diri untuk mencuri-curi pandang ke arahnya, sambil mengucapkan dengan lembut, "Terima kasih ya."
Gadis itu hanya mengangguk sebagai respon, namun tangan lembutnya tanpa sengaja menyentuh kening Ari. Dalam sentuhan itu, terpancar kehangatan dan kepedulian yang tulus. Dengan suara yang penuh perhatian, ia bertanya, "Lo beneran udah baikan kan?"
Ari dengan tulus tersenyum, merasakan getaran hatinya yang meluap-luap. Ia merasa begitu beruntung memiliki seseorang seperti dia di sisinya. Dengan penuh kebahagiaan, Ari menjawab, "Iyah, gue udah baikan kok,"
Tiba-tiba, perasaan penyesalan melintas di pikiran gadis itu. Dengan rendah hati, ia mengungkapkan, "Maaf ya, waktu itu gue gak sengaja menabrakmu. Aku benar-benar tidak bermaksud menyakitimu."
Ari dengan cepat menganggukkan kepala, memberikan pengertian dan kebaikan hatinya. "Tidak apa-apa, kan waktu itu lo juga udah minta maaf. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?" tanya Ari dengan penuh rasa ingin tahu.
Ia tersenyum hangat, sambil mengulurkan tangannya ke arah Ari. Dengan senang hati, Ari membalas jabatan tangan itu dan tak bisa menahan senyum yang tiba-tiba melintas di wajahnya. "Nama gue Ilara, tapi lo bisa memanggil saya Ila."
"Nama yang cantik," batin Ari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arizki
Novela JuvenilArizki, seorang remaja yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, menemukan dirinya dalam situasi yang sulit setelah ayahnya meninggal. Ditinggalkan oleh orang yang selalu ia sayangi, Arizki merasa bahwa Tuhan tidak adil baginya. Namun, ia tidak me...