*Happy reading
“Demi Allah Bu, sampai
kapanpun tak ada yang bisa menggantikan papa!”•
•
•Malam kali ini, sungguh sangat berbeda. Suasananya masih ikut berkabung. Para kerabat masih berada di rumahnya.
Biasanya, mereka datang hanya hari kebesaran saja atau hari raya. Sekarang tak lagi, mereka datang untuk memberikan bela sungkawa dan membantu mempersiapkan keperluan.
Banyak orang yang meronta-ronta, menangis tak percaya tetapi, lihatlah anak satu-satunya itu. Ia tak menangis lagi, air matanya sudah di habiskan. Kini ia hanya bisa terdiam dengan pandangan kosong.
“Ari, belikan air minum yang di kardus itu, ya," kata bibinya. Ia hanya mengangguk saja mengiyakan, dan mengambil uang yang diberikan bibinya itu.
Berjalan saja tanpa hirau tatapan mata mereka, seperti tanda tanya ia ingin kemana.
“Ri, gue temenin ya?” tawar Pikri yang sedari tadi sudah berada di sana. Bahkan ia yang sangat mendampinginya.
Ari mengangguk mengiyakan, lantas mereka berdua berjalan bersama. Lokasi membeli air tak begitu jauh dengan rumahnya, hanya berjarak beberapa meter saja. Jadi, mereka hanya berjalan kaki saja.
Keduanya terdiam, tak ada yang memulai pembicaraan. Pikri yang ingin mengajaknya bicara tetapi, rasanya enggan. Takut-takut ia masih tidak bisa mengontrol emosinya.
Sampailah di sana, mereka langsung membeli minuman yang dimaksud sebanyak tiga kardus. Untungnya saja, ada Pikri yang ikut membantunya jadi tak perlu untuk bulak-balik kesini.
Sama dengan halnya pergi tadi, tak ada yang memulai pembicaraan apapun.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan dan sebentar lagi orang-orang akan datang melakukan tahlilan seperti pada umumnya.
Lantas Ari hanya terduduk salah kursi depan rumahnya, dan menatap kosong ke depan.
Tiba-tiba suara motor membuyarkan lamunannya, ia melirik ke arah sang empu dan melihat ibunya bersama pria lain.
“Siapa dia?” gumam Ari dan berjalan menghampiri mereka.
Sang ibu yang melihat keberadaan Ari mendekat lantas tersenyum dan memperkenalkan pria yang berada di sebelahnya.
“Kenalin pacar ibu, namanya Bara” katanya sembari tersenyum bahagia. Ari yang mendengar melotot tak percaya, bahkan lihatlah pria yang disebelahnya itu ikut tersenyum tanpa berdosa.
“Ibu!” bentak Ari dan langsung menarik pergelangan tangannya, membawanya ke tempat yang agak jauh dari mereka.
“Apasih?!” ujarnya seraya menipis tangannya.
“Ibu gak lihat, kalau papa baru aja dikuburkan tadi dan ibu juga gak ada disana! Banyak orang yang nanyain ibu, dan ini apa? Malah membawa pria sialan itu kesini!”.
Ibunya yang mendengar kalimat sialan dari anaknya, lantas tak terima dan langsung menunjuk ke arah wajahnya.
“Jaga bicaramu! Dia lebih baik daripada papamu itu!”.
Apa, dirinya tak salah dengarkan?. Jika dibandingkan oleh papanya sungguh, jauh sekali. Ia hanya menang wajah tanpa bekerja. Lagipula, umurnya lebih jauh dibandingkan ibunya.
“Sialan! Sudah cukup ya, Bu! Bawa pergi kekasihmu, jangan membuat semua orang menjadi berbicara kan kita!”
“Cih! Ibu gak akan bawa dia pergi, biarin aja dia disini, toh nanti juga dia yang akan menjadi pengganti papamu!” katanya.
“Apa? Pengganti? Demi Allah Bu, sampai kapanpun, tak ada yang bisa menggantikan papa. Mending ibu pergi aja dari sini, daripada datang hanya membuat ulah saja!” geram Ari. Sungguh, batas kesabaran sudah tak ada lagi untuk ibunya yang seperti ini.
“Sialan! Siapa yang mengajarkanmu? Apakah, papamu yang sudah meninggal yang mengajarkanmu membentak ibunya sendiri?”.
“Ibu bertanya tentang siapa yang mengajarkanku membentak seorang ibu yang seperti perempuan gatal? Yang rela bersama pria lain dibandingkan harus pulang dan menguatkan anaknya? Aku balik bertanya Bu, sejak kapan kau peduli tentang ajaran? Sampai kapan ... Ibu seperti ini? Sampai kapan, Ari gak pernah dapat kasih sayang dari ibu?!” ujarnya sembari tertawa kecil. Muak sudah, apa yang harus diperbuat olehnya sekarang.
“Cih! Sampai kapanpun, saya tidak akan memberikanmu, kasih sayang! Sudahlah, jangan pernah panggil saya ibu lagi! Anggap saja ibumu sudah mati! Saya harap kita tidak pernah bertemu lagi!” ujar ibunya seraya langsung pergi meninggalkan Ari yang menatapnya sedih.
Ari termenung sejenak, ucapannya yang tadi tak benarkan?. Mengapa ia kehilangan dua orang sekaligus secara bersamaan hanya dengan bersilih waktu saja.
Lantas ia terduduk lemas seraya melirik ibunya yang pergi bersama pria itu.“Sialan!” teriaknya sembari memukul kepalanya.
Ari menangis sejadi-jadinya. Sungguh, rasanya sakit tuhan. Mengapa selalu seperti ini?.
“Tuhan, sedikit aja. Kasih Ari bahagia, Ari gak sanggup kek gini?” gumamnya seraya menatap langit. Air matanya masih bercucuran.
Pikri yang tak sengaja mendengar itu lantas langsung mendekat ke arahnya. Berjongkok menyamakan tingginya. Ari yang menyadari lantas menengok ke arahnya tanpa sepatah katapun.
Untuk berbicara rasanya sudah tak mungkin lagi. Hatinya sakit sekali, lebih baik ia mendapatkan beribu-ribu pukulan dibandingkan harus mendapatkan perkataan seperti itu dari mulut ibunya.
Ternyata benar, lebih baik mendapat pukulan dibandingkan sebuah omongan yang menyakitkan.
“Ari?” panggil Pikri seraya menatapnya prihatin.
“Tuhan gak pernah adil sama gue pik, tuhan benci gue ya pik, kenapa ibu bilang gitu? Kenapa ibu milih bareng pacarnya dibandingkan anaknya?” celoteh Ari. Pikri terdiam membiarkan Ari mengeluarkan unek-uneknya.
“Apa gue susul papa aja ya? Disini gue hidup sama siapa?” katanya yang berhasil membuat Pikri terkejut.
“Ari! Sadar! Lo gak boleh ngomong gitu!”.
“Gue...”
Bruk... Sebelum melanjutkan, Ari sudah lebih dahulu pingsan. Pikri terkejut bukan main. Lantas ia langsung kalang kabut, detik berikutnya darah keluar dari hidungnya.
“Tolong!”
*To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Arizki
Teen FictionArizki, seorang remaja yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, menemukan dirinya dalam situasi yang sulit setelah ayahnya meninggal. Ditinggalkan oleh orang yang selalu ia sayangi, Arizki merasa bahwa Tuhan tidak adil baginya. Namun, ia tidak me...