pemakaman

16 8 0
                                    

"Ayo, dicium dulu papanya untuk yang terakhir kalinya, air mata jangan sampai jatuh"

*
*


"Kenapa papa pergi ninggalin Ari? Tadi pagi itu, papa pamit bukan untuk kerja tapi untuk pergi selamanya? Papa, dari sekian banyak kehilangan kenapa harus papa yang pergi? Tuhan kenapa ambil papa? Kenapa gak ambil Ari aja?" teriaknya sembari memukul dadanya yang merasa sesak.

Ketiganya terdiam, apalagi sang nenek yang membekap mulutnya karena menahan Isak tangisnya.

Mengapa tuhan seperti mempermainkannya?. Beberapa hari ini, ia menghabiskan waktu dengan ayahnya, lalu sekarang dalam sekejap mata tuhan mengambilnya begitu saja.

Menangis, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Hatinya tidak sekuat itu merasakan kehilangan orang yang ia sayangi.

Pikri yang berada di dekatnya berjalan menghampiri dengan egi yang mengekorinya, mendekati Ari yang terduduk lemas.

"Ayo bangun, jangan kek gini, Ikhlasin papa lo" kata pikri dengan tubuh yang ikut berjongkok sembari menatapnya. Sebagai temannya, ia ikut bersedih melihat keadaannya yang seperti ini.

Mendongak menatap Pikri, "Lo gak tahu seberapa sakitnya ini! Lo seenaknya ngomong ikhlasin papa! Gue gak bisa ikhlasin, anjing! Cuman papa yang saat ini menyayangi gue, cuman papa yang saat ini gue punya!" racau-nya dengan isak tangis yang terus mendominasi ucapannya.

"Gue tahu, tapi jangan gini ri! Kasian papa Lo" ucapnya yang berusaha untuk memberikan pengertian.

Menatapnya dengan tatapan sinis, mencengkram kerak baju Pikri dengan erat "Apa yang Lo tahu hah?! Apa yang Lo tahu!" teriaknya dihadapan Pikri.

"Arii! Stop! Lepasin gak?!" kata Egi yang sedari tadi hanya diam saja, kini ia mulai berbicara.

"Apa hah? Apa!" Melirik ke arah Egi yang memegang erat tangannya dan berusaha untuk melepaskan genggam erat di kerak bajunya Pikri.

Ari melepaskannya seraya berkata "Bahkan kalian yang anak Cemara pun, sok tahu tentang kehilangan!".

Emosi menghampiri mereka berdua, entahlah ucapan Ari begitu membuatnya kesal sangat kesal. Ingin Sekali membogemnya habis-habisan.

Aldi yang diam bak patung, berjalan menghampiri mereka. Ikut berjongkok menyamakan tinggi mereka semua.

"Udah ya, jangan dimasukin ke hati. Ari ngomong gitu karena lagi terpukul" katanya berusaha untuk menengah mereka agar tak terjadi pertengkaran lagi. Baik Pikri maupun Egi hanya mengangguk saja, membuang nafas kasar.

Lelah, mengapa keras kepala sekali temannya itu. Bagiamana supaya bisa menyandarkan?.

Pikri menatap neneknya Ari yang dari tadi hanya bergeming saja, mungkin wanita itu juga sama terpukulnya.

ArizkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang