"Dunia memang tidak adil ya?"*
*Setelah tersadar dari pingsannya, Ari menatap sekeliling dengan kebingungan. Ia terkejut saat menyadari bahwa ia tidak berada di luar seperti yang terakhir kali ia ingat, melainkan tertidur di atas ranjang kasurnya. Ia menghembuskan nafas kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.
Dalam kebingungannya, Ari melirik ke arah jam dinding dan terkejut ketika melihat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh, yang berarti ia telah melewatkan pengajian untuk ayahnya. Rasa bersalah dan kehilangan menyelimuti hatinya.
Bersandar di ranjang, Ari melihat sekeliling dengan tatapan kosong. Hari ini, ia kehilangan dua orang yang sangat penting dalam hidupnya. Papa meninggalkan dunia ini untuk selamanya, meninggalkan Ari sendirian. Dan ibu, memilih pergi bersama pria yang ia pilih sebagai pasangan hidupnya.
"Bagaimana aku bisa bertahan hidup, Pa?" gumam Ari dengan suara lemah, meski tak ada yang mendengarnya. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun ia segera menghapusnya dengan kasar. Ia merasa bahwa ia tidak boleh menangis, bahwa ia harus kuat.
"Aku tidak bisa bermanja lagi sama Papa," gumam Ari dengan getir. "Papa, mengapa kamu meninggalkanku begitu saja? Dan ibu, mengapa kamu pergi tanpa memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup?" Ari melanjutkan monolognya dengan diri sendiri, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Ari terdiam dalam keheningan yang menghantui ruangan. Nafasnya tercekat, terasa berat di dadanya, karena ia menyadari bahwa segala sesuatu yang ia pegang dengan erat selama ini telah hancur berkeping-keping dalam sekejap.
Tak ada yang bisa ia katakan lagi. Ia terjebak dalam keadaan yang tak terduga, tanpa tahu apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan darinya. Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian yang tinggi, kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Saat itulah, pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, dan Pikri masuk dengan wajah yang penuh kepanikan. Ari segera menghapus air mata yang masih mengalir di sekitar pipinya dengan cepat. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Pikri, yang selalu menganggapnya sebagai sosok yang kuat.
"Lo gak papa, kan?" tanya Pikri dengan nada khawatir.
Ari hanya menggeleng singkat, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun sebagai jawaban.
"Tadi ada masalah apa, Ri?" tanya Pikri lagi, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Ari menghela nafas dalam-dalam, merasa bingung apakah ia harus menceritakan semuanya atau tidak. Ia merasa ragu, takut akan reaksi Pikri jika mengetahui kebenaran yang terjadi dalam hidupnya.
"Cerita aja, gue pasti dengerin kok."
"Gak semua harus diceritain kan, Pik? Gue juga gak mungkin selalu cerita ke lo kan, Pik?" ujarnya berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"Denger gue! Kalo lo memang gak baik-baik aja, bilang! Gak usah sok pura-pura kuat! Gue disini selalu ada!" sentak Pikri yang membuatnya langsung terdiam menunduk.
"Gue gak bisa bilang ke lo, gue malu!"
****
Ari memutuskan untuk meninggalkan tempat tidurnya, merasa perlu untuk mengambil napas segar dan merapikan pikirannya. Dengan langkah yang lemah, ia melangkah keluar rumah menuju ke luar.
Namun, suara Bibi yang datang dari belakang menghentikan langkah Ari. "Hei! Anak yatim, mau kemana?" sergah Bibi dengan nada sinis.
Ari menoleh dengan hati yang penuh emosi. Ucapan Bibi itu menusuk hatinya. "Apa maksud perkataan Bibi?!" desak Ari dengan mata yang memerah.
"Loh, kenapa marah? Ada apa-apa?" Bibi menjawab dengan santai. Ari tidak bisa menahan amarahnya yang meluap. Ia mendekati Bibinya dengan langkah tegas.
Ari memegang tangan Bibi dengan erat sambil berkata, "Ya, aku memang anak yatim, Bi! Tapi itu bukan alasan bagi Bibi untuk berkata seperti itu!"
Tidak lama kemudian, nenek Ari datang mendekati mereka dengan wajah yang terlihat biasa saja. "Ari, Ayahmu sudah meninggal. Ibumu memiliki banyak hutang. Nenek tidak mampu membayarnya, meskipun Nenek memiliki uang sendiri," nenek menjelaskan sambil menatap Ari. "Jadi, bagaimana kalau kamu bekerja untuk menggantikan Ayahmu?"
"Nek! Aku masih sekolah! Tidak mungkin aku bekerja, apalagi Ayahku bekerja sebagai supir minyak!" Ari memprotes dengan tegas.
"Lalu bagaimana solusinya? Nenek tidak mampu membayarnya, dan semua Bibi-bibi mu juga tidak akan bersedia!"
"Bukankah selama ini Nenek baik kepadaku? Bukankah selama ini uang Ayah habis untuk Nenek? Mengapa setelah Ayah pergi, Nenek berubah seperti ini!" Ari berteriak frustasi.
"Heh! Ayahmu adalah sumber penghidupan bagi kami! Jika dia mati, siapa yang akan memberi kami makan!" Bibi menyela dengan nada tinggi.
Ari terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya telah hancur berkeping-keping, seperti pecahan kaca yang tak bisa lagi disatukan. Dengan perasaan yang terluka dan hati yang remuk, ia tanpa berkata apapun lagi, meninggalkan Bibi dan neneknya di tempat itu. Langkahnya terasa berat dan lunglai, tak tahu arah yang ia tuju. Yang pasti, ia ingin menjauh dari segala kekacauan dan kekecewaan yang ada di sekitarnya.
Saat ia melangkah melewati sebuah gang sempit yang terlihat suram, pandangannya menjadi kabur dan kepalanya terasa nyeri. Suara-suara riuh berputar-putar di telinganya, membingungkannya dan membuatnya semakin terpuruk. Nafasnya tercekat, dan ia kehilangan keseimbangan hingga akhirnya terjatuh dan terduduk lemas di lantai, pandangannya buram dan tak jelas.
Tiba-tiba, terdengar suara lembut seorang wanita di sampingnya, "Kamu kenapa?" Meskipun Ari tak mampu melihat dengan jelas, ia merasakan kehadiran gadis itu di sisinya. Namun, ia tak mampu menjawab. Suaranya tercekat di tenggorokan.
"Maaf ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arizki
Teen FictionArizki, seorang remaja yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, menemukan dirinya dalam situasi yang sulit setelah ayahnya meninggal. Ditinggalkan oleh orang yang selalu ia sayangi, Arizki merasa bahwa Tuhan tidak adil baginya. Namun, ia tidak me...