Pertanyaan itu menggantung di antara kami selama beberapa menit. Masih saling menatap, memasang ekspresi serius masing-masing, suasana sunyi yang seolah terfokus pada kami berdua, kebulatan tekad pada bola mata hitam Sorin seakan telah menjawab tanyaanku yang tak perlu lagi disuarakan melalui kata-kata.
Kutelan ludah, merasa gelisah sekaligus deg-degan.
"Wajar saja orang sepertimu merasa tidak percaya diri." Sorin memutus pandangan. Dia menggerak-gerakkan posisi duduk dengan sudah menatap lurus ke depan.
Rasa tegangku seketika turun dari atas langit ke permukaan tanah. Masih menatap dirinya yang bingung harus kusikapi dengan tindakan apa.
"Maaf. Aku tidak terbiasa ada yang...."
"Naksir?" tebak Sorin. "Iya, aku naksir Zagi. Jadi semuanya sudah jelas, kan?"
W-wah, dia mengatakannya dengan gamblang dan sangat berani. Aku-aku harus mengapresiasinya.
Kuberi dia acungan jempol. "Yeah. Man-mantap. Terimakasih sudah su-suka aku."
Ternyata begini rasanya ditembak?
Pengen masuk jurang!
Namun hari itu belum berakhir meski rasanya aku ingin cepat-cepat meninggalkan gadis itu sendirian tanpa kehadiran diriku. Aku perlu... menerima keadaan.
Sorin lanjut bertingkah.
Dia menghentikan waktu.
Secara harfiah, memang menghentikan waktu. Orang-orang di sekitar kami tiba-tiba berubah menjadi patung dan tak terdengar suara apa pun selain deru napas kami masing-masing.
"Aku hanya bisa melakukannya selama sepuluh menit setiap harinya." Dalam posisi habis menjentikkan jari, Sorin melihat padaku. "Yuk, mau ngapain?"
Gadis ini gila!
Benar-benar gila.
Tapi gadis gila itu menyukaiku.
Astaga, kenapa aku selemah ini terhadap mereka yang ketahuan menaruh perhatian padaku?
"Ngapain gimana maksudnya?"
"Waktu kita nggak banyak."
"Woy, ini udah kayak kiamat!"
Benar, situasi itu memang mengerikan. Bayangkan saja kamu berada di tengah manusia-manusia tak bergerak dan cuma dirimu (dan pasanganmu) saja yang bisa berkeliaran ke mana pun. Mirip seperti film zombie walau aku tak pernah menontonnya.
Aku diam saja, tak menuruti apa pun keinginannya saat itu. Memang apa yang bisa kuucapkan? Sesering-seringnya aku berimajinasi, tak pernah sekali pun aku membayangkan diriku menjadi aktor film fiksi ilmiah.
Kurasakan Sorin menatapku di sana. "Oke deh. Kayaknya kamu masih syok."
Ingin sekali kubungkam mulutnya dengan apa pun yang bisa membuatnya berhenti mengatakan apa saja. Ini terlalu berada di luar nalar.
Kemudian, pada detik pertama waktu kembali berjalan, aku menangkap sosok teman sekelasku di jalanan luar. Dia melihatku sedang bersama Sorin.
Gawat!
"Rayen. Jangan bilang siapa-siapa, ya."
Beruntung Rabu paginya di kelas yang sepi, Rayen sudah datang sehingga bisa aku hampiri untuk membisiki sesuatu. Dia kelihatan bukan orang yang tertarik soal hal gituan, sih. Tapi tetap saja perlu diantisipasi.
Terbukti, dua alisnya membentuk garis lurus. "Paling yang peduli cuma Devon dan Aldrin doang."
"Justru itu." Aku mengatakannya dengan cukup keras untuk bisa dibilang bisikan. "Mereka orangnya bandel."
KAMU SEDANG MEMBACA
i don't have a crush on you. [end]
Fiksi Remajafaris terkena kutukan i love you.