"Kamu yang ngomong, Rayen."
Masih di hari yang penuh kesialan itu, begitu wali kelas pergi, aku dan Rayen disuruh melanjutkan membuat struktur organisasi kelas. Sekretaris, bendahara, seksi kebersihan, kesenian, keagamaan, olahraga, dan keamanan.
Kami berdua berdiri di dekat bangku guru, membelakangi murid-murid yang menatap kami dalam suasana hening. Kelas ini sangat pendiam.
Kerutan kening Rayen mengibaratkan aku yang harus melakukannya. Dia lebih jarang bersuara daripada aku, jadi baiknya memang aku yang mesti merelakan diri berbicara ke mereka semua.
Rayen pun tahu-tahu saja mengambil spidol hitam di atas bangku guru, berjalan ke depan white board, lalu melirikku.
Aku paham apa yang harus kulakukan, dan aku benci berada di kondisi ini.
Aldrin dan Devon cengengesan.
"Oke." Hanya satu kata itu saja yang keluar saat aku membalikkan tubuh menghadap para anggota kelas. Mereka semua benar-benar fokus memandangku!
Ya ampun, gugup sekali.
"Ada yang mau jadi sekretaris?" Itu suara yang sangat pelan untuk dikatakan di depan tiga puluh orang.
Anehnya ada saja yang mendengarnya.
"Aku, aku."
Seorang gadis mungil di bangku paling belakang mengangkat tangannya bersemangat seakan sedang menunggu saat-saat ini terjadi. Kuduga di kelasnya yang sebelumnya dia juga menjabat sebagai sekretaris.
"Namanya siapa?" Suaraku bertambah keras dengan sendirinya.
Dia pun menyebutkan namanya. Rayen mencatat nama tersebut di papan tulis, menulis huruf per huruf dengan sangat lambat. Kami semua menunggunya selesai.
Apa caranya menggoreskan alat tulis memang selambat itu?
"Megani. Kamu yang jadi wakil ketua kelas aja gimana?" tawarku pada si sekretaris tadi.
"Nggak, sori."
Astaga, judesnya.
Padahal tadi dia terlihat begitu ceria, lho.
Dengan terpaksa dan tak ada harapan mewariskan jabatan yang belum satu jam aku emban itu, aku melanjutkan ke posisi selanjutnya.
Di bagian seksi olahraga, aku menyuruh Rayen menuliskan nama Devon di papan tulis, yang langsung diprotes oleh si empunya diri.
"Aku jarang olahraga, woy!"
Masa? Padahal wajahnya sangat terlihat seperti seseorang yang rajin bangun pagi untuk jogging.
Hanya Aldrin yang terbebas dari jabatan apa pun. Dia tampak puas saat aku kembali ke bangku kami. Cih.
Lihat saja nanti. Akan kugunakan kewenanganku untuk mengusilinya.
Istirahatnya, ada dua orang gadis yang menghampiri bangku Devon. Satunya terlihat seperti sudah sangat akrab, satunya lagi malu-malu; tangannya terus menarik-narik seragam temannya.
"Enak banget ya 8K di atas. 8I di pojokan." Halami (berdasar nametag seragamnya) melihat-lihat ke sekitaran kelas yang saat itu diterangi cahaya matahari dari jendela-jendela. "Luas juga. Nggak kayak kelas aku yang sempit dan sumpek."
Setuju. Aku sendiri merasa terhormat masuk ke kelas terakhir di angkatanku ini. Huruf K adalah huruf terakhir.
Devon membalas sambil lalu. "Bapak aku habis nyogok kepala sekolah."
"Emang tugasnya kepala sekolah yang ngebagiin kelas-kelas siswa?"
"Bukannya kesiswaan?" Aldrin memasuki obrolan.
KAMU SEDANG MEMBACA
i don't have a crush on you. [end]
Roman pour Adolescentsfaris terkena kutukan i love you.