Padahal yang mempunyai dan menggunakan sihir adalah aku. Tetapi dari pintu unit apartemennya saja diriku sudah membeku seolah disihirnya.
Berlanjut ke balik pintu kamar hingga masuk ke ruangannya. Aku masih saja terkena sihirnya Zagi.
Dan sekarang apa?
Apa yang lebih parah?
Zagi mengunci pintu kamarnya, mengurung kami berdua di sini, mengetahui keberadaanku yang menggunakan sihir tembus pandang, dan menatap tepat ke bagian paling tengah bola mataku.
Yang jadi masalah, itu pertama kalinya Zagi memberiku tatapan serius begitu. Biasanya... dia selalu... malu-malu....
Kakinya mulai bergerak ke arahku.
Irama jantungku semakin tidak terkontrol.
Tepat sebelum tubuhnya menabrak tubuh tembus pandangku, aku menyingkir dan terengah. Kupegangi dadaku erat seakan telah melakukan lari maraton berpuluh-puluh kilometer.
Tadi... hampir saja!
Hampir saja aku bersentuhan dengan Zagi meski nyatanya kami tidak akan bersentuhan.
Tetap saja. Itu... aku tidak siap.
Sehabis kondisiku sedikit tenang, aku menoleh ke Zagi yang sedang memutar-mutar pandangan ke sepenjuru kamar gelap, kebingungan.
"Kamu di mana, Sorin?"
Eh? Kukira dia tahu persis di titik mana aku berdiri. Tatapannya tadi benar-benar menyihirku.
"Tapi bentar, kamu jangan dulu munculin diri." Dalam satu detik, suaranya kembali bernada seperti biasa.
Gugup.
Aku mengedipkan mata.
"Lempar bantal ke lantai dulu coba."
Kulakukan apa yang dia perintahkan.
Zagi membuang napas. "Oke, kamu beneran ada di sini."
Iya, dan sekarang aku benar-benar ingin melepas kunci kamarmu ini lalu melemparnya jauh-jauh ke luar jendela biar kita berduaan saja terus di sini selamanya.
Aku tidak bercanda. Aku serius ingin melakukannya.
Tapi tentu saja tak akan kulakukan.
Kewarasanku masih bisa dijamin.
Di atas lantai yang agak dingin dekat ujung tempat tidurnya, Zagi duduk bersila. Dia menunduk, mengacak-acak rambut depan, kemudian bergeming.
Kelakuannya itu juga mengacak-acak hatiku.
Demi apa pun yang ada di dunia ini, aku ingin menikahinya!
"Sorin."
Panggilan lemahnya menghentikan fantasi tidak tahu diriku.
Dari posisiku berdiri, kupandangi Zagi yang kembali berperilaku seperti saat mengobrol dengan Aldrin beberapa menit lalu.
Tak berdaya.
Dan aku yang membuatnya begitu.
Tega sekali, ya.
"Duduk di depanku."
Aku menurut.
Aku sudah duduk di depannya. Dan saat kukira Zagi telah menyadarinya, diriku pun menyadari tubuhnya bergetar dan merinding seolah-olah aku memang sesuatu yang mesti dia hindari.
Zagi memunculkan senyum yang tak dapat kupahami. "Sudah kuduga, aku masih takut padamu."
Za—
"Padahal wujudmu saja tak terlihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
i don't have a crush on you. [end]
Ficção Adolescentefaris terkena kutukan i love you.